6.2 C
New York
Thursday, November 20, 2025

Berziarah menuju Tuhan

Hidup adalah peziarahan. Apakah tujuan terakhir peziarahan umat manusia? Jawabannya adalah persatuan dengan yang Ilahi. Saya akan  menghubungkan refleksi tentang hidup adalah peziarahan dengan konsep inti mistik Jawa, Manunggaling Kawula Gusti (Persatuan Hamba dengan Tuhan). Segalanya berasal dari Allah, karena itu setiap manusia akan kembali bersatu dengan-Nya. Untuk menjelaskan prinsip Manunggaling Kawula Gusti ini, penulis memilih kisah peziarahan Bima untuk mencari “air perwitasari” dalam kisah Bima Suci.

Di pihak lain, saya amat kagum dengan kisah peziarahan hidup santo Agustinus dalam buku Confessiones (Pengakuan-Pengakuan). Di dalam buku ini, santo Agustinus dengan jujur mengisahkan peziarahan hidupnya yang berliku-liku hingga akhirnya menjadi pribadi yang mencapai persatuan dengan Allah. Sebelum pertobatannya, ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menurutnya tidak sesuai dengan kehendak Allah.[1] Akan tetapi, setelah pertobatannya, ia mengalami pengalaman yang luar biasa tentang kebaikan Allah. Bahkan, ia menjadi salah seorang tokoh besar dalam Gereja yang memberikan inspirasi kepada banyak orang agar selalu mencari Allah dalam hidupnya.

Saya tertarik untuk menghubungkan peziarahan hidup Bima dengan pengalaman peziarahan Agustinus. Kedua tokoh ini (walaupun Bima hanya tokoh cerita) telah mencari Allah dalam hidup dan telah mengalami persatuan dengan-Nya. Keduanya telah memberikan inspirasi kepada banyak orang hingga saat ini.

 Kisah Bima Suci

Kisah Bima Suci adalah salah satu kisah menarik yang menggambarkan posisi manusia sebagai peziarah kehidupan. Bima Suci adalah kisah mengenai ksatria muda bernama Bima. Ia diutus oleh gurunya untuk mencari dan membawa pulang air kehidupan (air perwitasari). Bima sebagai murid yang setia langsung pergi, meskipun tidak tahu ke mana harus pergi. Ada yang bilang di gunung, dia pun mendaki gunung. Ketika ada yang bilang di gua yang sangat gelap, dia pun tanpa takut menyusuri kegelapan gua. Dan ada yang bilang ke tengah laut, dia pun menyeberang ke sana. Untuk sampai ke tempat-tempat itu, Bima harus berhadapan dengan seribu kesulitan, ancaman dan apa saja yang merupakan bahaya bagi hidupnya. Di tengah laut, dia juga tidak menemukan di mana air itu berada. Malahan di samudera itu ia bertemu dengan seseorang yang sangat kecil, yang serupa dengan dirinya, yang disebut Dewaruci. Dewaruci berkata bahwa “air perwitasari” itu ada di dalam dirinya. Maka, ia meminta kepada Bima memasuki dirinya yang sangat kecil itu. Tentu saja, bima merasa aneh dengan permintaan itu. Sebab dirinya sebesar Gunung, sementara Dewaruci sangat kecil. Tetapi ketika akhirnya Bima menyanggupi, dia pun bisa memasuki Dewaruci itu lewat telinganya. Di dalam Dewaruci, Bima bertemu dengan dirinya sendiri. Dalam perjumpaan itu ia melihat warna-warni; batin Bima mengalami kedamaian dan ketenangan. Di dalam Dewaruci, pendek kata ia mengalami pengalaman luar biasa. Bima sangat bahagia dan dia ingin tinggal selamanya di sana. Tetapi Dewaruci memerintahkannya untuk keluar sebab tugasnya di dunia masih belum selesai.[2]

Dikisahkan juga bahwa Bima melihat boneka gading kecil yang melambangkan Pramana, prinsip hidup Ilahi yang berada di dalam dirinya sendiri serta memberi hidup.[3]  Ketika itu, Bima menyadari bahwa hakekatnya yang paling mendalam adalah manunggal dengan yang Ilahi. Dalam kesadaran itu, Bima mencapai manunggaling Kawula Gusti. Melalui kesatuan ini, ia mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, artinya pengetahuan tentang asal dan tujuan segala hal yang diciptakan. Bima mengalami kebahagiaan yang tak terhingga.

