26 C
New York
Saturday, September 21, 2024

Prapaskah sebagai Momentum Transfigurasi

Pada hari Minggu Prapaskah pertama yang lalu, Penginjil Lukas menceritakan kepada kita mengenai pencobaan Yesus di padang gurun. Konon, di sana sang iblis mencobai Yesus dengan memberikan tiga jenis pencobaan, yakni kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Selanjutnya, pada Minggu Prapaskah yang kedua ini, kita beranjak dari padang gurun menuju ke gunung yang tinggi. Jika padang gurun melambangkan perjuangan, kesulitan dan cobaan bagi manusia; gunung yang tinggi merupakan simbol tempat Allah bersemayam.

Dalam Injil, Lukas menceritakan bahwa di gunung yang tinggi itu Yesus berdoa dan mengalami perubahan rupa di hadapan tiga orang murid-Nya—Petrus, Yakobus dan Yohanes (Lk 9:28b-36). Jelas, di sini kita dapat saksikan adanya transisi dari atmosfer padang gurun yang lebih rendah, gersang dan penuh pencobaan, ke gunung yang tinggi, di mana kesempurnaan dan kesucian hidup dapat dicapai. Sebagai anak-anak Tuhan, kita semua tentunya dikehendaki dan diberdayakan oleh Tuhan untuk beranjak dari padang gurun hidup kita, di mana cobaan dan pergumulan hidup terlunta-lunta, ke gunung tinggi, tempat yang damai untuk berjumpa dengan Tuhan demi kesucian hidup yang utuh. Dalam peristiwa Transfigurasi tersebut, ketiga orang murid Yesus melihat sesuatu yang luar biasa dalam pribadi Yesus dari apa telah dapat mereka lihat, dengar dan rasakan selama berada bersama-Nya.

Entah kita sadari atau tidak, ada saat-saat ketika Tuhan mengirimkan penghiburan-Nya ke tengah-tengah kita walaupun kadang kita tidak mampu melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dan cinta-Nya kepada kita. Dan saya cukup yakin bahwa hampir semua orang memiliki pengalaman pribadi dengan Tuhan. Dalam bacaan pertama, kitab Kejadian (Kej 15:5-12,17-18) mengisahkan tentang hubungan Allah dengan Abram, yang kemudian Allah mengantikan namanya menjadi “Abraham”—bapak semua orang beriman. Melalui hubungannya ini, Allah dan Abram membuat perjanjian tentang bagaimana mereka akan bertindak terhadap satu sama lain. Dalam melakukan sebuah perjanjian, masing-masing pihak tidak hanya bersepakat secara moril, tetapi lebih dari itu bahkan untuk saling mengorbankan dirinya. Demikian halnya, membuat perjanjian dengan Tuhan menuntut pemberian hidup yang total. Ketika ketika dibaptis, kita sesungguhnya masuk ke dalam sebuah perjanjian dengan Allah. Ketika anda menikahi pasangan anda, anda juga masuk ke dalam sebuah perjanjian untuk saling mencintai dalam untung dan malang. Ketika anda mengikrarkan kaul kebiaraan dan menyatakan diri untuk hidup selibat seumur hidup, anda juga masuk ke dalam sebuah perjanjian dengan Tuhan di hadapan Gereja-Nya.

Selanjutnya, kehidupan iman Kristiani kita menuntut sebuah upaya untuk mengikuti Tuhan secara sukarela dan berusaha melakukan kehendak-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, dalam relasi kita dengan Tuhan dan sesama, Tuhan ingin agar kita selalu berjalan di jalan-Nya dan pada saat yang sama, mengharapkan kita untuk menaruh semua kepercayaan pada-Nya. Di sisi lain, pengalaman pribadi tentang kasih Allah ini mengingatkan kita bahwa surga adalah takdir kita dan seperti Yesus kita akan diubah rupa dalam kehidupan abadi. Dalam Surat kepada Jemaat di Filipi, Paulus meringkaskannya, demikian: “Kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Flp 3:20-21). Sesungguhnya, kemuliaan Tuhan menunggu kita; namun tugas kita dalam hidup ini adalah untuk menaruh iman kita di dalam Tuhan dan membiarkan Dia mengubah dan menarik kita dari keberdosaan ke dalam terang kehidupan.

Akhirnya, Masa Prapaskah merupakan waktu khusus bagi kita untuk mengevaluasi cara hidup kita dan mencoba untuk menghayati sikap seorang warga negara surga di tengah dunia. Hal ini dapat kita hayati melalui sikap menolak segala macam kesenangan diri, meluangkan waktu untuk berdoa, menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga kita, dan terlibat dalam beberapa bentuk perbuatan amal. Biarlah Masa Prapaskah ini menjadi momen transfigurasi bagi kita semua. Dari seseorang yang mementingkan diri sendiri menjadi seseorang yang mampu mewujudkan cinta tanpa pamrih. Dari seseorang yang diperbudak oleh rasa bersalah dan kedengkian menjadi seseorang yang diampuni dan mampu memaafkan. Dari seseorang yang terjebak dalam kekhawatiran, ketakutan, dan kecemasan menjadi seseorang yang dipenuhi dengan kepercayaan dan harapan akan Tuhan. Semoga kasih Tuhan menaungi dan mengubah kita semua sehingga kita dapat terus-menerus menyatakan kehadiran-Nya yang penuh kasih kepada sesama.

avatar
RP. Gust Kani, CS
Anggota Kongregasi Scalabrinian. Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere dan Loyola School of Theology, Manila-Filipina. Setelah ditahbiskan menjadi imam, ia diutus menjadi misionaris di Portugal.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini