12.3 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Doa Arwah dalam Gereja Katolik: Berakar dalam Kitab Suci dan Tradisi

Gereja Katolik percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwanya. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.

[postingan number=3 tag= ‘agama-katolik’]

Sementara tiap-tiap individu hadir di hadapan pengadilan Tuhan dan harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya masing-masing, persekutuan Gereja yang telah dimulai di dunia ini terus berlanjut, kecuali persekutuan dengan jiwa-jiwa yang dikutuk di neraka. Konsili Vatikan II menegaskan:

“Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja no. 51).

Oleh sebab itu, sama seperti sekarang kita saling mendoakan satu sama lain dan saling meringankan beban satu dengan yang lainnya, umat beriman di dunia dapat mempersembahkan doa-doa dan kurban guna menolong jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia yang sedang dalam pemurnian, dan tak ada doa dan kurban yang lebih baik yang dapat dipersembahkan selain daripada Kurban Kudus Misa.

Paus Leo XIII dalam ensikliknya, “Mirae caritatis” (1902) menggarisbawahi hubungan antara persekutuan para kudus dengan Misa. Ia menuliskan: “Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir, teristimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah … saling memberikan pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan.”

Pikirkan gagasan ini: Misa Kudus melampaui ruang dan waktu, mempersatukan segenap umat beriman di surga, di bumi, dan di api penyucian; dan Ekaristi Kudus sendiri mempererat persatuan kita dengan Kristus, menghapus dosa-dosa ringan, serta melindungi kita dari dosa berat di masa mendatang (bdk. Katekismus no. 1391-1396). Oleh sebab itu, mempersembahkan Misa dan doa-doa lain demi umat beriman yang telah meninggal dunia merupakan tindakan yang kudus serta terpuji.

Praktek ini bukanlah praktek baru. Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa terutama kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (KGK no. 1032).

Sebenarnya frasa ‘zaman dahulu’ di sini bisa merujuk pada Perjanjian Lama. Dalam Kitab 2 Makabe, misalnya, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal. “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya” (2 Mak. 12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (2 Mak. 12:45).

Dalam sejarah awal Gereja, kita juga mendapati bukti akan adanya doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Prasasti yang diketemukan pada makam-makam dalam katakomba-katakomba Romawi dari abad kedua membuktikan praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan pada makam Abercius (wafat tahun 180), bertuliskan permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya.

Tertulianus pada tahun 211 menegaskan adanya praktek peringatan kematian dengan doa-doa. Kanon Hippolytus (± tahun 235) secara jelas menyebutkan perlunya persembahan doa-doa dalam perayaan Misa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Juga, St. Sirilus dari Yerusalem (wafat tahun 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisannya menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup maupun yang telah meninggal dunia dikenang; dan bagaimana Kurban Ekaristi mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal.

St. Ambrosius (wafat tahun 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita mengantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.”

St Yohanes Krisostomus (wafat tahun 407) mengatakan, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”

Orang mungkin bertanya, “Bagaimana jika jiwa orang yang kita doakan telah dimurnikan sepenuhnya dan telah pergi ke surga?” Kita yang di dunia tidak mengetahui dengan baik pengadilan Tuhan ataupun kerangka waktu ilahi; jadi selalu baik adanya mengenangkan saudara-saudara yang telah meninggal dunia serta mempersembahkan mereka kepada Tuhan melalui doa dan kurban.

Namun demikian, jika sungguh jiwa yang kita doakan itu telah dimurnikan dan sekarang beristirahat di hadirat Tuhan di surga, maka doa-doa dan kurban yang kita persembahkan, melalui kasih dan kerahiman Tuhan, akan berguna bagi jiwa-jiwa lain di api penyucian.

Sumber: “Straight Answers: Masses for the Dead” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved.
Diterjemahkan oleh: indocell.net/yesaya atas izin dari The Arlington Catholic Herald.

avatar
Silvester Detianus Gea
Lahir di desa Dahana Hiligodu, Kecamatan Namöhalu-Esiwa, Nias Utara, pada tanggal 31 Desember. Anak kedua dari lima bersaudara. Pada tahun 2016, menyelesaikan Strata 1 (S1) Ilmu Pendidikan Teologi di Universitas Katolik Atma Jaya-Jakarta. Menyelesaikan Strata 2 (S2) Ilmu Pendidikan Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta, PGRI (2023). Pernah menulis buku bersama Bernadus Barat Daya berjudul “MENGENAL TOKOH KATOLIK INDONESIA: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara” (2017), Menulis buku berjudul "MENGENAL BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL SUKU NIAS" (2018). Ikut serta menulis dalam Seri Aksi Swadaya Menulis Dari Rumah (Antologi); “Ibuku Surgaku” jilid III (2020), Ayahku Jagoanku, Anakku Permataku, Guruku Inspirasiku, Hidup Berdamai Dengan Corona Vol. IV, dan Jalan Kenangan Ibuku Vol. IV (2021), Autobiografi Mini Kisah-Kisah Hidupku (2022), Kuntum-Kuntum Kasih Sayang Vol. 3, Keluargaku Bahagiaku Vol. 2, Ibu Matahari Hidupku Vol. 1 (2023), Ibu Matahari Hidupku (2024). Saat ini menjadi Wartawan komodopos.com dan floresnews.net(2018-sekarang), Author jalapress.com/, dan mengajar di Sekolah Tarsisius Vireta (Website:https://www.tarsisiusvireta.sch.id/) (2019-sekarang). Penulis dapat dihubungi melalui email: detianus.634@gmail.com atau melalui Facebook: Silvester Detianus Gea. Akun Kompasiana: https://www.kompasiana.com/degeasofficial1465. Akun tiktok De Gea's Official.

Artikel Terkait

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini