Kita Bersaudara dalam Tuhan: Renungan Harian Katolik, Selasa 25 September 2018 — JalaPress.com; Injil: Luk. 8:19-21
Saya sangat percaya pada sabda Tuhan, “Setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat. 19:29).
Kata-kata Yesus ini benar-benar terbukti. Sabda Tuhan ini tidak pernah meleset. Saya pergi ke mana saja, saya mempunyai keluarga. Saya tidak pernah merasa kesepian. Asal orang tahu bahwa saya seorang Katolik, saya pasti diterima oleh orang-orang Katolik. Apalagi jika mereka tahu bahwa saya seorang pastor, lebih diterima lagi.
Persis seperti itulah yang diharapkan oleh Yesus dari kita. Yesus mau supaya masing-masing kita tidak membatasi pengertian keluarga hanya sebatas pada mereka yang mempunyai hubungan darah dengan kita. Itu juga benar, namun bagi kita pengikut Kristus, konsep tentang keluarga harus lebih luas dari sekedar memiliki hubungan darah.
Kita adalah keluarga meski tidak mempunyai hubungan darah. Mengapa? Karena kita mempunyai orang tua yang satu dan sama, yaitu Bunda Gereja. Gereja adalah ibu kita bersama. Makanya, dalam kehidupan sehari-hari kita selalu mengatakan bahwa dia adalah saudara seiman dengan saya.
Saudara-saudari yang terkasih, se
bagaimana kita pada umumnya memiliki Ayah, Ibu, kakak atau adik; demikian juga dengan Tuhan Yesus. Ketika Dia hidup di dunia ini, Ia memiliki sanak-saudara, terutama saudara se-keluarga. Nama ayah-Nya adalah Yusuf, Ibu-Nya bernama Maria, saudara-saudara-Nya bernama Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas (Matius 13:55).
Dalam bacaan Injil yang baru saja kita dengar diceritakan bahwa ketika Yesus sedang sibuk mengajar orang banyak, tampaknya Ibu dan saudara-saudara-Nya datang hendak menemui Dia. Namun niat mereka itu tidak kesampaian karena banyaknya orang yang mengerumuni Yesus. Makanya mereka hanya dapat melihat Dia dari jarak yang agak jauh. Untung saja, beberapa orang sepertinya melihat kejadian tersebut, dan dengan rasa peduli mereka memberitahukan keadaan itu kepada Yesus, tentu dengan harapan supaya Yesus dapat segera menemui sanak keluarga-Nya.
Tetapi, apa yang terjadi? Yesus justru berkata: “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?” Dan sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya, Ia bersabda, “Inilah ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku” (Mat. 12:48-49). Dengan perkataan ini, Yesus tentu tidak mengabaikan ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya. Tetapi Ia hanya ingin mengajarkan sesuatu yang lain kepada para pengikut-Nya. Ia berkata: “Siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat. 12:50). Artinya, Dia bukan meniadakan pentingnya hubungan keluarga oleh ikatan darah, namun yang jauh lebih penting adalah kekeluargaan di dalam Tuhan, yaitu bagi setiap siapapun yang mendengar dan melakukan firman Allah adalah bersaudara dan satu keluarga.
Yesus ingin mengajarkan kepada para murid-Nya dan kita juga bahwa kita semua bersaudara dalam Tuhan. Kita bersaudara sebab kita sama-sama melakukan kehendak Bapa di sorga. Apa kehendak Bapa atas kita? Yesus bersabda: “Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman” (Yoh. 6:39-40).
Allah menghendaki supaya kita yang bersaudara dalam iman ini tidak tercerai-berai alias hilang. Jangan ada yang berjalan sendiri-sendiri. Kita harus kuat, kokoh, dan kompak. Sama seperti seorang saudara tidak akan pergi meninggalkan saudaranya, sekuat apapun godaan dari luar. Mungkin dalam berhubungan dengan saudara seiman, kita sering menemui masalah karena perbedaan kepribadian, kesalahpahaman, dan perbedaan pendapat. Ketika hal itu terjadi, ingatlah bahwa bagaimanapun juga mereka adalah saudara kita dalam keluarga Allah. Janganlah menjauhi atau mengucilkan mereka. Sebaliknya, kita harus menerima, mengampuni, dan mengasihi mereka sama seperti Kristus telah menebus kita, orang berdosa. Ketika kita saling mengasihi, dunia akan melihat bahwa kita adalah anak-anak Allah. Amin.


