“MO, masa si Rafe nggak mau napas!”
“Apa?! Kenapa dia? Udah dibawa ke dokter belum?”
“Hah? Kok ke dokter? Ooh, maaf, maaf, Romo salah paham. Bukan nggak napas beneran, Mo. Napas di sini maksudnya NAtal dan PASkah.”
[postingan number=3 tag= ‘kang-je’]
Romo Hendra melotot, alis putihnya yang masih diselingi beberapa helai hitam bertaut tak suka. “Bikin jantungan saja,” gerutunya.
Bu Yayuk, adiknya yang berumur enam puluhan akhir, yang duduk di depannya di ruang tamu pastoran, menyengir. “Ma-aaaf,” ujarnya belagu. Jangankan merasa bersalah, tawanya malah berderai.
Sudut bibir Romo Hendra terangkat sengit.
Raphael atau Rafe adalah cucu Bu Yayuk, yang menjadikannya cucu keponakan Romo Hendra. Sejak bayi Rafe selalu anteng mengikuti misa bersama orang tuanya, tidak pernah rewel minta susu atau makanan, apalagi melengkingkan tangisan. Pun waktu mulai belajar jalan, Rafe tetap duduk manis sepanjang misa, tak pernah berlarian atau harus dialihkan perhatiannya dengan main gim di ponsel orang tuanya. Lalu ketika sudah sekolah, bocah yang kini sudah berumur delapan tahun itu jarang mau ikut Bina Iman Anak dan memilih ikut misa.
Semua cucu keponakan diajari orang tua mereka untuk memanggil Romo Hendra “Eyang Romo”, tapi mereka menemukan sendiri nama panggilan yang lebih pas: “Moyang”. Yah, bagi anak-anak umur sepuluh tahun ke bawah, sosok berumur delapan puluhan itu mungkin memang pantasnya jadi kakek moyang.
Romo Hendra bersandar di kursinya. “Lantas, si Rafe sebetulnya kenapa?”
Raut Bu Yayuk berubah serius. “Romo tahu sendiri, kan, Rafe itu anaknya tertib banget soal misa. Tapi dia menyaksikan kejadian buruk waktu mengikuti misa Jumat Agung, terus sekali lagi waktu misa Natal. Tahu-tahu kemarin ini dia bilang ke Ragil nggak mau ikut misa Natal dan Paskah lagi.” Ragil adalah putri Bu Yayuk, ibu Rafe.
“Kejadian buruk bagaimana maksudnya?” Romo Hendra mengernyit.
“Beberapa tahun belakangan ini setiap liburan Paskah dan Natal kami selalu mengunjungi keluarga kakak papanya Rafe di Jakarta, tapi nggak pernah absen misa. Nah, untuk misa Jumat Agung, kami tiba di gereja dua jam sebelum jadwal misa dimulai, karena tahun sebelumnya kami datang sejam di muka sudah kebagian duduk di tenda. Kali ini kami duduk di bangku keempat. Bagian tengah dua bangku di depan kami kosong, tapi ada dua remaja laki-laki yang duduk di ujung bangku kiri dan kanan, secara diagonal. Baik dari pakaian maupun cara duduknya, mereka sepertinya bukan mau ikut misa, tapi kami kaget banget waktu beberapa menit menjelang misa dimulai, satu rombongan keluarga datang menempati kedua deret bangku itu, lalu bapak yang baru datang menyerahkan uang dua puluh ribuan ke kedua remaja itu, yang langsung pergi setelah menerimanya.”
Kerutan di dahi Romo Hendra makin dalam. “Jadi sekarang misa pun ada jokinya?” tanyanya kaget.
“Itulah yang aku dan Ragil bahas. Kami lupa Rafe yang duduk di antara kami sekarang sudah besar dan sedikit-banyak menangkap arti pembicaraan kami. Tapi karena Rafe tidak bertanya apa-apa, kami juga tidak membicarakannya lebih lanjut.
