12.5 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Hidup Membiara di Zaman Ambyar: Refleksi Ultah CICM Ke-158 dan Tantangan Dunia Sekuler

Jika melihat tanda-tanda zaman, maka bagi sahabat Dedi Kempot (The God Father of Broken Heart) sekarang adalah “Zaman Ambyar”. Artinya, zaman penuh kacau, remuk-redam, tercerai-berai, dan hancur. Kala cinta hanyalah pemanis di ujung bibir, lalu menyemburkan kata-kata penuh ilusi, pada ketulusan hati yang masih polos ala bocah remaja. Cinta bukan untuk mencintai, melainkan siap meluka dan melupa. Akhirnya, galau dan ambyar.

[postingan number= 3 tag= ‘cicm’]

Bukan hanya cinta, dunia demokrasi (politik) juga buat hati remuk-redam. Para aktor politik, atau yang disebut politikus, pandai memainkan peran di atas panggung demokrasi Indonesia. Mereka memainkan janji-janji, tanpa menyentuh bukti. Kebanyakan kita terlena oleh cinta dan janji yang demikian. Atas situasi yang serba ambyar ini, Giorgio Agamben, filsuf politik Italia, memberi nama yang indah pada demokrasi saat ini, yaitu demokrasi sebagai ‘Kamp Konsentrasi’. Hal ini ditandai oleh demokrasi yang menjadi alat manipulasi para ‘elit bertopeng’ yang sering menakuti-nakuti warganya dengan alarm darurat, misalnya, darurat banjir, darurat ekonomi, darurat pendidikan, darurat pola pikir, dan darurat-darurat lainnya.

Atas situasi tersebut, kita sebagai warga negara, seperti akan dikremasi di Kamp Konsentrasi, dibuat takut hingga menciptakan histeria kolektif; sedangkan bagi para ‘elit bertopeng’, dengan memboncengi demokrasi, mereka ternyata memanfaatkan situasi darurat tersebut untuk menyelenggarakan dan melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itulah, Agamben beranggapan bahwa demokrasi yang kita hidupi saat ini tak lain adalah sebuah Kamp Konsentrasi (bdk. Agus Sudibyo, 2019).

Relasi hidup beragama juga ambyar. Kasih antar-sesama, dibungkus rapi dalam khotbah-khotbah penuh hasutan. Para pemuka agama, imam-imam saleh, dan penasihat bijak, sudah menjadi budak kapitalisme-religius; memperalat agama untuk tujuan-tujuan dan kepuasan pribadi.

Domba-domba, yang adalah para agamawan, dibiarkan tercerai-berai di hamparan padang tak bertuan. Para domba mengembik dan menangis memanggil gembala. Tak ada yang peduli, semuanya mengharapkan imbalan, hingga lupa mengasihi. Dunia memang ambyar!

Menuju Bilik-Bilik Sunyi

Selayang pandang situasi di atas semakin menggelorakan istilah The God of Broken Heart, “Dunia memang Ambyar”. Bilik-bilik suci tempat berteduh para pengikut Kristus dengan kaul-kaul saleh juga ikut terguncang. Tembok-tembok tinggi biara tak bisa menjadi benteng. Sekularisme, salah satu contoh, sungguh memorak-porandakan bilik suci itu, dengan kutukan bahwa agama sebaiknya mengurus ruang privat, tanpa terjun dan terlibat ke dalam dunia nyata. Agama dan dunia harus dipisahkan, demikian bunyi “Credo Sekularisme”. Imbasnya, agama-agama di Eropa seperti tak memiliki akar di bumi; agama hanya mengawang-awang di atas janji-janji manis surgawi.

Eropa adalah contoh tampilan wajah dunia sekuler. Seorang misionaris CICM asal Belgia, sebagaimana dikisahkan Ananias Dundu (mantan misionaris CICM di Kongo-Afrika), pernah suatu Ketika pulang berlibur ke kampung halamannya. Ketika itu, ia bercanda gurau dengan keluarganya, khususnya cucu-cucunya, dengan mengisahkan Yesus yang mati tersalib dan bangkit pada waktu singkat. Sayangnya, para cucu sebagai generasi penerus Gereja justru menganggap cerita itu sebagai cerita yang sangat aneh, karena bagi mereka, sangat tidak logis seseorang telah mati lalu bangkit dan hidup kembali, hingga terbang ke Surga tanpa sayap dan alat bantu. Mereka lalu mengamini bahwa Yesus adalah Batman. Sungguh menyayangkan, bukan?