Bima adalah contoh metaforis manusia peziarah yang haus dan rindu akan kebijaksanaan.[4] Air kehidupan adalah gambaran dari apa yang disebut dengan kebijaksanaan itu sendiri. Dengan demikian, kebijaksanaan itu menghidupkan orang yang menggapainya. Bagaimana cara mendapatkan kebijaksanaan? Caranya adalah masuk ke dalam Dewaruci yang tak lain adalah gambaran diri Bima. Jadi, Bima itu terdiri dari kosmos besar (dirinya yang sebesar gunung) dan kosmos kecil (jati dirinya yang dimasukinya sendiri).[5] Ketika kebijaksanaan itu terletak pada dirinya yang kecil itu, itu berarti ia terletak di dalam hatinya sendiri. Dalam bahasa mistik religius, kebijaksanaan itu tidak lain adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah air kehidupan yang menghidupkan orang apabila berjumpa dengan-Nya. Inilah tujuan peziarahan manusia.

 Beberapa Catatan tentang Manunggaling Kawula Gusti

Dalam sastra Jawa klasik terdapat ungkapan yang sangat indah tentang manusia sebagai peziarah kehidupan.

Hidup ini dapat diumpamakan dengan suatu perjalanan jauh. Dalam perjalanan itu orang kadang-kadang mampir sebentar. Paling lama hanya satu malam, kadang-kadang hanya sekejap saja, lalu berangkat lagi. Perjalanan semacam itu selalu terkait dengan kerinduan untuk pulang ke rumahnya sendiri. Maka dari itu, orang tersebut selama dalam perjalanan selalu berhati-hati (Pupuh 155).[6]

Kalimat “Kerinduan untuk pulang ke rumahnya sendiri,” mempunyai arti yang sangat mendalam. Maksudnya, di tengah kesibukan dunia ini, manusia tidak boleh lupa untuk masuk ke dalam batinnya sendiri.[7] Di dalam batinnya, manusia akan berjumpa dengan tujuan peziarahanya yakni Tuhan sendiri. Tujuan tertinggi mistik Jawa adalah persatuan dengan Yang Ilahi, yang terdapat di dalam dirinya sendiri. Bahkan para mistikus Jawa meyakini bahwa setiap orang yang mengenal dirinya, akan mengetahui Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam teks sastra Jawa (Dandang Gula 3).

Beginilah sabda Duta Mulia, setiap orang yang mengetahui dirinya, juga mengetahui Tuhannya. Tetapi barang siapa tidak mengenal dirinya sendiri, juga tidak mengenal Yang Suksma (yang Ilahi). Maka dari itu, seyogyanya kau mengenal dirimu, kalau tidak, kau sama dengan Kerbau dan Lem, kau juga seekor hewan yang dapat berbicara.[8]

Tuhan bersemayam di dalam diri manusia, tepatnya di bagian paling halus dari hati manusia yang disebut suksma.[9] “Suksma adalah “wadah” segala kehidupan berkumpul, hidup dalam kehidupan-hidup tertinggi, itulah rahasia sejati, rahasia badanmu.” Bahkan teks sastra Dandang Gula 17 menegaskan persatuan antara Tuhan dan manusia ini. “Ketahuilah, anakku, bahwa Adamu dan Ada-Nya Tuhan tidak dapat dipisahkan.”

Persatuan ini dialami ketika manusia mau menarik diri dari keramaian dunia dan menyepi (semadi). Tentang hal ini, teks sastra Asmarandana 1 menulis sebagai berikut.[10]

“Ada orang yang menyepi di pantai. Mereka melakukan konsentrasi di tepi laut. Bukan dua hal yang mereka pikirkan. Hanya pencipta alam semesta yang menjadi pusat perhatiannya.Yang menciptakan dunia adalah tanpa rupa atau suara. Kalbu manusia yang dipandang sebagai wisma-Nya. Carilah Dia dengan sungguh-sungguh, jangan sampai pandanganmu terbelah menjadi dua. Peliharalah baik-baik iman kepercayaanmu dan tolaklah hawa nafsu.”

Singkatnya, manusia mengalami manunggaling Kawula Gusti ketika ia berani masuk ke bagian paling dalam  dari dirinya sendiri. Hal ini bisa dilakukan oleh pribadi-pribadi yang berani mencari kesunyian; meninggalkan kesibukan dunia. Mereka juga harus mampu mengalahkan keinginan daging berupa hawa nafsu, keangkuhan, kemabukan dan aneka kesenangan duniawi lainnya.[11] Hanya dalam suasana kesunyian batin, orang bisa masuk ke dalam dirinya dan mengalami perjumpaan dengan Yang Ilahi yang bersemayam di dalam suksma. Bima adalah tokoh inspiratif yang telah mengalami manunggaling Kawula Gusti.

 Confessiones

Dalam buku Confessiones, Agustinus secara mendalam merefleksikan peziarahan hidupnya sejak masa kanak-kanak. Ia mengakui bahwa sejak kecil Allah telah mengasihinya melalui orang tuanya.

“Mereka memang mau memberikan daku apa yang berlimpah-limpah mereka punyai dari Engkau, sesuai dengan perasaan yang Kautanamkan dalam diri mereka. Sebab kebaikan yang kuperoleh dari mereka adalah bagi mereka kebaikan pula. Namun, kebaikan itu tidaklah dari mereka, tetapi lewat mereka. Sebab segala kebaikan berasal dari-Mu, ya Allah.”[12]

Masa kanak-kanak dilalui oleh Agustinus bersama orang tuanya. Banyak hal berharga yang diperolehnya dari mereka. Akan tetapi, Agustinus juga mengakui bahwa ia telah berbuat dosa, antara lain: tidak menuruti perintah orang tua dan para gurunya.[13] Yang menarik adalah ketika ia sedang sakit, ibunya hendak membaptisnya menjadi pengikut Kristus. Akan tetapi, hal ini tidak jadi dilakukan karena Agustinus sembuh. Setelah pembaptisan seseorang akan terikat oleh Kristus dan kalau berbuat dosa akibatnya sangat besar.[14] Inilah alasan ditundanya pembaptisan Agustinus.

Merasa Jauh dari Allah

Pada umur 16 tahun, Agustinus jatuh dalam kenakalan masa remajanya. Antara lain, ia terhanyut oleh nafsu seksualnya, bahkan dikendalikan olehnya.

“Apakah kesenanganku waktu itu selain mencintai dan dicintai? Akan tetapi, hal itu tidak terbatas pada pertukaran antara hati yang satu dengan hati yang lain, yang merupakan setapak persahabatan penuh cahaya. Malahan sebaliknya, kabut meruap dari lumpur nafsu badani dan dari gelegak gelora masa remaja. Maka hatiku tertutup mendung dan redup sehingga tak lagi dapat membedakan antara keheningan kasih sayang dan kabut kelezatan nafsu. Keduanya tercampur dan rangsang-merangsang, maka terhanyut kemudaanku yang lemah, melintasi lorong-lorong terjal nafsu-nafsu dan terjerumus ke dalam kancah kebatilan.”[15]

Menurutnya, pada saat kejatuhan itu, ia merasa sangat  jauh dari Tuhan. Hal ini dilukiskan melalui pertanyaan reflektif berikut ini. “Celakalah aku! Akankah aku berani berkata bahwa Kau berdiam diri, Allahku, waktu aku pergi semakin jauh dari-Mu? Apakah kau benar-benar berdiam diri kepadaku?”[16] Singkatnya, Augustinus menyadari bahwa dirinya telah melakukan hal-hal buruk dalam hidupnya. Segala keinginan dirinya dilampiaskannya.

Di Karthago, Augustinus menganut Manikheisme.[17] Tentang aliran ini, ia melukiskan sebagai berikut.

“Dalam mulut mereka ada jerat-jerat iblis serta semacam perekat yang dibuat dengan mencampuri bunyi nama-Mu, dan nama Tuhan Yesus, dan nama Parakletus, penghibur kami, Roh Kudus. Nama-nama itu tak lekang dari bibir mereka, tetapi hanyalah suara, bunyi bahasa, tidak lebih; di luar itu hati mereka hampa kebenaran. Mereka berkata, “kebenaran! Kebenaran!” Kepadaku mereka banyak membicarakannya, tetapi sesungguhnya di mana pun dalam diri mereka tak ada kebenaran dan mereka menyatakan hal-hal yang tidak benar.”[18]

Ungkapan ini menunjukkan bahwa Agustinus tidak menemukan kebahagiaan ketika mengikuti Manikheisme. Bahkan ia merasa jauh dari Allah. “Di manakah Engkau bagiku ketika itu dan berapa jauh Engkau? Jauh benar dari-Mu, aku mengembara di negeri asing! Aku berjerih payah dan bergelora karena tidak memiliki kebenaran” Dalam situasi demikian, sesungguhnya Agustinus mencari Allah. Namun, dalam pencarian ini, ia tidak mengikuti kehendak Allah. Yang diikutinya adalah kehendak daging. Akibatnya, ia tidak mengalami kebahagiaan.

Ketika hidup Agustinus kacau balau karena mengikuti Manikheisme, ibunya selalu berdoa kepada Tuhan agar ia bertobat. Menurut Agustinus, Allah hadir melalui ibunya, tetapi ia tidak menanggapinya. Tentang kesalehan ibunya ia menulis demikian.

“Hampir Sembilan tahun lamanya aku bergelimang lumpur yang dalam di keremangan kekeliruan. Selama waktu itu, dengan tidak habis-habisnya ia mengadukan aku kepada-Mu, pada setiap saat ia berdoa. Doa-doanya datang ke hadapan-Mu, namun Kau masih membiarkan aku berguling-guling tergulung dalam kegelapan itu.”
Tuhan Memanggil Agustinus

Tatkala tinggal di Milano (Italia), Agustinus berkenalan dengan banyak tokoh hebat dalam Gereja. Salah seorang tokoh tersebut adalah uskup Ambrosius yang sangat terkenal pada waktu. Agustinus sering mendengarkan kotbah Uskup Ambrosius. Ia sangat tertarik dengan gaya bicara Ambrosius yang menjelaskan Kitab Suci dengan baik. Pada saat itu, Agustinus belum berkeinginan untuk masuk agama Katolik. Akan tetapi, sosok Ambrosius memang mempengaruhi cara berpikirnya tentang agama Katolik. Setelah perjumpaan dengan Ambrosius, ia mulai tertarik untuk mempelajari ajaran Katolik. Ia menemukan kebenaran dalam Kitab Suci. Bahkan, pertobatannya tidak terlepas dari pengaruh uskup Ambrosius.

Di samping itu, ia juga membaca banyak buku yang ditulis oleh para filsuf Neo-Platonis. Atas anjuran pemikir Neo-Platonis yang ditemukan dalam buku-buku tersebut, Agustinus kembali ke dalam dirinya. Tujuannya adalah mencari Allah. Bahwasannya, pengetahuan mengenai Allah dicarinya dengan mata jiwanya. Tentang hal ini, ia berkata, “aku memasuki kedirianku dengan bimbingan-Mu. Aku dapat melakukannya karena Engkau menjadi penolongku.”
Agustinus juga bertemu dengan Simplicianus, seorang yang dikagumi di dalam Gereja, termasuk oleh uskup Ambrosius. Simplicianus mengisahkan pertobatan Victorinus yang dulunya seorang pemuja dewa-dewi dan memiliki banyak pengikut. Kemudian, pada masa tuanya ia bertobat dan menjadi pemeluk agama Katolik. Setelah mendengar kisah itu, Agustinus kembali masuk ke dalam dirinya. Ia melihat dirinya sebagai pendosa.

“Ya Tuhan, Engkau balikkan aku kembali menatap diriku, Engkau menarik aku dari balik punggungku, tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatap diriku itu. Engkau menempatkan aku tepat berhadapan muka dengan diriku supaya aku melihat bahwa betapa jelek aku, betapa cacat dan menjijikkan, penuh noda dan borok.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Agustinus mengalami pergulatan hebat di dalam dirinya. Ia berusaha menarik diri dari keramaian dan merenungkan perjalanan hidupnya. Akhirnya, pada suatu kesempatan ia mendengar suara seorang anak tetangganya yang berulang kali menyampaikan ungkapan penting. “Ambillah, bacalah! Ambillah, bacalah! (Tolle lege!)” Agustinus menganggap suara itu sebagai perintah Tuhan agar ia segera membaca Kitab Suci. Ia berjanji untuk membaca bab pertama yang dibukanya. Akhirnya, ia menemukan ayat berikut ini.
“Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari. Jangan dalam pesta pora dan kemabukan; jangan dalam percabulan dan hawa nafsu; jangan dalam perselisihan dan iri hati; tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Roma 13:13-14).

Rupanya kata-kata rasul Paulus ini menggugah hidupnya. Bahkan kata-kata ini yang membuat dirinya bertobat. Tatkala ibunya mendengar keinginan Agustinus, ia sangat senang. Ternyata, uskup Ambrosius juga turut bersuka cita atas pertobatannya. Akhirnya, dalam bimbingan Ambrosius, ia dibaptis menjadi pengikut Kristus. Agustinus bahagia dengan peristiwa itu. Bahkan ia berkata, “betapa lambatnya aku akhirnya mencintai-Mu, betapa lambat Kau kucintai!”

“Bagaimana aku harus mencari-Mu, ya Tuhan? Sesungguhnya apabila aku mencari-Mu, Allahku, yang kucari ialah kebahagiaan. Semoga aku dapat mencari-Mu supaya hiduplah jiwaku! Sebab tubuhku hidup dari jiwaku dan jiwaku hidup dari-Mu. Jadi, kebahagiaanku adalah Engkau sendiri. Aku berbahagia kepada-Mu, dari-Mu dan karena-Mu!”

Berkat pembaptisannya, Agustinus merasa dekat dengan Tuhan. Setelah lama mencari, ia akhirnya mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Persatuan dengan Allah ini dialaminya ketika ia berani masuk ke dalam dirinya dan merefleksikan peziarahan hidupnya. Ternyata hidupnya jauh dari Allah. Walaupun banyak prestasi dan kesenangan yang diperolehnya, ia menyadari bahwa semuanya itu tidak memberikan kebahagiaan sejati bagi dirinya. Menurutnya, sumber kebahagiaan sejati itu adalahTuhan sendiri yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.

Apabila orang mau bersatu dengan Tuhan, ia harus berjuang melawan dirinya. Yang dilawan adalah keinginan daging (misalnya, godaan syahwat, kemabukan) dan keangkuhan (misalnya ingin dihormati, dipuji). Inilah pesan Agustinus untuk para pengikut Kristus. Pesan ini berdasarkan pengalaman hidupnya.

Titik Temu Kisah Bima Suci dan Agustinus

Ada beberapa hal yang menjadi titik temu antara tokoh Bima dalam kisah Bima Suci dan Agustinus dalam buku Confessiones.

Pertama, Persatuan dengan Tuhan adalah Tujuan Peziarahan. Kisah Bima Suci merefleksikan posisi manusia sebagai peziarah kehidupan. Bima adalah seorang ksatria muda yang dengan gemilang melakukan peziarahan. Setelah melewati aneka rintangan, ia mengalami persatuan dengan yang Ilahi. Ia mengalami kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian. Di pihak lain, Agustinus juga adalah seorang peziarah terbesar dalam sejarah Gereja. Sungguh berliku-liku peziarahan hidupnya. Ia tidak pernah puas dengan apa yang diraihnya, dengan pengetahuan yang bisa dikejar oleh akal budinya. Bahkan, Agustinus sering kali merasa jauh dari Allah. Ia mencari kebijaksanaan hidup yang sungguh-sungguh memberikan kedamaian baginya. Kebijaksanaan itu hanya dipenuhi oleh Allah. Akhirnya, ia berkata, “terlambat aku mencintai-Mu, oh Allahku.” Jadi, keduanya (Bima dan Agustinus) sama-sama mengalami bahwa tujuan peziarahan hidup ini adalah persatuan dengan Tuhan. Keduanya sama-sama mengalami Manunggaling Kawula Gusti.

Kedua, Tuhan bersemayam di dalam batin manusia. Yang menarik adalah Bima justru berjumpa dengan yang Ilahi itu di dalam dirinya. Dewaruci adalah gambaran diri Bima. Ketika ia masuk ke bagian paling dalam dari dirinya (suksma), ia mengalami manunggaling Kawula Gusti. Bima mengalami kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan hidup. Ia berjumpa dengan sang Kebijaksanaan itu sendiri (Allah). Di pihak lain, Agustinus juga berjumpa dengan Tuhan di dalam dirinya. Kecerdasan akal budi, segala prestasi, kekayaan dan kesenangan jasmani yang dimilikinya ternyata tidak mendatangkan kebahagiaan bagi hidupnya. Lalu, ia merefleksikan peziarahan hidupnya. Ia menemukan bahwa Kebenaran yang dicarinya hanya ditemukan dalam Allah. Kebenaran itu letaknya sangat dekat dengan dirinya; bahkan di dalam lubuk batinnya. Tidak perlu lagi menguras akal budi untuk mencari Tuhan. Yang penting adalah mau menciptakan keheningan untuk bisa masuk ke dalam dirinya. Justru hal inilah yang mendorong Agustinus merenungkan Kitab Suci dan ia menemukan ayat penting ( Roma 13:13-14) yang mengubah haluan hidupnya. Agustinus bertobat! Ternyata Tuhan, sumber kebahagiaan hidup itu ditemukan di dalam dirinya.

Ketiga, Mendengarkan orang lain. Bima sangat setia mendengarkan gurunya. Ketika Bima diutus untuk mencari air kehidupan, ia dengan setia melakukannya. Begitu juga ketika Dewaruci meminta Bima agar masuk ke dalam dirinya; ia berani melakukannya. Kesetiaan ini membuat Bima bisa berjumpa dengan air kehidupan yang tak lain adalah Allah sendiri. Di pihak lain, Agustinus juga tampil sebagai pribadi yang mendengarkan orang lain. Salah satunya, ia taat mendengarkan uskup Ambrosius. Ia rajin mendengarkan kotbahnya. Atas teladan hidup uskup Ambrosius, Agustinus tertarik untuk mendalami Kitab Suci. Bahkan, ketika masuk Katolik, yang membaptisnya adalah uskup Ambrosius. Kesetiaan mendengarkan uskup Ambrosius membuat Agustinus bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Ia semakin tekun merenungkan Kitab Suci dan menemukan banyak inspirasi untuk hidupnya. Jadi, Bima dan Agustinus mengalami persatuan dengan yang Ilahi tidak terlepas dari ketaatan mereka dalam mendengarkan orang lain

 

Kisah Bima Suci selalu aktual dan sering didiskusikan oleh orang zaman ini terutama yang berminat dengan filsafat Jawa. Begitu juga dengan kisah peziarahan hidup Santo Agustinus. Banyak orang beriman terinspirasi dengan kisah hidupnya. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari kisah Bima Suci dan buku Confessiones ini. Antara lain: Pertama, manusia zaman ini disadarkan bahwa hidup adalah peziarahan untuk menemukan “air perwitasari.” Dalam sudut pandang mistik kristiani, “air perwitasari” itu tak lain adalah Allah sendiri. Orang beriman adalah peziarah yang sedang menuju persatuan intim dengan Allah. Perjumpaan dengan-Nya akan membawa kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian dalam hidup. Tidak perlu pergi jauh untuk mencari-Nya. Sebab Dia berada di dalam lubuk batin manusia. Yang diperlukan adalah keberanian untuk menciptakan keheningan batin. Kedua, Persatuan dengan Tuhan sering kali melampaui pertimbangan akal budi. Peziarahan Agustinus menunjukkan kepada manusia zaman ini bahwa kecerdasan akal budi tidak otomatis membawa manusia pada persatuan dengan yang Ilahi. Bahkan Agustinus selalu merasa tidak puas dengan aneka prestasi akal budinya. Dengan kata iain, kecerdasan intelektualnya tidak membawa kebahagiaan. Ia justru mengalami kebahagiaan yang tidak terkira karena ia hanya mengandalkan Allah. Ketika mengalami perjumpaan dengan Tuhan, ia mengalami ketenangan hidup. “Terlambat aku mencintai-Mu, ya Allahku!” Pengalaman ini menyadarkan orang agar jangan mendewakan kecerdasan intelektual. Hal yang lebih penting bagi manusia peziarah adalah mencari apa yang paling berharga yakni persatuan dengan Tuhan, sang sumber kebahagiaan sejati.

Akhirnya, saya menyadari bahwa masih banyak hal menarik yang bisa digali dari buku Confessiones dan kisah Bima Suci. Saya baru menemukan beberapa hal saja. Dengan demikian, eksplorasi lebih mendalam tentang relasi kedua hal ini sangat perlu dilakukan.

Daftar Pustaka

Agustinus, Pengakuan-Pengakuan (Confessiones), diterj. oleh Ny. Winarsih Arifin dan Th. Van den End, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Riyanto, Armada, Menjadi-Mencintai (Berfilsafat Teologis Sehari-hari), Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Suseno, Frans Magnis, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984.
Zoetmulder, P. J, Manunggaling Kawula Gusti, diterj. oleh Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia,1990.

RP Lorens Gafur, SMM
RP Lorens Gafur, SMM
Imam Misionaris Serikat Maria Montfortan (SMM). Ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 17 Juni 2016 di Novisiat SMM - Ruteng - Flores - NTT. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Widya Sasana - Malang - Jawa Timur.

Artikel Terkait

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini