Hujan menghampiri kota ini, tetapi asap rokok pemuda itu mendupai wajahnya sendiri. Ia seperti berdiri pada jantung dunia, tempat kudus, dimana ia hanya menemukan dirinya sendiri. Hanya bayangan kabut, ingatan masa lalu, berkelindan di kepalanya.
[postingan number=3 tag= ‘tuhan-yesus’]
Ia tampak hikmat pada tempatnya. Begitulah hidup menciptakan waktu yang sakral ketika seorang memasuki rumah dirinya sendiri. Ia tau jalannya, ia tahu jamur-jamur dan sulur-sulur pikirannya, dan ia tahu planet serta satelit di dalam rumahnya. Tetapi kadang orang engan untuk masuk ke rumahnya, karena disana ia hanya mendapatkan rise cooker yang kosong, bubur yang busuk atau harapan yang terlalu berat.
Tetapi lelaki itu, ia mendupai rumahnya dengan asap rokok. Pada sudut tertentu ia memuji masa lalunya, tentang dirinya yang menjelma sebagai penulis karbitan, pemuisi, tentang cintanya dan tentang mimpi yang hilang bersama waktu.
Pernah sesekali ia menulis tentang riwayat burung gagak tua. Sebuah koran memuatnya tanpa honor. Burung itu selalu berbunyi di kepun kopi. Ia tidak hanya mengeluarkan suara tetapi ia mengeluarkan suara sekaligus pristiwa.
Kakeknya selalu memberi tahu dia, suara burung gagak itu pratanda buruk. Burung ini juga sering disebut burung hantu. Memang ketika kakeknya meninggal, burung gagak liar itu bersuara pilu. Ia datang dari kegelapan dan tak berbunyi pada siang hari.
“Oh petaka”, sahut pria itu. Lalu ia berdoa menolak petaka. Tetapi burung gagak, tetap memastikan bahwa ajaran kakeknya itu hanyalah kepekaan relasi hidup dan alam. Siapa yang peka pada alam, ia banyak tahu seluk beluk kehidupan. Bukankah begitu?
Tetapi bagaimana dengan burung-burung Gereja? Burung-burung itu rupanya sekarang banyak yang letih dan lesu. Mereka memang bersuara, tetapi sebenarnya mereka telah pergi jauh dari Gereja.
Candi-candi Gereja sepi. Burung-burung tak lagi bersahut-sahutan.
“Sebenarnya menurut kamu ada apa dengan burung Gereja tersebut?” Bukan karena keberadaan buruk gagak, penanda nasib? Tanya Lawing kepada pemuda itu.
Pemuda itu mencermati pertanyaan Lawing. Memang populasi gagak di sekitar Gereja semakin meningkat, terlebih lagi kalau ada sarang walet. Tetapi tentang burung gereja itu, mereka pergi karena kekeringan. Mereka pergi meninggalkan menara Gereja yang menjulang ke awan.
Dulu kakek saya memberi mereka makan. Mereka bergembira. Mereka sering bercecit. Mestinya ya, kalo sayap burung Gereja itu kuat, pergilah mereka mencari nafkah, tapi Gereja tetaplah sarang mereka. Mestinya begitu.
Gereja memang tak punya apa-apa, tetapi Tuhan memberi rejeki di bumi. Jadi burung-burung gereja pergi meninggalkan Gereja demi mengubah ukuran skala kenikmatan dan mempercantik bulu mereka saja. Itu dugaan saja, katanya.
“Oh begitu yah?
“Ia, Wing.
“Jadi, apa yang kau lihat di menara itu?”
Pria itu menatap sekali lagi menara Gereja yang kokoh tetapi lelucon bagi burung layang-layang. “Apakah ada yang keliru?”
“Tidak, tak ada yang keliru. Mungkin generasi burung-burung Gereja itu tak tahu sejarahnya. Dulu Lonceng Gereja itu kalau berdentang kuat, terasa menggetarkan jiwa. Burung-burung hening di pundak Gereja ini. Tetapi sekarang Burung Gereja itu, seperti hidup untuk keberlansungan hidup saja.
“Oh, itu berarti suatu perubahan terjadi yah?”
“Betul. Tetapi, dulu, anak seorang pemuda yang pandai bermain Sape. Ia memainkan untuk Gereja, untuk umat dan untuk kakekku. Ia seperti berdoa dengan dawai Sapenya.
“Kemanakah ia Pergi? Tanya Lawing, apakah ia pergi bersama burung-burung Gereja? Atau jangan-jangan ada yang jahil menembak burung itu dengan ketapel?
Sekali lagi pria itu hening. Ia tak bingung, tetapi ia mengingat kembali memorinya. “Oh tidak katanya. Burung-burung Gereja itu diperlakukan terlalu baik, mereka dimanjakan, sehingga mereka tak lagi mampu tahu akan diri mereka bahwa merekalah burung-burung Gereja.
Lawing mengangguk. Tetapi Pria itu berkata lagi: “Yang paling saya tidak harapakan burung-burung Gereja itu berubah menjadi Gagak penanda sial. Mereka banyak makan kutu kerbau daripada roti.
Apakah itu terjadi? Teori morfologi tidak mengakui perubahan bentuk Burung cecit ke paruh burung Gagak. Sahut Lawing.
Tetapi yang memungkin terjadi evolusi adalah noosfernya. Hati dan pikirannya. Mereka bisa berhati dan berpikiran gagak yang hanya mencari kenikmatan belaka. Saya berharap tidak seperti itu, kata pria itu menutup lamunannya.
“Kembalilah burung Gereja, kecandi Gereja Kita. Sepasang menara dan loncengnya merindukan kalian”.
———
Sendawar, 2-1-19.