Dua orang nelayan – yang satu bernama si cerdas dan yang lain si bijaksana – sedang membersihkan jala sambil bercakap-cakap soal kegagalan yang mereka alami tadi malam. Kemudian datanglah seseorang ke tengah-tengah mereka dan berkata: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Ketika mendengar perkataan orang itu, si cerdas menoleh ke arahnya dan berkata: “Sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Sekarang kamu menyuruh kami untuk menebarkan jala pada siang hari. Apakah ini bukan suatu kebodohan?”
Bagi si cerdas, permintaan untuk menebarkan jala pada siang hari adalah suatu kebodohan sebab berdasarkan teori umum yang diperolehnya, waktu terbaik untuk menangkap ikan adalah malam hari, bukan siang bolong. Oleh karenanya, ia menolak permintaan orang itu dan pergi menjauh dari hadapannya. Tidak demikian dengan si bijaksana. Ia mendekati orang itu dan perlahan berkata: “Sebenarnya berdasarkan pengetahuan yang saya peroleh, seorang nelayan tidak boleh melaut pada siang hari karena sudah tentu tidak akan menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Kemudian ia menolak perahunya ke tempat yang dalam dan mulai menebarkan jalanya. Apa yang terjadi? Si bijaksana menangkap banyak ikan.
Saudara-saudara, cerita mengenai Dua Orang Nelayan ini pada dasarnya berbicara mengenai orang yang sama, yaitu Petrus. Bagi saya, Petrus yang kemudian menjadi murid Yesus itu adalah orang yang cerdas sekaligus bijaksana. Ia cerdas karena ia memiliki pengetahuan dasar mengenai kapan waktunya ia harus melaut, namun ia juga bijaksana karena baginya pengetahuan yang dimilikinya bukanlah segala-galanya. Ia membuka hatinya untuk kemungkinan yang lain. “Ya, sudahlah. Pengetahuan yang saya miliki memang mengatakan seperti ini tetapi kan siapa tahu apa yang dikatakan orang ini benar”. Dengan kata lain, ia terbuka terhadap pertimbangan-petimbangan lain di luar pengetahuan yang dimilikinya.
Bagaimana dengan kita? Banyak di antara kita yang merasa sudah berpendidikan tinggi tidak lagi mau mendengar nasehat atau wejangan dari orang-orang lain, apalagi kalau wejangan atau nasehat itu diberikan oleh orang-orang yang menurut kita tidak se-level dengan kita. Kita merasa bahwa pengetahuan yang kita miliki sudah berbicara banyak hal mengenai hidup ini atau kita merasa lebih pantas memberi nasehat daripada menerima nasehat, dan sebagainya.
“Orang cerdas belum tentu bijaksana, tetapi orang bijaksana pastilah cerdas” demikian ungkapan yang mungkin pernah kita dengar. Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa kecerdasan saja tidak dengan sendirinya membuat orang bijaksana. Kita mungkin saja memiliki ilmu pengetahuan setinggi langit tetapi ketika kita dimintai untuk membuat suatu keputusan, kita tidak mampu memilih yang terbaik. Hanya orang yang bijaksana tahu persis keputusan apa yang terbaik untuk waktu yang tepat.
Jadilah orang cerdas sekaligus bijaksana. Orang bijaksana tidak akan terjebak untuk terburu-buru menolak atau sebaliknya terburu-buru menerima setiap permintaan atau apapun yang akan mendekati dirinya. Ia akan mempertimbangkan semuanya secara matang. Sebaliknya, si cerdas akan konsisten dengan alur berpikirnya dan apa saja yang ditemuinya tidak sejalan dengan pengetahuan yang diperolehnya, demi pengetahuan itu pula ia tidak segan-segan untuk menolak. Padahal, apa yang ditolaknya itu belum tentu buruk.
Tipe mana yang Anda pilih? Si cerdas? Atau Si Bijaksana? Ingat, pilihan Anda menunjukkan siapa diri Anda! Salam sehati sejiwa.