“Apa yang akan terjadi pada pasangan suami–istri setelah mereka meninggal dunia? Apakah di surga nanti mereka masih bisa bersatu kembali sebagai suami-istri?”
[postingan number=3 tag= ‘iman-katolik’]
Saya berpikir bahwa pertanyaan seperti ini penting untuk diajukan, sekaligus menarik untuk ditelaah, sebab memang dalam lubuk hati setiap pasangan suami-istri sebetulnya diam-diam tersimpan harapan seperti itu.
Sebenarnya, pertanyaan serupa sudah pernah diajukan oleh orang-orang Saduki kepada Yesus pada dua ribu tahun yang lalu (Mrk 12:19-25 dan Mat 22:23-30).
Orang-orang Saduki itu bertanya “Jika seorang istri menikah dengan tujuh suami, karena suami-suami yang sebelumnya telah meninggal, maka siapakah yang menjadi suami dari istri tersebut pada hari kebangkitan?
Yesus menjawab “Pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di Sorga” (Mat 22:30; Mrk 12:25). Dari sini, kita melihat bahwa pada waktu di Sorga, pasangan suami-istri tidaklah seperti pasangan suami-istri yang kita tahu di dunia ini.
1) Kita juga mengingat, dalam janji yang dilakukan pada waktu menerima Sakramen Perkawinan, suami istri berjanji untuk sehidup semati sampai maut memisahkan mereka. Maka secara prinsip, sakramen – termasuk Sakramen Perkawinan – membantu kita untuk lebih dekat dan bersatu dengan Kristus. Dalam Sakramen Perkawinan, suami-istri berusaha untuk menguduskan satu sama lain, sehingga mereka dapat mencapai Surga. Mereka juga dipanggil untuk mendidik anak-anak, sehingga anak-anak mereka juga dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sakramen Perkawinan menjadi gambaran dari persatuan antara Kristus dengan Gereja-Nya (lih. Ef. 5). Pada waktu kita semua masuk ke dalam Kerajaan Surga, kita tidak lagi memerlukan Sakramen, karena kita telah berjumpa dan bersatu dengan Kristus sendiri, dalam persatuan yang lebih sempurna dan abadi. Sakramen sebagai cara (means) tidak diperlukan lagi pada waktu kita mencapai tujuan (end), yaitu Kerajaan Sorga. Dengan demikian, pasangan suami istri tidak lagi memerlukan Sakramen Perkawinan di Surga.
Bagaimana bentuk hubungan suami-istri di Surga, kita tidak pernah tahu secara persis, dan Yesus hanya mengatakan bahwa mereka tidak kawin dan tidak dikawinkan, namun hidup sebagaimana layaknya para malaikat. Ini berarti, suami istri tidak lagi melakukan hubungan jasmani, karena persatuan dan kebahagiaan roh adalah lebih utama daripada kebahagiaan badani.
2) Apa yang dipersatukan Allah memang tidak boleh diceraikan oleh manusia (lih. Mt 19:6). Namun, kalau kita melihat kodrat dari Sakramen Perkawinan yang menggambarkan Perkawinan Kudus antara Kristus dengan Gereja-Nya, maka hubungan suami-istri di dunia yang terikat di dunia, tidaklah diceraikan oleh Allah, namun justru diangkat derajatnya, sehingga setiap individu mengalami persatuan abadi dengan Allah; dan dengan persatuan di dalam Allah ini, maka persatuan antara suami dan istri di Surga mencapai kesempurnaannya. Persatuan abadi dengan Allah di Sorga ini adalah sempurna dan abadi, jauh lebih indah dari persatuan suami-istri di dunia ini.
3) Bagaimana jika salah satu pasangan tersebut terpisah, di mana yang satu masuk Sorga dan yang lain masuk neraka? Jika pasangan suami istri terpisah selamanya (yang satu di Sorga dan yang lain di neraka), maka jelas mereka tidak dapat berkumpul lagi. Setelah Kebangkitan Badan di akhir zaman, bagi yang berada di neraka, ia tetap berada di neraka karena neraka adalah keterpisahan abadi dengan Tuhan; dan surga adalah persatuan abadi dengan Tuhan. Maka, neraka dan surga tidaklah mungkin terseberangi. Dengan demikian, suami dan istri tidak akan berkumpul kembali, jika yang satu berada di surga dan yang lain di neraka.
Diolah dan dikembangkan dari: www.imankatolik.or.id