Aku diam saja memperhatikan temanku ini. Meski rasa ingin mencoba menenangkan atas keterkejutan yang membuat emosinya meluap itu, tapi rasanya tidak ada tindakan yang tepat bisa kulakukan agar temanku itu bisa lebih tenang.
“Bapakku, pasangan hidupku, saudara-saudaraku semua tidak pernah mengumpat dengan kata kasar seperti itu,” jelas temanku. “Sekeras-kerasnya mereka, nggak pernah sekali pun mengeluarkan kata apalagi kalimat kasar yang tujuannya mengumpat kepadaku.” Air matanya mulai berlinang lagi. Sebentar dia menutupi wajahnya. Menahan emosi yang rasanya sudah sekian lama tertahan dan membuatnya mungkin tak nyaman.
Aku segera hendak ke belakang, mengambil tisyu.
“Ini tisyunya. Kamu di sini saja, menjaga dia…,” suara khas itu terdengar di sebelahku. Ia memberikan sebungkus tisyu. Aku menerima lalu memberikan kepada teman di hadapanku ini.
[postingan number=3 tag= “kang-je”]
Orang yang memberi tisyu tadi beralih duduk di sebelah temanku. Ia memberi kode agar aku duduk juga di sisi satunya. Aku menurut lagi.
Ku sentuh bahunya pelan. “Bapak, pasangan dan saudaramu orang baik semua ya…”
Kepalanya mengangguk pelan. Kulihat dia sudah sedikit tenang. “Aku percaya mereka orang baik. Maka kalau mereka kesal dan marahi aku, aku terima bahkan kalau sempat sebentar konflik yang membuat kami harus saling mendiamkan. Nggak apa…. Aku terima. Malah berusaha untuk memperbaiki semua supaya kami tidak berlama-lama saling mendiamkan.” Sebentar ia membersihkan pipinya dari sisa air mata. “Tapi…. Orang itu… Orang yang katanya adalah teman, berani-beraninya mengumpat dan mengancamku. Siapa dia? Bukan siapa-siapaku beraninya seperti itu. Tega banget…Padahal aku nggak cari masalah juga sama dia. Apa nggak jahat namanya?”
Kalimat terakhir itu membawa lagi tangis kerasnya.
Air mata yang semula hampir surut kembali tercurah seperti hujan beberapa hari lalu. Tidak ada yang menghadangnya bahkan tidak peduli ada siapa di sekitar. Bulir bening itu kembali dan terus menetes hingga pipinya seperti banjir air.
Aku membantu membersihkan pipinya supaya dia bisa lebih nyaman.
Di sisi sebelah ku lihat Kang Je sedang sungguh memperhatikan temanku dengan tatapan penuh perhatian dan prihatin.
Tak sengaja aku bersirobok denganNya dan melihat mataNya seperti sedang menahan haru. Genangan air mata sudah nyaris terjatuh meski senyumNya demikian meneduhkan laksana hendak mengatakan, “Aku tidak apa-apa.”
Temanku masih tetap terus menangis.
Sesekali ia terdiam untuk mengambil nafas, lalu kembali mengeluarkan segala rasa tak enak di hatinya itu. Aku jadi trenyuh.
Harus berbuat apa lagi supaya ia bisa lebih tenang?
Sekelebat ku lihat tangan Kang Je mengelus rambut temanku dengan lembut. Elusannya laksana elusan orang tua yang tengah menenangkan kegalauan anaknya. Terbukti si teman pelan-pelan terlihat lebih tenang. Tangisnya berkurang hingga sisa-sisanya saja. Tetap kubantu ia untuk menghapus semua sisa bulir air bening di mata dan pipinya.
Tak lama, ia mencoba mengambil nafas Panjang.
“Thank you sudah mau menemaniku, ya…,” ujarnya sembari berusaha tersenyum kepadaku.
“Sama-sama..,” jawabku sembari membalas senyumnya. “Kalau sudah tenang, kita pulang yuk… Eh, tapi makan dulu ya… Kamu mau dimana? Aku anterin….”
Temanku menoleh. Wajahnya yang masih pucat karena habis menangis lama seperti sedang berpikir. “Terserah kamu saja. Aku nurut.”
Meski aku sendiri masih blank harus menjawab apa dan kemana, ku coba anggukan kepala. Kami pun segera bersiap untuk meninggalkan tempat dengan motor setiaku yang dari tadi sudah menunggu.
Tapi, belum sampai di sana, mendadak temanku punya ide. “Pengen mampir ke Katedral dulu, boleh?”
Aku rada kaget. Tapi, ingatanku mendadak kembali pada peristiwa saat Kang Je mengelus rambutnya tadi. Mungkinkah itu semacam bisikan Kang Je ke temanku agar sebentar bertemu denganNya di rumah Sang Bapa?
Tanpa harus adu argumentasi, aku belokkan motorku menuju gereja megah itu.
Setelah parkir, temanku duluan masuk. Langkahnya seperti tak sabar hendak mengadu pada penciptaNya. Kurapikan dulu posisi motor baru setelah itu masuk.
Ketika kusyuk ku berlutut begitu masuk rumahNya, ku lihat temanku sedang demikian asyik berbincang dengan seseorang. Orang yang diajak bicara duduknya berhadapan denganku.
