Seorang teman pernah mengajukan pertanyaan begini kepada saya, katanya: “Bro, apa perlu Tuhan itu kita bela? Segitu lemahkah Tuhan itu sehingga kita harus pasang badan untuk membela Dia?”
Mendengar pertanyaan ‘nakal’ yang diajukan oleh teman saya itu, reaksi saya cukup datar. Saya hanya tersenyum. Saya menduga bahwa teman saya itu sedang iseng dengan saya.
Ternyata, dugaan saya salah. Teman saya itu makin serius mengajukan pertanyaannya. Bahkan ia sampai rela mengulangi pertanyaan yang sama berkali-kali. Itu tandanya bahwa pertanyaannya itu tidak main-main.
Rupa-rupanya munculnya pertanyaan ‘menggelitik’ dari teman saya tersebut bukanlah tanpa alasan. Ia mengajukan pertanyaan seperti itu karena dirinya cukup terganggu dengan adanya berbagai sentilan kecil soal agama yang belakangan ini menyeruak ke permukaan.
Memang, jika kita perhatikan baik-baik apa yang terjadi akhir-akhir ini, semakin banyak orang yang menyebut diri sebagai orang ‘beragama’ menampilkan diri bak pahlawan agama, atau tepatnya polisi agama. Agama harus dibentengilah, Tuhan wajib dibelalah. Bla … bla … bla … Ya, begitulah yang terjadi. Seolah Tuhan tidak Mahakuasa sehingga harus disokong dengan kekuatan manusia.
Parahnya lagi, orang-orang ‘beragama’ itu mencoba ‘mengintip’ ajaran agama tetangga. Hasil intip-mengintip itu membuat sebagian dari mereka merasa bahwa mereka sudah melihat seluruh isi ajaran agama tetangga. Padahal, semua orang tahu bahwa apa yang mereka lihat dari hasil intip-mengintip itu hanyalah sebagian kecil dari seluruh isi ajaran agama tetangga.
Sekiranya sudah saatnya kita harus mengakui bahwa semua agama, tanpa terkecuali, menyimpan sejuta misteri tentang Tuhan. Itulah ‘ruang gelap’ yang belum pernah dimasuki oleh manusia entah dari agama manapun. Makanya, orang-orang beragama dari abad ke abad tanpa henti berusaha menyingkap realitas di balik ‘ruang gelap’ itu.
Usaha untuk menyingkap misteri tentang Tuhan telah dilalui lewat berbagai jalan. Hanya saja, sayangnya, masing-masing agama mengklaim jalan yang dipilih sebagai jalan yang paling benar menuju penyingkapan misteri itu. Klaim seperti itu wajar saja sebab hanya jalan itulah yang kita ketahui dan kita lewati. Menjadi tidak wajar ketika klaim kebenaran itu lantas dipakai untuk menghina dan mengejek jalan kebenaran yang dilalui oleh agama lain.
Jangan lupa bahwa ‘ruang gelap’ itu tetap tak tersentuh oleh pemikiran manusia sampai kapanpun. Ya, dalam setiap agama akan selalu ada ‘ruang gelap’ yang luput dari penjelasan logis-ilmiah. Sejauh ‘ruang gelap’ itu belum tersingkap, manusia tidak akan pernah berhenti mencari tahu. Misteri tetaplah misteri. Justru agama mampu bertahan selama berabad-abad karena ada misteri tentang Tuhan yang tidak pernah terkuak.
Sebaiknya jangan pernah berharap bahwa manusia beragama akan mengerti seluruhnya misteri tentang Tuhan – sebab ketika Tuhan bisa dikaji seluruhnya dan dijelaskan semuanya oleh pemikiran manusia, maka itu namanya ilmu pengetahuan, bukan agama.
Patut dicatat juga bahwa keberadaan misteri dalam agama hanya bisa dipahami oleh penganut agama yang bersangkutan. Kita yang hanya mengintipnya dari luar, jelas tidak mampu menangkap seluruh pesan di balik tirai ‘ruang gelap’ itu. Misteri hanya bisa diterima pakai hati, sementara orang yang mengandalkan kemampuan mengintip seringkali mencoba menerimanya menggunakan pisau akal budi. Jelaslah bahwa akal budi tidak mampu menjelaskan realita di balik misteri itu.
Usaha penyingkapan misteri itu baru berhenti ketika semua yang dicari sudah terjawab. Kapan semuanya akan terjawab? Ketika kita sudah bersatu kembali dengan Dia dan menatap wajah-Nya. Ya, sebab tujuan dari semua umat beragama sebetulnya adalah bersatu kembali dengan Dia. Hal itu sepenuhnya terjadi ketika kita beralih dari dunia ini (saat kita mati).
Usaha untuk memasuki misteri tentang Tuhan itu ibarat mendaki gunung. Tujuan kita sebenarnya sama, yaitu mencapai puncak gunung yang satu dan sama. Kita berusaha berjalan mendaki dari satu sisi, sementara orang lain mendaki dari sisi yang berbeda. Kita mengira bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan yang paling benar menuju puncak. Kita lupa bahwa di sisi yang lain dari gunung itu masih ada jalan lain yang sama bagusnya dengan jalan yang kita tempuh. Kalau demikian, perlukah kita membela Tuhan? Jawabannya: jelas tidak. Tuhan tidak perlu dibela sebab Tuhan bisa membela diri-Nya sendiri.
Oleh karena itu, saudara-saudaraku, selamat mendaki dan mencari gunung Tuhan! Jangan lupa bahwa ada pendaki lain yang sedang mendaki bersama Anda di sisi yang lain dari gunung itu. Selamat sampai tujuan!


