Kemarin sore pukul 15.00, kita sudah merenungkan misteri penderitaan Yesus. Kita merenungkan bagaimana Yesus ditangkap, diadili, dimahkotai duri, dihina, dipukul, disuruh memanggul salib yang berat, dipaku pada salib dan kemudian wafat di salib. Ajakan merenungkan misteri penderitaan ini sama sekali tidak bermaksud agar kita menangis. Umat Katolik hanya diajak untuk merenungkan bahwa Yesus menderita bukan karena kesalahan atau dosa-Nya sendiri. Ia menderita karena dosa orang lain, termasuk dosa kita. Ia menanggung dosa kita walaupun Ia bukan pendosa. Yesus adalah orang benar yang menderita karena dosa manusia. Kita juga yakin, penderitaan-Nya menyelamatkan kita. Ia menebus dosa-dosa kita dengan darah-Nya di kayu salib. Bandingkan juga dengan seruan yang berulang-ulang kita lantunkan saat devosi Jalan Salib, “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia.” Itulah keyakinan kita.
Penderitaan Yesus juga wujud solidaritas dengan penderitaan manusia. Ia turut merasakan kemalangan dan kelemahan manusia. Hanya saja Ia tak berdosa. Atas dasar inilah kita terus yakin bahwa Yesus peduli dengan penderitaan kita, termasuk penderitaan kita karena wabah Covid 19 ini. Kita telah mempersembahkan penderitaan kita ini kepada-Nya agar Ia meringankannya bahkan memampukan kita mengatasi penderitaan ini. Kita pun yakin, berkat bantuan-Nya melalui banyak cara dan bentuk, pada saat yang dikehendaki-Nya, sambil tetap menjaga kesehatan dan mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah, penderitaan karena Covid 19 ini akan berakhir. Sebagai pengikut Kristus, kita seharusnya percaya akan hal ini. Tak perlu ragu! Bukankah tiada yang mustahil bagi-Nya?
Setelah merenungkan misteri penderitaan Yesus (Jumat Agung), kita merenungkan misteri pemakaman Yesus (Sabtu Suci). Menurut Injil Yohanes (19:38-42), setelah Yesus wafat di salib, Yusuf dari Arimatea meminta kepada Pilatus untuk menurunkan mayat Yesus. Permintaan ini dikabulkan oleh Pilatus. Setelah mengurus segalanya, Yusuf dari Arimatea dan orang-orang yang ada bersamanya, menguburkan Yesus. Memang menurut Kitab Ulangan 21:22-23, mayat-mayat orang yang dihukum mati tidak boleh dibiarkan tergantung sampai malam supaya tanah Tuhan tidak dinajiskan. Mayat-mayat itu harus dikuburkan pada hari itu juga. Kiranya demikian juga dengan Yesus. Ia dimakamkan atau dikuburkan.
Misteri penguburan atau pemakaman Yesus ini agaknya kurang direnungkan secara sungguh-sungguh oleh umat Katolik. Ada kesan orang Katolik cenderung fokus merenungkan penderitaan Yesus dan kebangkitan-Nya dari alam maut, tetapi mengabaikan penguburan atau pemakaman Yesus (bdk, Bertold Parera: Manuscripto, 2012). Padahal menurut Dokumen Gereja “Perayaan Paskah dan Persiapannya” artikel 73 menegaskan bahwa pada hari Sabtu Suci Gereja tinggal di makam Tuhan, merenungkan penderitaan, wafat dan turun-Nya kea lam maut dan menantikan kebangkitan-Nya dengan puasa dan tobat. Hal-hal penting ini tampaknya kurang dihayati oleh umat Katolik. Apa buktinya? Sebagai contoh, umat menghayati hening total selama hari Jumat, tetapi hari sabtu suci tak ada keheningan. Semuanya sibuk mempersiapkan segala hal untuk perayaan malam Paskah. Bahkan di tempat tertentu (secara khusus di Manggarai), kalau ada pertandingan untuk memeriahkan pesta Paskah, hari Sabtu pun diadakan pertandingan! Tak ada waktu untuk merenungkan penguburan atau pemakaman Yesus. Bagi saya ini kekeliruan yang perlu perbaiki. Semua pihak harus berbenah, mulai dari imam dan semua umat.
Hari Sabtu Suci adalah kesempatan untuk tinggal di makam Yesus dan merenungkan misteri Yesus turun ke dunia orang mati. Bahwasannya Yesus telah sungguh-sungguh mati dan dikuburkan. Ia telah menjadi sama dengan kita dan turut mengalami keadaan kita, “Supaya melalui kematian-Nya Ia memusnahkan dia yaitu iblis yang berkuasa atas maut” (Ibr.2:14). Ia tak hanya disalibkan, tetapi juga dikuburkan. Dia telah mengambil bagian terburuk dari kemanusiaan kita yakni dikuburkan (Bertold Parera: Manuscripto, 2012). Kita sadar, kubur atau makam merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia. Karena itu, kita perlu merenungkan misteri kubur dan pemakaman Yesus. Akan tetapi, kita tahu, kubur tidak akan menjadi tempat kediaman-Nya untuk selama-lamanya (bdk. Mzm 49).
Dalam pembaptisan kita juga disadarkan bahwa kita telah dikuburkan bersama dengan Yesus agar dibangkitkan dalam kehidupan baru bersama-Nya. Sebagaimana Yesus pernah pergi ke kubur Lazarus dan di sana ia menangis (bdk. Yoh. 11:34-35), pada Sabtu Suci ini seharusnya kita melihat kubur Yesus dan duduk dekat makam-Nya (bdk. Mat. 27:21). Melihat kubur Yesus dan duduk dekat makam-Nya berarti kita mengambil waktu hening: berdoa, menyesali dosa dan memohon ampun, meditasi dan merasakan bagaimana terbaring kaku dalam makam. Inilah yang kurang kita hayati selama Sabtu Suci. Bahkan tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Sabtu Suci seperti ‘waktu kosong’ menjelang Malam Paskah (Bdk. Bertold Parera: Manuscripto, 2012). Padahal jika tidak merenungkan penguburan Yesus dan tidak duduk di makam-Nya, kita juga tidak mengingat misteri penguburan kita bersama dengan Dia dalam pembaptisan.
Renungan Sabtu Suci, saat kita merenungkan penguburan dan pemakaman Yesus ini berakhir sebelum Perayaan Malam Paskah. Atau biasanya ditutup dengan Ibadat Sore yang tak lain adalah ibadat untuk merayakan misteri wafat dan pemakaman Yesus (bdk. Bertold Parera: Manuscripto, 2012). Akan tetapi, Ibadat Sore ini jarang sekali dilakukan. Padahal kalau Ibadat Sore ini dirayakan, kita sungguh-sungguh dipersiapkan merayakan Paskah; merayakan kebangkitan Tuhan. Setelah ibadat ini baru kita mempersiapkan diri untuk perayaan Malam Paskah. Biasanya perayaan Malam Paskah ini dilaksanakan pkl. 18.00 ke atas, saat matahari mulai terbenam.
Apakah saudara/i berada di sekitar makam atau kubur Yesus pada hari Sabtu Suci ini? Apakah saudara/i merenungkan dengan sungguh-sungguh misteri penguburan atau pemakaman Yesus hari ini? ***
Labuan Bajo, 11 April 2020
(Hari Sabtu Suci)
(P. Laurensius Gafur, SMM)

