Nyala monitor di laptop itu terlihat berkedip-kedip, menandakan alat itu sedang digunakan.
Di depan laptop itu seseorang sedang memperhatikan dengan seksama apa saja yang terpampang di hadapannya. Asyik sekali. Aku jadi ragu untuk masuk meski pintu setengah terbuka dan sempat kuketuk pelan tadi.
“Masuk saja. Jangan mengintip di sana…,” seru orang di dalam seperti tahu aku sedang meragu di depan pintu. Segera kulangkahkan kaki untuk masuk ke ruangan itu diiring senyuman yang disambut dengan senyuman Sang empunya ruangan.
“Lagi sibuk, Kang?” tanyaku basa basi.
“Enggak… Kelihatan gitu Aku sibuk?” Dia balik tanya.
“Hehe… Habis, kayak serius gitu,” ujar saya sembari menawarkan senyum canda.
“Enggak juga sih… Duduk deh….” Ia memberi kode agar duduk di sebelah mejanya. Tak lama Ia membalikkan laptopnya itu ke arahku. “Sudah lihat foto dan video ini?” Tangannya menunjuk sebuah foto dan video dari media sosial yang rupanya daritadi sedang dia baca.
Gaul banget ya Kang Je ini…..
Kepalaku menggeleng pelan sambal menuruti melihat apa yang ditunjuk Kang Je barusan.
Ternyata berita tentang puncuk pimpinan negara ini sedang menjenguk seorang pemuka agama yang dikabarkan kembali sakit setelah sebelumnya dinyatakan sembuh begitu viral dan menjadi trending topik di beragam media sosial.
Memang berita yang susah untuk dilewatkan apalagi jika mengingat keduanya berbeda kubu dalam ajang pemilihan presiden kali ini. Banyak spekulasi yang kemudian muncul karena hal ini.
“Haayyooo…. Kamu lagi mikir apa?” suara Kang Je membuyarkan kepalaku yang sedang berpikir kemana-mana.
“Enggak,” sanggahku.
“Ah, kamu… Jangan bohong atuh…,” guyon Kang Je. “Kepalamu ini pasti sama berisi segala tebakan dan spekulasi yang jadi beredar di masyarakat kan?”
Aku tersenyum kecil.
Ya gimana mau bohong. Bahkan sebelum bilang pun, Ia sudah tahu duluan aku bakal bohong. Wah….
“Coba kamu sedikit berbeda mikirnya dari mereka.” Sekali lagi Kang Je membuyarkan anganku. Dia seperti tidak ingin aku terlalu hayut dalam pikiran sendiri.
“Maksudnya gimana, Kang?” tanyaku jadi ingin tahu.
“Ya coba kamu berpikir bahwa kondisi itu malah seperti caraKu untuk mengingatkan kalian, duhai anak-anakKu…”
“Mmm… Tapi. kan mereka… Mereka….”
“Beda?”
Kepalaku mengangguk pelan.
Kang Je berdiri dari duduknya, memutar sedikit lalu menepuk bahuku yang masih bolak balik melihat layar monitor.
“Bahwa ada perbedaan diantara kalian tentang bagaimana menyembah BapaKu, yes… Itu nggak bisa disangkal. Apalagi soal pilihan dalam pemilu nanti. Keliatan dan jelas viral banget deh itu…” Kang Je duduk di samping kiriku. Badannya rada menunduk, mendekat ke arahku. “Tapi… Ada satu bagian yang nggak bisa disangkal. Bagian yang justru bisa menyatukan cara, pikiran atau prinsip yang beda itu.”
“Apa itu, Kang?”
TanganNya memutar sedikit layar laptopnya agar terlihat juga dari arahnya. “Kejadian ini mestinya mengingatkanmu tentang kemanusiaan. Kemanusiaan yang biasanya baru terlihat dalam sebuah bencana atau kejadian besar. Kemanusiaan yang kadang juga jadi alasan orang yang tidak bertanggungjawab untuk memanipulasinya.”
“Coba, lihat foto dan video ini secara peristiwa imanmu. Lihat dengan mata batin sesuai ajaran yang pernah Kuberikan.”
Aku menurut.
Kulihat lagi dengan seksama, video dan foto yang masih jelas terpampang di depan mata ini. Dari segala berita yang heboh akhir-akhir ini, harus diakui foto dan video kali ini menyejukkan. Bisa menurunkan sedikit intensitas emosi yang mungkin naik tanpa sengaja.
Kharisma yang dipancarkan dari keduanya, bisa seperti perekat atas perbedaan yang mungkin selama ini menjadi penghalang.
Kok aku malah jadi terharu ya?
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
“Yohanes 13:34-35,” samberku.
“Wah, tumben nyambung.” Kang Je rada terkejut.
Aku cengar cengir. Sedikit bangga. Jarang-jarang bisa hapal ayat yang dilontarkan Akang ganteng satu itu.
“Kamu ingat cerita tentang orang Samaria yang baik hati?”
“Yup,” jawabku sambal mengangguk.
“Nah, hendaknya kamu juga demikain kepada sesamamu manusia. Tidak melihat perbedaan yang ada diantara kalian, tetapi menjadikan ajaran Sang Maha lewat cara masing-masing itu, tentang kemanusiaan sebagai alat untuk menjaga kedamaian alam beserta isinya.”
“Hmm…” Mendadak ada pikiran iseng di kepala. “Kang Je beneran yakin kejadian ini murni karena kemanusiaan. Nggak nangkep ada agenda lain gitu?”
“Dari siapa?”
“Ya dua-duanya dong…”
Kang Je terdiam. Dia memperhatikanku dengan seksama, seperti tidak percaya.
Kalau aku ke Dia begitu, tanpa kukatakan apa yang kupikirkan pun, Dia pasti sudah mengerti.
Tapi, kalau Dia ke aku begini? Waduh… Bukannya aku yang bisa nebak apa yang sedang Dia pikirkan malah salah tingkah aku jadinya. Lha… Dia seperti sedang menyelediki sesuatu gitu.
Padahal pertanyaanku tadi benar-benar pertanyaan iseng saja.
“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Tiba-tiba Kang Je menjawab demikian.
“Roma 12:10,” samberku lagi.
“Lha…. Weladalah….” Suara Kang Je beneran seperti orang terkejut. Tidak menyangka. “Kok kamu jadi pinter gini? Rajin buka Kitab Suci?”
Aku nyengir sambal menunjuk layer. “Daritadi Kang Je liatin aku, jadi kesempatanku nyari ayat yang berhubungan. Eeehhh… Ada yang pas hehe…”
“Walah dasar….” Kang Je memukul pelan bahuku. Ia tertawa kecil.
Aku senang kalau kami bisa bergurau seperti ini. Ada rasa beda dan lebih dekat yang justru membuatku sangat nyaman bersamaNya.
“Itulah pentingnya mengerti semua ajaranku dengan baik dan benar. Tidak terbatas dari kalimat, tetapi juga diamalkan dalam perbuatan. Aku sangat bahagia jika peristiwa kali ini bisa menjadi inspirasi yang lain untuk memulai sebuah persaudaraan baru yang penuh kasih dan perdamaian.”
“Iya, Kang…” Aku menyimak. “Tapi, sebenarnya aku sempat berpikir juga, tidak mudah mengamalkan ajaranMu yang tentang kasihilah musuhmu itu, Kang… Nggak usah musuh, yang berbaik-baik dengan kita saja kadang suka sungkan dan alasan lain untuk sekadar menemani atau berkunjung. Lha ini… Kok ada ya manusia yang bisa berbesar hati menjenguk seterunya begitu?”
“Aku jadi mendadak ingat temanmu yang senang makan itu. Sapa namanya?” Kang Je seperti mengalihkan perhatian.
“Kobe?”
“Naaahhhh… Dia…” Kang Je membenarkan yang dimaksud. “Dia kan kamu sebut punya perut seluas samudra tuh karena segala makanan masuk dan dia jarang menolak dikasih makan apa saja meski barusan makan.”
“He-eh.”
“Kalau Kobe punya perut seluas Samudra, maka orang yang mau memperlakukan dengan baik orang lain yang justru pernah memperlakukan dia dengan tidak baik, bisa dibilang memiliki hati yang seluas samudra. Nyaris tidak terbatas. Tapi, dia sendiri juga tahu harus bagaimana memperlakukan orang-orang itu.”
“Seperti diriMu, Kang?” spontan kuucap kalimat itu.
Kali ini Kang Je tidak menjawab.
Cuma senyumnya yang pelan-pelan menyembul di bibirnya. Perlahan juga ada rona memerah di pipinya.
Aih… Kang Je nampak sedang berusaha menyembunyikan rasa terdalamnya habis kupuji barusan.
Senyumnya masih berkembang di bibirnya sampai akhirnya Ia menarik tubuhku dalam pelukanNya nan hangat.
Aaarrgghh… Ini adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku.
Mendapat kehangatan dan kedamaian dalam pelukan Seseorang yang selalu ada bagiku ini.
“Terimakasih, anakKu…. Terimakasih…. Selalu berbuat baiklah bagi sesame yaa… BerkatKu selalu buatmu…”
Pelukan hangat itu ditutup dengan berkat dariNya di keningku.
Kuterima dengan segala kegairahan penuh kasih yang kelak bisa kubagikan juga kepada yang lain.
Terimakasih, Kang Je… (anj 19)