Lebih nyata, Pater Santos, misionaris CICM di Belgia, memberikan kesaksian kepada para frater CICM di Pondok Bambu, Jakarta Timur, tentang hidup bermisi di tengah-tengah dunia dan masyarakat sekuler. Ada begitu banyak anak muda yang hidup berfoya-foya di atas kenikmatan (semu) duniawi. Gereja hanya disapa oleh orang-orang tua yang siap menjemput ajal.

Selain itu, kehadiran dirinya menjadi magnet yang menarik pelbagai tanya dan jawaban multi tafsir. Bahkan, ada juga yang mencap dirinya sebagai, maaf, gay, karena tinggal berdua (sesama laki-laki) tanpa ada pasangan yang jelas. Pelbagai cara sedemikian rupa sudah dilakukan agar memberikan pemahaman yang baik, namun, tetap saja ia dianggap “Orang Aneh”. Stigma inilah salah satu tantangan berat di tanah misi. Dan, Pater Santos menjalani penuh kasih, sembari mengingat amanah Sang Guru: “Pergilah ke seluruh dunia, Baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus (bdk. Matius 28:19-20).

Bagaimana dengan CICM?

Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria (CICM-Congregatio Imaculati Cordis Mariae), berdiri pada 28 November 1862, melalui hamba-Nya Theophile Verbist (1823-1868). Hal ini berarti pada 28 November 2020, CICM berusia 158 tahun untuk dunia dan 83 tahun untuk Indonesia. Khusus Indonesia, CICM mulai menabur benih pertama pada 2 Juni 1937, melalui dua orang misionaris: P. Charles Dekkers dan P. Jan van den Eerenbeemt. Sebelum sampai di Indonesia, misi perdana CICM adalah di Negeri Panda, Cina, pada 25 Agustus 1865. Sejak saat itu, benih Kabar Gembira mulai ditaburi di atas ladang duniawi, hingga nantinya sampai di Indonesia.

Jika menilik tanggal berdirinya kongregasi CICM pada abad ke-19, tantangan dari dunia sekuler semakin dan mungkin sudah terasa. Benih sekularisme mulai tumbuh subur di Eropa. Salah satu konteks sejarah yang mempengaruhinya adalah Revolusi Perancis 1789 (abad ke-18) yang ingin menghilangkan “noda-noda” pengaruh Gereja terhadap tata pemerintahan. Dari konteks sejarah itu, istilah sekularisme muncul pertama kali pada tahun 1846 (abad ke-19) oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa sekularisme adalah suatu sistem etik yang berdiri di atas prinsip moral alamiah, tanpa embel-embel agama, wahyu atau super naturalisme.

Selain dari konteks global, jika menilik tanggal kedatangan misionaris awal di Bumi Nusantara (1937) dihadapi oleh tantang dari para penjajah dan sekelumit usaha memperhitungkan kemerdekaan Indonesia. Kedatangan Jepang pada 9 Februari 1943 di Makassar, semakin mempersulit penyebaran dan perkembangan misi CICM. Para imam CICM pernah dipenjara bersama 600 orang lainnya. Mereka mendapat siksaan yang keji dan hinaan tak beretika. Misi pun macet. Kekalahan Jepang pada 1945, membawa angin segar bagi perkembangan misi CICM di Kota Daeng-Makassar.

Setelah melihat dua konteks peristiwa tantang dunia sekuler Eropa (Wajah dunia Ambyar) dan tantangan kolonialisme di tanah air, CICM, pada hemat saya, lahir dan berkembang dalam gemuruh dan badai tantangan zaman, termasuk badai sekularisme yang melanda dan terus bertumbuh subur di Eropa.

Akan tetapi, sebagai para pemimpi yang bermimpi ‘mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus’, para calon misionaris dan para misionaris, selalu percaya akan Terang Roh Kudus (Roh Allah). Terang itulah yang akan mengalahkan dan melenyapkan kegelapan tantang zaman; hingga Terang Roh Kudus menuntun kita kepada persekutuan kasih dengan Allah.

Dengan demikian, setelah melihat selayang pandang tantangan dunia, khusus badai sekularisme yang mengusik dan menembus celah-celah bilik sunyi (Biara), lantas, beranikah Kaum Muda dan Pembaca Budiman bermimpi mengubah wajah dunia yang Ambyar menjadi wajah Kristus?

avatar
Fr. Nando Sengkang, CICM
Penulis adalah anggota Komunitas Skolastikat CICM 'Sang Tunas' Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini