Karl Marx. Siapa yang tidak mengenal tokoh sosialis yang satu ini? Untuk orang yang pernah belajar di Fakultas Filsafat atau Fakultas Ilmu Sosial lainnya, nama Marx tidak asing lagi. Marx sudah menjadi sahabat dekat para mahasiswa filsafat. Relasi yang dibangun antara para mahasiwa filsafat dengan Marx adalah relasi “akademik-intelektual”. Dalam fakultas Filsafat misalnya, nama Karl Marx pasti muncul dalam mata kuliah Filsafat Manusia, Sosiologi dan lebih tenarnya dalam mata kuliah Filsafat Ketuhanan. Popularitas Marx muncul karena gagasan-gagasannya yang sangat provokatif. Ia sering kali mengganggu, menggigit dan menggonggong kemapanan (status quo) kaum agamawan.
Marx dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 dari keluarga Yahudi. Ayahnya seorang pengacara. Waktu Marx masih sangat muda, ayahnya masuk agama protestan karena alasan bisnis. Marx sangat cerdas sekali. Pada usia 23 tahun, dia sudah mendapat gelar doktor dalam bidang filsafat. Sungguh luar biasa kecerdasannya. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar latarbelakang keluarga dan pendidikan dari Marx. Saya hanya mengutip konsepnya tentang agama yang hingga saat ini masih menjadi menu utama dalam studi filsafat.
Pemikiran Karl Marx yang sangat terkenal adalah kritikannya terhadap agama. Kritikannya terhadap agama menimbulkan diskusi yang hampir tidak pernah tuntas dalam ruang filsafat. Marx mengatakan bahwa “Die Religion ist das Opium des Volkes”(Religion is the opium of the people, agama adalah candu masyarakat). Sebagai candu masyarakat, agama dipandang memiliki kekuatan yang luar biasa yang menciptakan ketidaksadaran dalam diri masyarakat. Agama membuat manusia melupakan situasi sosial yang sedang menindasnya dan hanya membayangkan suatu kehidupan yang membahagiakan yaitu surga. Surga dipandang Marx sebagai hiburan palsu yang membuat manusia bertahan pada situasi ketertindasan.
Owwwwwww….luar biasa gagasan Marx ini. Kritikan Marx biasa diterima karena sasaran kritikannya adalah situasi sosial waktu Marx hidup, di mana Gereja waktu itu kurang berpijak dan berpihak pada mereka yang menderita. Gereja pada waktu Marx hidup dipakai sebagai instrumen politik. Gereja sama sekali tidak menampilkan wajah yang berbelas kasih.
Ada beberapa sisi positif dari kritikan Marx yang hemat saya bisa diterima akal sehat. Pertama, untuk fakultas filsafat, Marx lebih memberikan arah yang lebih praktis dari aliran-aliran sebelumnya yang menekankan idealisme. Marx mengharapkan agar filsafat tidak boleh hanya membuat refleksi tentang realitas yang ada, tetapi harus memberi kontribusi ke arah praksis pembebasan untuk mengubah realitas sosial yang bobrok. Ideologi harus diubah menjadi praxiologi. Kedua, analisis sosial Marx merupakan cikal bakal ilmu sosiologi. Dalam analisis sosialnya, Karl Marx sudah membuat pendekatan struktural yang menunjukan bahwa sikap dan cara berpikir manusia dikondisi oleh struktur sosial ekonomi. Ketiga, Karl Marx menghancurkan sikap fatalistik, yaitu sikap pasrah yang menerima hidup malang sebagai nasib yang tak terelakkan dan mengajar bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah nasibnya dan mewujudkan kebahagiaan. Keempat, kritikan Marx turut memberi kontribusi bagi pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera di Eropa Barat dewasa ini. Kelima, kritikan Marx yang sangat tajam ini turut mempengaruhi wajah agama (gereja) pada waktu itu. Gereja pada waktu Marx hidup terlalu bersifat devosional dan kurang melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial. Saya kira, ini beberapa sumbangan positif Marx yang bisa membantu membangunkan kita dari ketidaksadaran untuk membaca situasi sosial yang sering kali menindas.
Benarkah, agama itu sebagai candu masyarakat? Hingga saat ini, pemikiran Marx terhadap agama sekalipun memberikan kontribusi positif tetap mendapat kritikan yang cukup bisa diterima akal sehat. Ada dua kritikan yang ditujukan kepada gagasan Marx tentang agama. Pertama, kritikan Marx tidak dibenarkan kalau diarahkan kepada inspirasi iman dari kitab suci, karena Allah yang diwartakan dalam kitab suci adalah Allah yang membebaskan dan menentang ketidakadilan. Kedua, kurang terlalu tepat kalau Marx menghubungkan agama dan kemiskinan. Marx belum bisa membuktikan secara rasional bahwa semakin miskin seseorang, maka ia semakin bergantung pada Tuhan (semakin beriman, beragama). Semakin kaya seseorang maka ia semakin tidak beriman kepada Tuhan (tidak beragama).
Gerakan Karitatif Gereja: Upaya Menangkal Kritikan Karl Marx dan Para Pengikut Marx
Sekalipun secara badianiah, Karl Marx sudah tidak bisa dipandang mata lagi, tetapi secara ideologis, Marx masih hidup hingga saat ini. Muncul Karl Marx-Karl Marx baru saat ini yang mencoba mengambil gagasan Karl Marx yang dulu untuk mengeritik agama (gereja). Ada banyak orang yang mengeritik eksistensi agama (gereja) saat ini.
Beberapa bulan yang lalu, muncul pernyataan provokatif dari Gubernur NTT yang melenceng dari ajaran gereja tentang keselamatan. Bapak Viktor Laiskodat mengatakan begini, “hanya orang cerdas saja yang masuk surga, tidak ada orang miskin dan bodoh masuk surga”. Benarkah? Pernyataan bapak Viktor ini mendapatkan beragam tanggapan. Ada yang mendukung dan tidak sedikit juga yang menentang.
Terhadap pernyataan bapak Viktor ini, ada orang yang berusaha menyerang eksistensi gereja dengan mengungkapkan beragam pernyataan skeptis tentang eksistensi gereja. Ada yang mengatakan, gereja buat apa terhadap orang miskin (untuk konteks Flores). Ada yang dengan tegas mengatakan bahwa gereja Flores belum mampu memberi inspirasi bagi perjuangan sosial kemasyarakatan. Ada kesan bahwa gereja bungkam terhadap realitas kemiskinan dan korupsi yang terus saja merusak tatanan kehidupan bersama.
Terhadap kritikan Marx dan para pengikut Marx saat ini, saya kira gerakan karitatif yang dilakukan oleh gereja keuskupan Ruteng saat ini terhadap masyarakat (keluarga) korban tanah longsor di Culu Manggarai Barat mampu meruntuhkan kritikan Marx. Gereja Keuskupan Ruteng dalam kerja sama dengan mahasiswa STKIP, STIKES St. Paulus Ruteng, Lembaga Karitas Keuskupan Ruteng, Tim PUSPAS (Bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia), Paroki-Paroki dan juga Organisasi Orang Muda Katolik bahu membahu membantu korban tanah longsor di Culu-Manggarai Barat yang menelan korban jiwa 8 orang. Hemat saya, gerakan karitatif yang diadakan oleh gereja keuskupan Ruteng tentu didorong oleh ajaran nilai-nilai Kristiani yakni Iman, Harapan dan Kasih. Nilai-nilai inilah yang menggerakkan gereja untuk selalu Berbagi dan menampilkan wajah Allah yang berbelas kasih, peduli terhadap mereka yan menderita dan sengsara. Apresiasi yang sebesar-besarnya diberikan kepada gereja Keuskupan Ruteng yang sudah menunjukan wajah Allah yang berbelas kasih. Gereja sungguh berpijak dan berpihak kepada mereka yang menderita. Saya kira yang dibuat oleh gereja keuskupan Ruteng tidak memiliki orientasi politis. Lain halnya kalau caleg-caleg turun ke lokasi longsor kemudian meminta wartawan untuk mengabadikan moment itu untuk dipasarkan di ruang publik pertanda bahwa mereka sungguh peduli terhadap penderitaan sesamanya ternyata di balik itu ada “hidden agenda”.
Penulis: Frater Gusty Hadun (Calon Imam Keuskupan Ruteng)


