Keluarga adalah satuan terkecil dalam sistem pranata sosial. Peran keluarga tidak sedikit pengaruhnya bagi mutu dan kemajuan suatu masyarakat. Sebab keluarga merupakan sekolah nilai, moral dan keutamaan hidup manusia. Maka untuk membangun dan memperbaiki kualitas masyarakat, yang paling pertama direformasi atau dibentuk ialah keluarga-keluarga.
Namun di tengah perubahan jaman, keluarga juga tidak luput dari dorongan perkembangan dan pengaruhnya, baik positif maupun negatif. Bagaimana keluarga katolik tetap mengakarkan nilai kristiani di tengah arus jaman?
Kampung global
Marshall mengatakan bahwa dunia kita ini ibarat kampung global. Mengapa demikian? Dalam kehidupan kampung, setiap individu terkoneksi satu sama lain, ada kedekatan jarak, ada komunikasi yang intens dan interaksi antara warga kampung.
Begitu juga dengan perkembangan teknologi informasi, menghubungkan satu daerah dengan daerah lain, satu negara dengan negara lain melalui jaringan (web) internet, membuat dunia ini seperti kampung kecil (global village). Sehingga apa yang terjadi di daerah lain dalam hitungan detik saja juga diketahui oleh orang di tempat lain.
Di kampung global ini antara yang baik dan yang buruk tidak ada bilik pemisah. Semua bisa mengakses apa yang tabu (terlarang) dan apa yang wajar dan sepatutnya. Berbagai berita, video, iklan menyerbu dan siap diakses oleh siapa saja.
Melubernya informasi selain meningkatkan pengetahuan juga mampu mengikis batasan-batasan wajar dan normal dalam kehidupan, karena apa yang tabu di satu daerah belum tentu tabu di daerah lain.
Misalnya kebiasaan berpakaian di daerah barat ikut mempengaruhi mode busana di daerah lain. Poligami dan perceraian yang biasa dan lumrah di daerah lain mempengaruhi monogami, dan kesetiaan bagi keluarga di tempat lain.
Pengaruhnya membuat apa yang disebut relative nilai. Relative nilai itu ialah menentukan baik dan benar menurut dirinya sendiri atau semau gue. Sikap semau gue, individualis ini bila terlalu dominan dalam kehidupan bersama, khususnya keluarga bisa menyebabkan keretakan dan perceraian.
Berbagai fitur aplikasi, game, dan produk dari kampung global ini membentuk anak-anak (generasi milenial) dalam banyak hal, persepsi akan diri, pola relasi, interaksi dalam keluarga, dan sebagainya.
Anak-anak kita bila kita cermati, mudah menyesuaikan diri dengan teknologi (tanpa diajar), mudah memahami informasi dan pengetahuan baru, tetapi di sisi lain mereka juga mudah menyerah pada kesulitan, cari gampang dan bahagia sesaat. Untuk menghargai proses, perjuangan, menjadi kelemahan mereka.
Disisi lain mestinya teknologi mampu menciptakan relasi yang intens, penuh kasih, karena mampu memangkas jarak. Terutama bagi keluarga yang karena pekerjaan, tinggal berjauhan, tetapi pada kenyataanya juga teknologi smart phone menjadi pisau penikam relasi dan keharmonisan keluarga.
Smart phone menjadi primadona dari pada perjumpaan nyata dalam keluarga. Obrolan chating mampu berjam-jam dalam kesendirian dari pada duduk sejam dalam gereja untuk berdoa. Inilah persisnya realitas dalam kampung global.
Berpegang pada Nilai Kristiani
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menangkal sengatan dari efek negatif perkembangan teknologi bagi keluarga kita?
Pertama, carilah kebahagian yang original. Kebahagian original itu dicapai melalui perjumpaan fisik, karena dalam perjumpaan ini seluruh mimik, ekspresi, rasa dan resonansi kebahagian itu nampak nyata.
Misalnya tentu berbeda sekali tertawa dalam perjumpaan nyata dengan perjumpaan maya. Di media sosial, kita tidak tertawa tetapi lawan chating kita merasakan kita tertawa ketika kita membalas “wkwkwk” atau “hhhhh”.
Kedua, jagalah kesetiaan. Setia itu mahal. Setia menjadi rantai pengikat keluarga. Tanpa kesetiaan, bila terjadi pencobaan dan permasalahan dalam keluarga, pasti keluarga itu bubar.
Kesetian dalam keluarga kristiani mempunyai makna yang sangat dalam yaitu pencerminan kesetiaan Allah pada manusia. Relasi keluarga mewakili relasi Allah dan manusia yang nyata. Untuk itu keluarga selalu dikatakan rekan kerja Allah. Sebagai rekan, maka harus setia dan monogami.
Ketiga pengampunan. Cinta dan pengampunan merupakan satu kesatuan. Tanpa pengampunan cinta tak berarti. Kualitas cinta itu ketika tetap mencintai walau babak belur oleh pencobaan dan kesalahan.
Keempat, pembelajar keutamaan. Hidup adalah pembelajaran itu sendiri. Maka keluarga pun terus belajar dan membina diri. Pembelajaran apa? Ya belajar untuk mencapai keutamaan-keutamaan hidup seperti kesetiaan, saling hormat, saling berbagi dan sebagainya.
Masih banyak perjuangan lainnya agar keluarga katolik tetap menjadi panutan bagi banyak orang. Tetapi inti pembelajaran keutamaan itu ialah sukacita.
Keluarga kristiani harus bersuka cita. Keluarga kristiani harus mengedepankan pengampunan, keluarga kristiani harus juga menjadi tanda nyata rahmat Allah bagi dunia ini.
Semoga keluarga katolik bersukacita dalam iman, berbagi bila banyak rejeki, memberi diri untuk sesama, gereja dan masyarakat.