Sepanjang sejarah umat manusia, Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia. Tujuannya agar manusia mampu mengenal-Nya. Percakapan antara Allah, Pencipta, dengan manusia, ciptaan-Nya, pertama kali terjadi di Taman Eden. Saat itu, manusia mendengar suara-Nya, namun mereka tidak melihat wajah-Nya. Ibarat kata ‘ada suara tetapi tidak ada gambar’.
[postingan number=3 tag= ‘tuhan-yesus’]
Umat Perjanjian Lama mempunyai pandangan bahwa jika mereka melihat wajah Allah, mereka akan mati. Makanya Yakub senang sekali bisa melihat wajah Allah tapi tidak mati. Ia berkata: “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (Kej. 32:30).
Begitu pula yang dialami oleh Gideon. Ketika ia sadar bahwa yang baru saja dia jumpai adalah Malaikat Tuhan, ia pun berkata:
“Celakalah aku, Tuhanku ALLAH! sebab memang telah kulihat Malaikat TUHAN dengan berhadapan muka.” Tetapi berfirmanlah TUHAN kepadanya: “Selamatlah engkau! Jangan takut, engkau tidak akan mati” (Hak. 6:22-23).
Musa mendapat kesempatan untuk memandang wajah Tuhan, namun ia tidak berani memandang-Nya. Ia justru menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah (Kel. 3:6). Demikian juga dengan Elia. Ketika ia tahu bahwa Tuhan datang dalam angin sepoi-sepoi, ia pun menyelubungin mukanya dengan jubahnya (lih. 1 Raj. 19:13).
Memang, dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meski Allah tidak memperlihatkan wajah-Nya, Ia toh secara berulangkali berbicara dan menyampaikan pesan-Nya kepada manusia, ciptaan-Nya.
Hingga akhirnya, Allah datang ke dalam dunia manusia. Dalam diri Yesus Kristus, Ia mengambil wajah manusia dan menjadi sahabat dan saudari kita (Paus Benediktus XVI). Melalui Yesus, Allah yang tadinya hanya memperdengarkan suara-Nya, kini memperlihatkan wajah-Nya dan terlibat secara langsung dalam hidup keseharian manusia.
Padahal, Allah tidak harus menyingkapkan diri kepada kita. Tapi, Dia melakukannya karena Ia ingin menunjukkan kepada kita betapa Ia mengasihi kita. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Yesus Kristus adalah pernyataan diri Allah. Setiap orang yang bertemu dengan-Nya memperoleh hidup.
Lantas, apa tanggapan kita? Jawabannya: kita harus sungguh-sungguh percaya kepada-Nya, sebagai Allah yang menjadi manusia. Tak ada sedikit pun alasan bagi kita untuk tidak percaya kepada-Nya. Sebab, seperti kata Blaise Pascal, ‘terpisah dari Yesus Kristus, kita tidak tahu siapa Allah itu, apa itu kehidupan, apa itu kematian, dan bahkan tidak tahu diri kita’. Percayalah kepada Tuhan Yesus, dan niscaya Dia akan memberkati engkau. ***