Sejak masuk biara SMM, tahun 2006 silam, salah satu bentuk kegiatan formasi yang saya jalani adalah program Emaus. Dalam program yang biasanya dilakukan saat rekoleksi atau retret ini, para frater atau bruder dibagi dalam kelompok kecil (dua orang). Kedua orang ini diarahkan untuk berjalan-jalan di sekitar biara atau tempat retret. Ini bukan jalan-jalan biasa. Ini jalan-jalan reflektif. Kedua orang ini diminta untuk merenungkan perjalanan hidup mereka lalu saling membagikannya. Tak hanya pengalaman kegembiraan yang direnungkan dan dibagikan, tetapi juga pengalaman penderitaan, antara lain: pengalaman sakit, pengalaman jatuh dalam dosa, pengalaman disakiti, dikecewakan, difitnah atau dilukai, pengalaman tidak dihargai dan direndahkan, tidak didengarkan, pengalaman ditinggalkan dan pengalaman kehilangan orang-orang terkasih atau orang yang berjasa dalam hidup.
Mereka juga tak hanya merenungkan dan saling membagikan pengalaman-pengalaman tersebut, tapi juga merenungkan dan saling membagikan apa yang Yesus katakan melalui aneka pengalaman tersebut, terutama pengalaman penderitaan. Ketika mengalami aneka pengalaman tersebut, apakah mereka masih mengalami kehadiran dan sapaan Yesus? Apakah kehadiran dan sapaan Yesus itu memberikan kekuatan baru kepada mereka untuk terus berlangkah? Mereka perlu merenungkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan saling membagikannya. Seharusnya, kehadiran dan sapaan Yesus menguatkan dan memberi semangat baru. Kehadiran Yesus membarui hidup mereka; membuat mereka bangkit lagi menjadi pribadi baru dan terus melanjutkan ziarah hidup tanpa jatuh dalam jurang keputusasaan dan kekecewaan.
Pengalaman Emaus Dua Murid
Dasar Kitab Suci program yang menarik ini adalah pengalaman kedua murid Yesus yang pergi ke kampung bernama Emaus sebagaimana dikisahkan dalam Injil Luk. 24:13-34, yang dibacakan hari Minggu Paskah III, hari ini. Kedua murid ini pergi dalam kekecewaan dan barangkali kehilangan harapan. Alasannya jelas: Yesus Sang Guru yang mereka banggakan telah dihukum mati pada kayu salib. Penderitaan, penyaliban Yesus dan kematian Sang Guru membuat para murid-Nya tercerai-berai. Mereka kecewa. Mereka kehilangan harapan.
Kekecewaan ini terungkap dalam curahan hati (curhat) mereka ini. “Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami.Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel (Ayat 19-21).” Para murid tampaknya kehilangan harapan. Mereka pulang kampung masing-masing. Mereka bagaikan anak ayam yang ditinggalkan oleh induknya.
Dalam situasi kecewa dan nyaris kehilangan harapan ini, Yesus, Sang Guru mereka yang telah bangkit itu, menampakkan diri. Sayangnya mereka tak langsung mengenal-Nya. Karena belum mengenal-Nya, mereka mengungkapkan semua kegundahan hati karena kehilangan Sang Guru kepada-Nya. Yesus mendengarkan semua curahan hati mereka. Yesus menjadi pendengar yang baik. Mereka baru mengenal Yesus ketika mereka duduk makan di kampung Emaus. Persisnya ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (ayat 30). Saat itulah mata hati mereka terbuka dan segera mengenal bahwa itu Yesus, Sang Guru. Ia sungguh-sungguh telah bangkit.
Sayangnya Yesus langsung lenyap dari hadapan mereka. Walaupun demikian, mereka tetap diliputi kegembiraan. Hati mereka berkobar-kobar. Mereka segera kembali ke Yerusalem dan menjumpai kesebelas murid Yesus. Ternyata mereka di Yerusalem juga sedang membicarakan kebangkitan Sang Guru yang telah menampakkan diri-Nya kepada Simon (Petrus). Lalu kedua murid yang baru datang dari Emaus itu menceritakan juga pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit dan mereka baru mengenal-Nya saat Ia memecahkan roti.