“Lalu Natal kemarin lagi-lagi kami datang dua jam lebih awal, itu pun gereja sudah ramai sekali. Seorang ibu duduk di depan kami dan melarang kami duduk di sebelahnya. ‘Saya menunggu keluarga saya,’ katanya. Ya sudah, kami mengambil tempat di bangku belakangnya. Tahu-tahu ibu itu mengeluarkan seluruh isi tasnya: buku Puji Syukur, payung, kipas lipat, tisu, dan dua lembar teks misa. Semua dijejerkan di bangkunya. Beberapa orang yang datang mencari bangku ditolak, si ibu dengan cuek menunjuk semua barang yang dipakainya untuk cup tempat. Petugas yang datang menegur pun malah disemprot ibu itu. Beberapa umat setelah mengitari gereja dua kali dan tetap tidak diberi duduk oleh si ibu akhirnya memutuskan untuk keluar lagi dan mengikuti misa di bawah tenda.
“Kali ini aku dan Ragil nggak berkomentar. Kami hanya saling menatap lalu menggeleng-geleng. Anehnya, sepanjang misa Rafe cemberut. Dia menggeleng gusar waktu ditanya Ragil dia kenapa. Lengannya dilipat di depan dada. Bahkan saatnya menerima berkat pun dia menolak maju.”
“Oya? Aneh sekali…” Romo Hendra. Soalnya, tiap kali Rafe ditanya bagian mana dalam misa yang paling disukainya, dengan penuh semangat bocah tampan berambut ikal itu akan selalu menjawab, “Waktu diberkati romo!” sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada. Wajahnya berseri-seri bangga. Baru kali ini ia mendengar Rafe menolak maju.
“Nah!” Bu Yayuk menudingkan telunjuk kanan ke arah kakaknya sebagai penekanan. “Aneh, kan?!”
“Dia sama sekali nggak mau memberitahu alasannya?”
Bu Yayuk menggeleng. “Baru kemarin dia akhirnya cerita. Katanya, dia kesal karena tiap kali Natal dan Paskah kami harus ke gereja dua jam lebih awal. Ia merasa itu hanya menambah dosa. Makanya supaya nggak nambah dosa, mulai sekarang dia nggak mau pergi misa Natal dan Paskah lagi.”
“Hmm. Menurut dia kenapa itu menambah dosa?”
“Karena dalam dua jam itu suasana gereja berisik banget, sudah seperti pasar saja. ‘Tuhan Yesus kan marah kalau gereja kayak pasar, jadi kita dosa karena membuat Tuhan Yesus marah,’ katanya. ‘Apalagi kalau Tuhan Yesus sampai lihat ada yang bayar cuma buat duduk di dalam gereja. Ini gereja atau bioskop?’ Kalau bagian ini kayaknya dia mengutip omonganku ke ibunya waktu misa Jumat Agung itu,” tambah Bu Yayuk sambil menyengir malu.
“Terus, apa pendapat dia soal ibu pengecup-tempat waktu misa Natal?”
“Katanya ibu itu seperti pemilik penginapan yang menolak Yusuf dan Maria yang kelelahan. Sudah jelas-jelas banyak yang butuh duduk, tapi ibu itu tidak mau memberikan tempatnya kepada satu orang pun yang melewati bangkunya.”
Romo Hendra mendengus pelan. Perbandingan yang lumayan pas. Ia ingin tertawa, tapi pikirannya lebih mencemaskan hati polos Rafe yang tercemar oleh kelakuan orang-orang dewasa ini. Betapa ironisnya ketika banyak orang dewasa hanya mau ke gereja pas Natal dan Paskah seolah itu cukup untuk menebus absen misa setahun, Rafe justru menolak pergi ke gereja pada dua puncak perayaan Gereja Katolik itu karena takut menambah dosa.
“Kami sudah berusaha menasihati Rafe, tapi, yah, Romo tahu sendiri Rafe kayak apa,” ujar Bu Yayuk menggeleng-geleng.
Romo Hendra tersenyum. Rafe anak baik, tapi kalau sudah memutuskan sesuatu… wuih, keras kepala tiada dua.
“Kemarin kami sudah mulai merencanakan pergi ke Jakarta lagi buat liburan Paskah. Tadinya kami pikir ancaman Rafe buat nggak napas cuma gertak sambal doang. Ternyata dia serius, Mo. Dia mewanti-wanti nggak mau misa selama di Jakarta. Ampun deh, bocah satu itu,” Bu Yayuk memegang keningnya, sepertinya pusing sekali. “Minggu depan sehabis misa akan kubawa dia kemari, biar Romo dengar sendiri ikrarnya itu,” ujar Bu Yayuk.
