8.1 C
New York
Thursday, November 20, 2025

“Membela Tuhan”

Gus Dur pernah bilang begini “Tuhan itu tidak perlu dibela dengan bermacam cara. Dia Mahakuasa. Mengapa kamu membela Dia yang Mahakuasa itu? Yang perlu dibela sebenarnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang sering kali digusur karena ego manusia. Mereka yang sengsara dan menderita karena korban ketidakadilan dan penindasan, itulah yang semestinya dibela”. Gus Dur memang sungguh luar biasa hebatnya. Tidaklah keliru kalau ia dinobatkan sebagai bapak Pluralisme.

Saya secara pribadi, mendukung pernyataan Gus Dur ini. Ya…..memang Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Mahakuasa. Untuk apa Dia bela lagi. Latarbelakang pernyataan Gus Dur ini lahir dari kecemasannya berhadapan dengan kelompok fanatisme. Gus Dur sebenarnya ingin melawan kelompok fanatisme yang berpegang pada keyakinan yang berlebihan sampai mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Kelompok fanatisme cenderung membela Tuhan dan merobohkan kemanusiaan yang menjadi substansi dari keberimanan. Saya kira ini yang menjadi latarbelakang pernyataan Gus Dur bahwa Tuhan tidak perlu dibela.

Kalau Gus Dur mengatakan Tuhan tidak perlu dibela, maka saya sedikit melawan pernyataan Gus Dur. Tuhan itu perlu dibela. Pernyataan saya “Tuhan perlu dibela” tentu memiliki latarbelakang yang berbeda dan punya maksud yang berbeda pula dengan pernyataan Gus Dur. Saya ingin membela eksistensi Tuhan dalam ruang kehidupan manusia yang sedang menderita.

Keberadaan Tuhan saat ini dipertanyakan oleh mereka yang sedang dilanda duka dan penderitaan. Saya sering kali membaca status dari orang-orang yang sedang ditimpa musibah, tulisan-tulisan mereka sering kali menggugat Allah. Saya kira, hal yang sama juga diungkapkan oleh saudara-saudari kita di wilayah barat Palau Flores tepatnya di Kampung Culu-Manggarai Barat yang sedang dilanda duka karena ditinggalkan untuk selamanya oleh orang-orang yang mereka kasihi. Rumah-rumah mereka hancur total karena kekejaman alam dan relasi sosial di antara mereka juga terganggu karena harus mengungsi di beberapa tempat yang berbeda.

Saya ingin membela keberadaan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik di tengah mereka yang sedang dirundung duka ini. Pembelaan ini hanyalah sebuah refleksi metafisis tentang keberadaan Tuhan. Pertanyaan yang sering kali muncul dari mereka yang sedang menderita adalah seandainya Allah yang baik itu ada, mengapa adanya kejahatan atau penderitaan? Seandainya Tuhan yang baik itu benar-benar ada, maka pasti tidak pernah ada dan terjadi keganasan perang, penderitaan, siksaan ataupun kematian. Kalau Ia benar-benar ada, maka tidak akan ada satu tempat pun dimana kejahatan ditemukan. Toh, kejahatan dan penderitaan ditemukan di dunia ini, maka Tuhan itu tidak ada.

Pemikiran di atas sebenarnya memuat sebuah gagasan tentang Allah sebagai “Allah yang kebaikan-Nya tak terbatas dan mahakuasa”. Sebagai ada yang baik, maka Ia tidak boleh mengijinkan kejahatan. Sebagai yang mahakuasa, Ia seharusnya dapat menghalangi kejahatan dan penderitaan itu terjadi. Adanya penderitaan dan kejahatan di muka bumi ini kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang kebaikan dan pengetahuan-Nya tak terbatas. Itulah sebabnya, mengapa realitas kejahatan, kesengsaraan dan penderitaan dan adanya Allah kelihatannya tidak bisa dipadukan.

Berhadapan dengan mereka yang sedang dilanda duka dan penderitaan, sebagai orang beriman kita tetap dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa Tuhan itu memiliki kebaikan dan pengetahuan yang tanpa batas. Kepada mereka yang mengatakan penderitaan ada, maka Tuhan tidak ada, kita bisa membelanya dengan mengatakan kebaikan ada, maka Tuhan juga ada. Kedua pernyataan itu tidak berdiri sama tinggi, sebab kebaikannya yang berdaulat sedangkan kejahatan hanyalah sebuah accidens (kebetulan) yang tidak meniadakan makna pernyataan pokok. Kejahatan atau penderitaan tidak pernah merupakan suatu yang mutlak. Kejahatan atau penderitaan hanyalah kekurangan dari kebaikan yang bersifat mutlak itu.

Pada dasarnya, orang yang mengatakan bahwa penderitaan ada maka Tuhan tidak ada, tidak menyangkal adanya Tuhan. Sebenarnya mereka hanya keliru mengenai kodrat dari Tuhan. Mereka memberikan sikap melawan, karena pengertian mereka mengenai kodrat Tuhan dan keburukan adalah keliru. Mereka melihat penderitaan sebagai sesuatu ada bukan suatu kekurangan dari kebaikan, dan Melihat Tuhan sebagai sumber atau sekurang-kurangnya sebagai yang bertanggung jawab terhadap penderitaan itu. Jadi, kalau ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada karena adanya penderitaan di atas dunia, sebenarnya mereka tidak menyangkal adanya Tuhan. Dalam hal ini, mereka hanya keliru mengenai kodrat Tuhan dan inti dari penderitaan itu.

Sebagai cacatan terakhir agar Tuhan tetap diberi ruang dalam kehidupan manusia, saya mengangkat sebuah analogi. Ada sebuah gelas yang utuh (tidak pecah, baik). Gelas yang utuh keberadaannya tetap diakui, sekalipun tidak membutuhkan kehadiran gelas yan tidak utuh (pecah, buruk). Sebaliknya, keberadaan gelas yang tidak utuh (pecah) hanya mungkin ada mengandaikan adanya gelas utuh. Tidak mungkin ada kelas pecah, tanpa keberadaan gelas yang utuh. Artinya kebaikan (keutuhan) itu mutlak, sedangkan keburukan (keterpecahan) itu hanya mungkin ada karena kekurangan dari kebaikan. Kebaikan itu ada dan Tuhan adalah sumber kebaikan itu sendiri. Penderitaan hanyalah kekurangan dari kebaikan. Mari kita tetap memberikan ruang untuk Tuhan dalam hidup yang bersifat sementara ini.

Penulis: Frater Gusty Hadun (Calon Imam Keuskupan Ruteng)

avatar
Silvester Detianus Gea
Lahir di desa Dahana Hiligodu, Kecamatan Namöhalu-Esiwa, Nias Utara, pada tanggal 31 Desember. Anak kedua dari lima bersaudara. Pada tahun 2016, menyelesaikan Strata 1 (S1) Ilmu Pendidikan Teologi di Universitas Katolik Atma Jaya-Jakarta. Menyelesaikan Strata 2 (2023). Pernah menulis buku bersama Bernadus Barat Daya berjudul “MENGENAL TOKOH KATOLIK INDONESIA: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara” (2017), Menulis buku berjudul "MENGENAL BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL SUKU NIAS" (2018). Ikut serta menulis dalam Seri Aksi Swadaya Menulis Dari Rumah (Antologi); “Ibuku Surgaku” jilid III (2020), Ayahku Jagoanku, Anakku Permataku, Guruku Inspirasiku, Hidup Berdamai Dengan Corona Vol. IV, dan Jalan Kenangan Ibuku Vol. IV (2021), Autobiografi Mini Kisah-Kisah Hidupku (2022), Kuntum-Kuntum Kasih Sayang Vol. 3, Keluargaku Bahagiaku Vol. 2, Ibu Matahari Hidupku Vol. 1 (2023), Ibu Matahari Hidupku (2024), Menulis Itu Sehat & Hidup Itu Anugrah (2025), Ikut menulis buku "Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti" bersama penerbit Ethos Logos Pathos (2024-sekarang), Menulis buku "Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti" bersama PT. Mitra Laksana Pelita (2025-sekarang). Saat ini menjadi Wartawan komodopos.com dan floresnews.net(2018-sekarang), Author jalapress.com/, dan mengajar di Sekolah Tarsisius Vireta (Website:https://www.tarsisiusvireta.sch.id/) (2019-2024), menjadi Wakil Kepala Sekolah SD Tarsisius 1 (Juli 2024-sekarang), Wakabid. Marketing, Humas & Pengembangan Usaha, Yayasan Bunda Hati Kudus (2025) Penulis dapat dihubungi melalui: Email: detianus.634@gmail.com Facebook: Silvester Detianus Gea. Kompasiana: https://www.kompasiana.com/degeasofficial1465. Akun tiktok https://www.tiktok.com/@orang_muda.katolik1. Akun Youtube: https://www.youtube.com/@Degeasofficial. LinkedIn: https://www.linkedin.com/in/de-gea-000825389/.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini