Saya mendapat kesempatan untuk melayani umat di stasi-stasi Perkebunan Kelapa Sawit selama masa Natal. Jika dihitung, ratusan bahkan ribuan umat di areal perkebunan sawit menghadiri perayaan malam natal dan hari raya natal.
Untuk mencapai stasi-stasi tersebut, saya harus melewati keadaan jalan yang menantang. Di musim hujan, jalanan licin sehingga kendaraan bisa amblas atau tertanam di tanah. Jika musim panas, jalanan berdebu dan bergelombang.
Saya tinggal bersama umat di stasi selama pelayanan. Banyak di antara mereka mendapatkan izin cuti sehingga bisa terlibat penuh selama persiapan hingga perayaan. Entah apa yang mereka rasakan, yang jelas saya menangkap antusiasme dan suka cita dari raut wajah mereka.
Dari sekian banyak pengalaman, ada satu pengalaman yang sangat menyentuh hati. Saya memperhatikan dan merasakan beberapa di antara mereka memiliki telapak tangan yang (maaf) keras dan kasar. Saya terenyuh dan tersentuh menyadari bahwa hidup ini adalah perjuangan yang keras dan kasar. Bahkan saya harus menahan air mata agar tidak mengalir.
Sesuap nasi diperoleh dengan pengorbanan tanpa kenal lelah. Mereka rela membiarkan kulit tubuh terbakar matahari, tak peduli telapak tangan menjadi keras dan kasar, tak mengapa badan kurus atau keriput, tak jarang harus dimarahi atau dibentak atasan atau rekan kerja.
Yang mereka pikirkan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Begitu pula dengan perjuangan setiap orang tua dalam membesarkan anak-anaknya. Apa pun kesulitan dan penderitaan yang dialami, orang tua hanya ingin anak-anak sukses dan bahagia.
Saya bermenung. Kadang ketika ada satu hal sepele saja yang membuat saya mengeluh, begitu mudahnya saya lakukan hal itu. Padahal ternyata ada orang yang sebenarnya memiliki lebih banyak alasan untuk mengeluh atau marah, tetapi mereka memilih diam dan terus berjuang. Mereka membiarkan telapak tangannya menjadi keras dan kasar tanpa keluhan terkatakan dari bibir.
Memang secara manusiawi, mereka pasti capek, sakit, menangis. Tetapi kenyataan bahwa mereka tetap bertahan dalam pekerjaannya menunjukkan bahwa mereka setia dan pantang menyerah. Mereka berjuang dalam peluh, mempertaruhkan tenaga, tubuh bahkan nyawa demi hidup dan masa depan.
Selamat berjuang saudara-saudariku. Terima kasih telah mengajari saya tentang arti kesetiaan dan syukur. Hidup ini memang sebuah perjuangan yang keras dan kasar. Siapa yang menyerah, dialah pecundang. Siapa yang terus bertarung, dialah pemenang. Dan ada banyak alasan untuk selalu bersyukur. Doaku selalu menyertaimu!
Penulis: P. Joseph Pati Mudaj, MSF