Dengan senyum dan gerakan mataNya dari jauh, Ia seperti hendak mengatakan untuk tidak mengganggu dulu obrolan temanku denganNya. Aku pun duduk saja tak jauh dari mereka yang sedang bercakap-cakap kini.
Dalam duduk dan diam, ada serangkai doa dari hati agar temanku itu sungguh bisa mendapatkan ketenangan lagi setelah bisa ke rumah Bapa kami ini. Aku sangat paham dengan gejolak rasanya selama ini.
Meski sebagai sahabat aku berusaha paham, nyatanya tak semudah itu.
Ada hal-hal lain yang rasanya cuma dia saja yan gbisa mengerti dan lakukan untuk mengurangi keresahannya itu. Aku hanya bisa menemani, mendengar dan sekadar menyemangatinya agar tak semakin terpuruk.
Aku tahu, itu tidak enak.
Kelar berdoa, ku lihat temanku itu pun juga sudah selesai. Kuhampiri ia.
“Ngobrol dengan siapa tadi?” tanyaku ingin tahu.
“Lho… Dari tadi aku berdoa kok. Emang kayak orang ngobrol?” temanku tanya balik.
Aku tersenyum panjang. “Iya… Aku kan dari tadi sudah di sana memperhatikan kamu seperti sedang ngobrol. Kayak kita ini…. Makanya aku diam dulu, duduk di sana.”
Temanku berkenyit. Mungkin merasa aneh dan berpikir. “Iya yah? Padahal aku sedang berdoa,” katanya sembari melihat ke depan.
Tepat di depannya itu ada pilar pembatas altar dan tempat duduk umat, ada tertulis besar di sana “Marilah kepadaKu kamu yang lelah dan menanggung beban.”
“Tapi, emang sih… Aku merasa seperti ngobrol dengan Yesus yang ada di sebelahku. Dengerin semua keluh kesahku termasuk soal yang tadi bikin aku nangis.” Seruas senyum panjang terlihat di bibirnya.
“Bilang apa Kang Je ke kamu?” tanyaku pelan sembari lebih mendekati duduknya.
“Yesus bilang, Dia juga nggak nyari masalah dengan umatNya. Malah sering membela. Sering menyembuhkan dan memberi kabar baik. Tapi, ternyata apa? Dia malah dihianati, dicambuk lalu disalib. Sakit banget kan… Padahal Dia kurang baik apa coba… Bener-bener tega dan jahat manusia ya…”
Aku mendengarkan dengan kusyu.
“Trus, Yesus bilang padaku bahwa apa yang aku alami hanya sebagian salib yang harus dia pikul. Aku tanya, kenapa harus memikul salib itu padahal katanya Ia mau menanggung kesalahan dan dosa manusia.”
“Apa jawab Kang Je?” aku jadi penasaran.
“Katanya, supaya aku tahu bagaimana caranya menghargai dan menghormati orang lain…”
Deg.
Aku tertunduk.
Kalimat lama yang diingatkan lagi lewat perantara sahabatku ini.
“Yesus juga bilang, peristiwa yang aku alami ini sesungguhnya bukan untuk membuatku sedih. Tapi, justru supaya aku lebih kuat sebab kelak akan tahu bagaimana mengatasi andaikata terjadi lagi. Ih, jangan sampai kali ya…”
Bener juga sih… Pengalaman paling pahit sekali pun pasti akan membuat kita menjadi lebih kuat. Apalagi kalau itu dihadapi bersama kehadiranNya.
“Aku sempet ngeyel sih soal terakhir itu. Kubilang, kan nggak bisa semua orang sekuat orang lain. Yesus bilang, justru itu yang hendak ditunjukkan kepadaku sekarang. Bahwa aku sekarang sesungguhnya adalah kuat.”
Aku berusaha tersenyum.
Tiba-tiba teringat wallpaper di laptopku. Sebuah quote dari Master Shifu di film Kungfu Panda 3, “If you only do what you can do, you’ll never be better than what you are.”
“Mungkin karena itu, aku jadi kayak ngobrol ya?” tanya temanku mengagetkan lamunanku sendiri.
“Ya,” aku menangguk-angguk sambal tetap tersenyum.
“Hehe… Ya udah… Aku dah lega sekarang. Semoga masalah ini cepat berlalu. Yuk, makan…,” ajak temanku semangat.
“Mmm.. Kalau nanti ketemu orang yang dimaksud, gimana? Kamu memaafkan dia” tanyaku kepo.
Sebentar temanku berpikir, “Maybe yes, maybe it takes time … Tapi, pokoknya biarin aja. Sementara ini aku meminimalisir yang berhubungan dengan dia. Toh, forgive is not forget tho???”
Bener juga.
Segera kami berkemas lalu beranjak dari gereja menuju tempat makan yang sudah kami sepakati.
Sebelum keluar pintu gereja, iseng aku menoleh ke belakang.
Eh… Ada Kang Je di sana dengan senyum khasnya itu.
Tanpa ragu Ia memberikan kiss bye dan tanda cinta dari jarinya yang ladi viral itu.
Eleuh, si Akang….