Benarkah Tuhan mengizinkan Iblis untuk mencobai manusia? Kok bisa-bisanya Iblis mendekati dan membujuk Tuhan? Mengapa orang-orang saleh juga mengalami penderitaan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah jamak ditanyakan orang-orang. Di sini kita akan mencoba menjawabnya berdasarkan pengalaman dari seorang tokoh Kitab Suci yang bernama Ayub.
[postingan number=3 tag= ‘tuhan-yesus’]
Kitab Suci menyebutkan bahwa Ayub adalah seorang yang saleh dan jujur; ia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Ia mempunyai tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Ia adalah orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Ia sangat memperhatikan kesejahteraan rohani anak-anaknya. Ia memperhatikan kelakuan dan gaya hidup mereka, berdoa agar mereka terpelihara dari yang jahat dan mengalami berkat dan keselamatan Allah. Boleh dikatakan bahwa dia adalah contoh seorang ayah yang hatinya terarah kepada anak-anaknya.
Mula-mula hidupnya adem-ayem. Semua berjalan normal, tenang dan tenteram. Tapi yang namanya hidup tak akan pernah sama terus. Hidup selalu berwarna dan berlika-liku. Hidup itu seperti roda, kadang di atas dan kadang di bawah. Hidup yang datar hanya akan membuat kita menjadi orang yang biasa-biasa saja. Begitu pula yang terjadi dengan Ayub. Hidupnya mulai berubah ketika pada suatu hari Iblis datang kepada TUHAN dan berkata: “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” (Ay. 1:9). Iblis yakin bahwa jikalau Tuhan berhenti memberikan perlindungan, kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan kepada Ayub, maka Ayub akan ‘mengutuki Engkau di hadapan-Mu’ (Ayb. 1:11).
Tuhan mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub. Maka firman TUHAN kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya” (Ayb. 1:12).
Allah memberikan kekuasaan kepada Iblis untuk membinasakan harta dan keluarga Ayub; akan tetapi, Ia membatasi apa yang dapat dilakukan Iblis, karena ia tidak diberikan kuasa untuk membunuh Ayub. Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN. Semua yang ada pada Ayub diambilnya satu per satu, sampai hampir tidak ada yang tersisa.
Sejak kapan Iblis bisa datang mendekati dan membujuk Tuhan? Perlu diketahui bahwa sebelum kematian dan kebangkitan Kristus, Kitab Suci menceritakan bahwa Iblis kadang-kadang bisa menghampiri Allah, untuk dapat mempersoalkan kesungguhan dan kebenaran seorang percaya (Ayb. 1:6-12; 2:1-6; 38:7; Why. 12:10). Namun kematian dan kebangkitan Kristus, yakni pada zaman Perjanjian Baru, tidak ada lagi cerita bahwa Iblis dapat langsung menghadap kepada Allah (Mat. 4:10).
Bagaimana mungkin orang yang saleh dan jujur seperti Ayub juga mengalami penderitaan? Kita harus tahu bahwa ketika berbicara mengenai Ayub yang saleh dan jujur, Kitab Suci tidak bermaksud bahwa Ayub sama sekali tidak berdosa. Ingat, ‘tak ada gading yang tak retak’, tak ada manusia yang tak berdosa. Sebab, manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Tapi, mengapa Tuhan mengizinkan Iblis untuk menguasainya? Alasannya adalah supaya kita mengerti bahwa pencobaan dan kesulitan-kesulitan juga dapat menimpa orang-orang benar.
Dari Kitab Ayub kita banyak menimba pembelajaran. Kitab ini menunjukkan bagaimana orang percaya hendaknya menghadapi musibah di dalam hidupnya. Sekalipun kita mengalami penderitaan hebat dan kesengsaraan yang tidak dapat dipahami, kita harus berdoa memohon kasih karunia untuk menerima apa yang Tuhan izinkan menimpa kita. Tuhan akan menangani perasaan dan keluhan kita yang kacau jikalau diarahkan kepada-Nya — bukan dengan sikap memberontak, melainkan dengan kepercayaan sungguh-sungguh kepada-Nya sebagai Tuhan yang pengasih.
Ini namanya ujian iman. Adakalanya iman memang perlu diuji. Iman kita hanya dapat mencapai kedewasaan penuh apabila dihadapkan dengan kesulitan dan tantangan (Yak. 1:3). Seperti halnya anak sekolah bisa naik kelas apabila sudah melewati ujian demi ujian, demikian halnya pencobaan kadang-kadang menimpa kehidupan orang percaya supaya Tuhan dapat menguji kesungguhan iman mereka.
Ingat, Kitab Suci tidak pernah mengajarkan bahwa kesulitan di dalam hidup ini selalu menandakan bahwa Tuhan tidak senang dengan kita. Justru kesulitan tersebut dapat menjadi tanda bahwa Tuhan mengakui komitmen kita kepada Dia (bdk. Ayb. 1:1-2:13). Iman itulah yang menyebabkan kita mendekati Dia, tinggal di dalam Dia, serta menyerahkan segala persoalan hidup kita kepada-Nya. Lagipula, Tuhan tidak meninggalkan kita di tengah kesulitan hidup seperti itu. Dia justru mengutus Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dan menyelamatkan kita (lih. Yoh. 3:16-17).
Ketika iman kita diuji, sebenarnya kita sedang dihadapkan dengan beberapa pertanyaan pokok ini: mungkinkah kita, umat beriman, mengasihi dan melayani Dia karena Dia adalah Tuhan, dan bukan karena semua berkat-Nya yang sudah kita terima? Dapatkah kita mempertahankan iman dan kasih kita kepada-Nya di tengah musibah yang tidak dapat dijelaskan dan penderitaan yang tidak semestinya kita alami?
Referensi:
https://alkitab.sabda.org/
https://www.catholic.com/qa/why-does-god-allow-persecution
https://www.catholic.com/qa/why-do-we-have-to-suffer