26 C
New York
Saturday, September 21, 2024

Sepucuk Surat untuk Yesus

Sebelum sang fajar menunjukkan dirinya, aku telah terbangun oleh mimpi buruk. Mimpi yang tidak mau aku ingat lagi. Kamar dimana aku dan sahabat teman-teman OMK tempati ini masih gelap. Bias cahaya dari lampu penerang jalan tidak mampu menghalau pekatnya suasana ruangan. Dengan meraba-raba aku mencari hp yang semalam aku simpan di kursi samping tempat tidur. “Nah! Akhirnya aku temukan, ternyata masih jam 4 pagi. Aku coba untuk melanjutkan tidurku namun tak dapat.

Setelah membuat tanda Salib dan berbekal cahaya hp aku mengendap ke kamar mandi. Dari pada kedahuluan yang lain mendingan aku siapkan diri untuk mengikuti doa dan misa pagi.

Hari ini adalah hari terakhir retret. Aku paling suka dengan kegiatan rohani seperti ini. Ya, setidaknya aku terbebas dari rutinitas hidup yang membosankan.

OH ya! Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Kattya, anak pertama dari tiga bersaudara. Usiaku 26 tahun, aku adalah anak dari pasangan yang bercerai. Ayahku memiliki wanita lain sedang kami dibesarkan oleh mama seorang diri. Aku sangat membenci ayahku, dia sepertinya lupa akan tugas dan tanggung jawabnya kepada kami.

Saat menyikat gigi, terngiang kembali pengumuman Romo kemarin, bahwa tema di hari terakhir retret adalah “Dengan Mengampuni Kita Menjadi Pribadi Yang Bebas”. Sambil menghela napas aku berpikir apakah aku bisa memaafkan ayah dan istri barunya itu, yang tidak lain adalah tanteku sendiri (adik dari mamaku). Tanpa aku inginkan mengalirlah dua butir panas yang membasahi pipiku.

Pukul 09:30 pagi, dalam ruang pertemuan, kami para peserta retret dengan khusuk mendengarkan Firman Tuhan yang dibaca oleh salah seorang OMK. Dia membaca teks Injil Luk. 17:1-6 yang berbicara tentang pengampunan.

Pikiranku melayang ke rumah, membayangkan mama yang dengan susah payah membenarkan kami buah cintanya dengan pria yang salah. Pria yang telah mengkhianati cinta sucinya dengan adiknya sendiri.

Napasku mulai memburu ketika suara berat Romo menghentakkanku ke alam nyata. “Saya ada permainan untuk kalian. Di atas meja telah tersedia jarum, gunting dan pisau. Setiap kalian memilih salah satu dari benda tajam tersebut, sambil membayangkan wajah mereka yang menyakitimu tusukan pada kertas putih yang terpampang di dinding.

Pada saat permainan terlihat begitu banyak ekspresi yang tersirat di wajah kami masing-masing. Ada yang menangis, marah, tertawa puas bahkan ada yang tanpa ekspresi. Aku mendapat giliran yang terakhir. Sambil membayangkan wajah ayah dan tanteku, aku menikamkan pisau di tengah kertas putih dengan penuh amarah.

Setelah kami duduk dengan tenang, Romo menanggalkan kertas putih tersebut. Dan sangat mengejutkan bahwa ada gambar Yesus di baliknya. Dan tempat dimana pisau aku arahkan adalah jantung Yesus.

Romo mulai memberikan pengarahan bahwa kebencian, amarah dan dendam akan membuat kita menjadi buta, tuli dan tidak berperasaan. Sehingga kita tidak hanya menyakiti orang lain tapi diri kita sendiri bahkan kita juga telah melukai Tuhan yang adalah Cinta.

Dalam Injil, Yesus menyeruhkan tentang pengampunan tanpa batas oleh syarat-syarat tertentu, oleh waktu dan kondisi. Mengampuni tidak berarti melupakan melainkan menerima dan berdamai dengan luka tersebut. Setiap mendaraskan doa “Bapa Kami” pada kalimat “ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”,kita membuat persetujuan dengan Tuhan bahwa Tuhan akan mengampuni dosa kita jika kita mengampuni kesalahan orang lain.

Aku benar-benar terpukul mendengar permenungan dari Romo, apalagi dengan kata-kata penutup renungan. Thomas Merton menulis:”Kita tidak berdamai dengan orang lain karena kita tidak berdamai dengan diri kita sendiri. Dan kita tidak berdamai dengan diri kita sendiri karena kita tidak berdamai dengan Allah”.

Pada saat acara penutupan retret aku menulis surat untuk Yesus.

Dear Jesus,

Aku minta maaf karena dendam dan amarahku telah melukai hati terkudusMu. Perasaanku ini telah membuat aku menjadi pribadi yang tertutup dan mudah marah.

Terima kasih karena telah memberiku kesempatan untuk mengikuti kegiatan tapa ini. Karena dengannya aku menjadi sadar akan kekeliruanku. Terima kasih karena olehMulah, aku mulai membuka hati untuk memaafkan ayah dan tanteku. Terima kasih karena telah membebaskanku beban yang menghimpit jiwa dan ragaku. Kini aku bukanlah aku yang dahulu, aku merasa terlahir kembali. Aku mohon mampukan aku untuk mengampuni sekalipun itu sangat menyakitkan. Sebab aku sangat mencintaiMu dan tidak mau melukaiMu lagi.

Yang mencintaimu,

KATTYA

Sr. Nina Trinces, OP
Sr. Nina Trinces, OP
Anggota Kongregasi Dominikan Pompei, saat ini menetap di Roma.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini