Ketidaksempurnaan tidak harus membuat kita takut untuk bersuara. Namun juga harus berani untuk diubah. Menjadi yang terkecil diantar terbanyak tak harus membungkam suara kebaikan kita untuk bisu dalam ketakutan. Tak juga harus memadamkan cahaya kebenaran hanya karena sebuah harmoni kehidupan yang harus dijaga, meski riak-riak gelombang kebencian terus menerpa.
Mensyukuri setahun perjalanan tanpa pernah menjadi seberkas cahaya di tahun yang baru hanyalah sebuah genderang sirene dan terompet yang berkahir ketika letupan kembang-kembang api membahana mewarnai angkasa yang seketika hilang meninggalkan aroma pengat.
Mensyukuri sejatinya membangun sebuah keberanian untuk diubah dan berubah. Tak ada hiasan terindah menghiasi panggung datangnya pergantian tahun selain keberanian untuk diubah. Tak ada cahaya terindah yang memberikan terangnya mencahayai semesta selain hati, budi, pikiran dan diri kita menjadi cahaya yang menyebarkan terang kehangatan menerangi persaudaraan dan cinta kita.
Tuhan sesungguhnya tak berharap banyak. Tuhan sejatinya tak menunggu banyak dari kita sebanyak niat kita memenuhi ruang-ruang kalender tahun yang baru. Satu yang Ia harapkan, menerima terang kedatangan-Nya:
Terang kritikan untuk mengubah yang buruk menjadi baik, Terang kerendahan hati untuk membakar menara kesombongan dan keangkuhan, Terang kebenaran untuk memadamkan hujatan dari budi dan hati yang gelap kelam oleh fanatisme.
Suara keberanian hanya menjadi sebuah suara dalam kesunyian ketika keberanian hanya berhenti pada sebuah hujatan, hanya berlabuh pada sebuah kesombongan berjemaah tanpa sebuah keberanian untuk diubah, tanpa sebuah ketulusan untuk mengamini keburukan, adalah sebuah penyangkalan bahkan pengkhianatan pada Dia yang adalah Terang.
Terang yang adalah Tuhan sudah ada dan selalu ada menyinari alam pikir dan seluruh ruang bathin kita dengan selaksa perintah serta larangan-Nya. Namun tak ada satupun yang menerima perintah-Nya, lantaran larangan-Nya yang adalah Terang dan Jalan bagi kita untuk diubah, justru dimanipulasi untuk menghalangi insan berbudi untuk melaksanakan perintah-Nya.
Tuhan tak pernah menghendaki larangan-Nya untuk menghalangi kebaikan. Lantaran larangan-Nya adalah terang yang menerangi budhi, larangan-Nya adalah Terang yang mengingatkan pikiran yang mengubah kegelapan menjadi Terang yang menerangi kebaikan. Lantas, haruskah memadamkan Terang atas nama larangan-Nya hanya untuk membakar bara kebencian menghanguskan kebaikan?
Terang itu adalah keberanian untuk diubah, ketika ada keberanian untuk mengubah orang lain. Terang itu adalah keberanian untuk menerima, ketika telah berani mengubah bahkan mengusik kehidupan insan lain. Terang itu adalah keberanian untuk menerima kesalahan, ketika telah berani menyalahi kebaikan dalam selaksa bahasa kebencian.
Terang itu sudah ada di sini, kemarin, hari ini dan yang akan datang. Namun seringkali harus kita akui bahwa kita menolak bahkan memadamkan-Nya lantaran bara kebencian telah menguasai alam pikir dan budhi kita membuat semuanya menjadi gelap. Terang itu sudah ada di sini, kemarin, hari ini dan yang akan datang tanpa pernah menanti datangnya pergantian tahun atau ucapan selamat tinggal untuk jejak setahun yang lalu, tetapi Dia hanya menanti sebuah pertobatan yang menjadikan kita sebagai terang yang berani untuk diubah ketika kita berani juga untuk mengubah.
Terang itu sudah ada di sini, kemarin, hari ini dan yang akan datang, namun sering ia tak diterima oleh insan-Nya (bdk. Yoh 1:1-18). Ia telah memberi diri, saatnya kita memberi diri untuk diterangi agar menjadi terang yang menyinari semesta dengan kebaikan dan persaudaraan. Semoga.
Manila: Desiyembre-31-2018
Pater Tuan Kopong MSF