Siapa sangka keesokan harinya badai virus Covid-19 melanda nusantara. Satu demi satu gereja menutup pintunya untuk mencegah kluster-kluster baru. Tamu-tamu yang datang ke paroki pun dibatasi. Untuk Romo Hendra yang sudah sepuh, kelompok usia yang paling rentan terkena virus, malah tidak boleh menerima tamu sama sekali. Satu hari beranjak seakan merangkak, tapi seminggu melejit tanpa suara, kemudian Pekan Suci diikuti Pentakosta datang dan pergi. Tahu-tahu sudah tiga bulan umat hanya bisa mengikuti misa daring. Pembatasan sosial berskala besar sudah mulai dilonggarkan, tapi demi amannya, gereja tetap belum mengadakan misa untuk umat.
Romo Hendra baru saja selesai makan siang ketika menerima panggilan telepon-video dari Ragil. Ketika ia jawab, tampak cucu keponakannya, mengenakan masker yang diturunkan ke dagu dan jaket yang tudungnya menutupi rambut, melambaikan tangan dari tempat yang tidak asing. Itu bukan rumahnya. Lho, bukannya itu… pagar samping pastoran?
“Pakde Mooo,” sapa Ragil. “Ini ada yang kangen,” katanya sambil tertawa dan mengarahkan kamera ponselnya sedikit lebih ke bawah.
“Moyaaang!” Rafe melambai-lambai. Gaya berpakaiannya sama dengan ibunya.
“Tadi kamu janji apa sama Ibu? Ceritain ke Moyang,” terdengar suara Ragil.
Mata Rafe melirik ibunya di samping. “Oh, iya,” Rafe mengangguk, lalu matanya kembali ke layar. “Kalau nanti udah boleh misa di gereja lagi, aku mau ikut misa terus. Misa Natal, Paskah, pokoknya semuanya. Aku janji nggak akan pernah bolos misa lagi.”
Romo Hendra menaikkan alis jenaka. “Yang beneeer?”
“Beneeer.” Rafe mengangguk bersungguh-sungguh.
“Biarpun ada yang menganggap gereja seperti bioskop, kamu tetap pergi?”
“Ya!” seru Rafe.
“Biarpun ada yang nggak mau memberi tempat ke orang-orang yang butuh duduk, kamu tetap mau pergi?”
“Ya!” seru Rafe lagi.
“Nanti kamu marah-maraaah…, nggak mau nerima berkat lagiii?” goda Romo Hendra.
“Nggak, aku nggak bakal marah-marah lagi! Ntar aku mau merem aja!” seru Rafe.
Romo Hendra terbahak-bahak. “Bagus. Jangan pernah lupa janjimu ya.”
“Nggak,” sahut Rafe mantap.
“Oke. Tunggu di situ.” Romo Hendra mematikan ponsel lalu berjalan ke pintu samping pastoran, membukanya lebar-lebar tanpa beranjak melewati ambangnya.
Di balik pagar, Rafe melonjak-lonjak sambil melambaikan tangan, “Moyang! Moyang! Moyang!” jeritnya girang.
“Aku mau kasih berkat!” seru Romo Hendra.
Rafe buru-buru berhenti melompat. Ia berdiri tegak, menyilangkan lengan di depan dada dengan khidmat.
Romo Hendra menurunkan lengan setinggi dahi Rafe lalu membuat tanda salib kecil dengan ibu jarinya. Tiba-tiba wajah Rafe berkerut-kerut.
“Lho, lho, kok malah nangis?” seru Ragil kaget, buru-buru berjongkok memeluk putranya. Tangis Rafe makin menjadi dalam pelukan ibunya.
“Kenapa dia?” seru Romo Hendra.
Ragil menoleh. Dengan Rafe masih sesenggukan di bahunya, ia berseru setengah tertawa setengah menangis haru kepada pakdenya, “Kangen diberkati Moyang, katanya!”
Romo Hendra tersenyum. “Sudah, sana pulang! Jangan keluar dulu kalau nggak perlu! Jaga kesehatan!” serunya.
“Iya. Pakde juga jaga kesehatan ya. Makasih, Pakde. Kami pamit,” seru Ragil.
Rafe mengusap mukanya yang basah, berdadah-dadah sambil berseru, “Sampai ketemu lagi, Moyang! Sampai ketemu lagi gereja! Kalau Covid-19 sudah pergi, aku pasti datang!”
*****