Aneka pengalaman perjumpaan dengan Sang Guru yang telah bangkit ini, telah memberikan semangat baru kepada para murid untuk melanjutkan perutusan yang diberikan Yesus kepada mereka. Kekecewaan mereka pelan-pelan dipulihkan oleh Yesus sendiri. Harapan mereka yang telah redup dihidupkan dan dinyalakan kembali oleh Yesus. Mereka memulai hidup baru dalam terang Kristus yang bangkit.
Keyakinan bahwa Sang Guru yang telah bangkit terus menyertai hidup dan perutusan para murid pasti memberikan semangat baru untuk semakin berani bersaksi tentang-Nya. Hal inilah yang terjadi dalam diri Petrus dan kawan-kawannya sebagaimana dikisahkan dalam Bacaan Pertama hari ini (Kis. 2:14.22-33). Di hadapan orang banyak, dengan berani mereka memberikan kesaksian tentang Yesus yang telah bangkit. Mereka melakukan semuanya ini dengan gembira. Mereka sungguh-sungguh telah menjadi saksi Kristus.
Pengalaman Emaus Kita
Kita memiliki pengalaman Emaus masing-masing. Yang saya maksudkan dengan pengalaman Emaus adalah aneka pengalaman penderitaan (sakit, kehilangan, dikecewakan, disakiti, direndahkan, ditinggalkan, pengalaman jatuh dalam dosa, kecemasan dan ketakutan karena wabah Corona dan sebagainya). Semua orang pasti mengalami pengalaman ini, walau berbeda bentuk atau berbeda berat-ringannya saja. Bagaimana kita memaknai pengalaman Emaus itu? Apakah kita masih mengalami kehadiran atau sapaan Yesus yang bangkit tatkala kita mengalami aneka pengalaman derita tersebut? Apa yang dikatakan Yesus kepada kita?
Sebagai pengikut Yesus, kita perlu memaknai pengalaman Emaus ini dalam terang iman kristiani. Karena itu, kita seharusnya masih mengalami kehadiran dan sapaan penuh kasih dari Yesus. Hal ini juga mengandaikan bahwa dalam situasi derita itu (pengalaman Emaus), kita dengan rendah hati mau berjumpa dengan-Nya dengan masuk dalam keheningan doa, membaca Kitab Suci, membaca renungan rohani dan terutama mengikuti Ekaristi. Di hadapan Tuhan Yesus, kita mencurahkan segala pengalaman derita kita dan membiarkan Ia sendiri yang membebaskan dan memulihkan kita dengan kuasa ilahi-Nya.
Bandingkan juga pengalaman kita dengan pengalaman iman dua orang murid dalam Injil hari ini. Mereka yang sedang berada dalam kekecewaan atau penderitaan ini baru mengenal Yesus ketika Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada mereka (ayat 30). Kedua murid ini langsung ingat dengan apa yang dilakukan oleh Sang Guru bersama mereka dalam perjamuan sebelum Ia menderita sengsara. Mata hati mereka terbuka sehingga mereka langsung mengenal-Nya.
Dengan demikian, teks di atas (ayat 30), berhubungan dengan Ekaristi; perayaan perjumpaan dengan Yesus. Teks ini juga menggarisbawahi hal penting bahwa ketekunan dalam mengikuti Ekaristi membuat pengikut Kristus sungguh-sungguh mengalami perjumpaan dengan-Nya. Perjumpaan itu melahirkan kegembiraan yang membarui hidup menjadi pribadi baru; pribadi yang sudah dibebaskan dan dipulihkan oleh-Nya. Teks ini juga merupakan undangan bagi kita untuk mencintai Ekaristi. Sebagaimana kedua murid Emaus bergembira setelah berjumpa dengan Yesus dan mendapat kekuatan baru untuk melanjutkan hidup, begitu juga seharusnya ketika kita membuka hati bagi kehadiran Yesus melalui aneka doa, baca Kitab Suci dan terutama mengikuti Ekaristi.***
Selamat Hari Minggu Paskah III!
Tuhan Yesus Memberkati kita!
Labuan Bajo, 26 April 2020