26 C
New York
Saturday, September 21, 2024

Kang Je dan Masa Lalu

Tanpa ragu-ragu lagi, teman lamaku ini langsung memelukku kencang begitu kami diberi kesempatan untuk bisa bertemu lagi setelah sekian lama.
“Papi bisa kembali ke Indonesia lagi. Aku bahagia sekali,” ujarnya begitu ia puas memeluk dan mencium pipi kanan kiriku.
“O ya? Kapan?” Aku jadi merasa surprise dengan berita barusan.
“Secepatnya. Setelah segala urusan kelar.”
“Wah, selamat. Selamat.” Kali ini aku menjabat tangannya erat.
“Terima kasih. Aku tidak menyangka hal membahagiakan ini akan terjadi juga. Kamu tahu kan sudah lama sekali aku menginginkan Papi kembali ke Indonesia. Apalagi setelah Mami meninggal beberapa waktu lalu.”
Kuangguk-anggukkan kepala.
Teman lamaku ini sudah sejak balita ditinggal Papinya yang melarikan diri ke luar negeri setelah peristiwa bersejarah tahun 65 lalu. Papinya yang sebenarnya tidak terlibat langsung, seringkali dicari pemerintah pada masa itu. Alasannya jelas karena dianggap ia menjadi kaki tangan organisasi yang dikalim sebagai dalang peristiwa berdarah itu. Beruntung Papinya masih bisa bersembunyi di banyak tempat hingga akhirnya menetap di luar negeri. Itu juga harus berganti-ganti negara karena ia dianggap pelarian politik.
Beruntung, begitu bermukim di Belanda, pemerintah setempat memberi kesempatan padanya untuk menjadi penduduk asli negara sana. Tentu saja hal itu tidak disia-siakan. Meski itu berarti harus berpisah dengan keluarganya di Indonesia.
Istrinya yang merupakan Mami temanku itu tidak mau ikut mengungsi ke negeri orang itu. Ia mementingkan kondisi anak-anaknya yang waktu itu masih kecil-kecil. Akibatnya, suami istri itu sempat terpisah lama meski tetap bolak balik Indonesia-Belanda. Dalam kondisi ini, teman lamaku itu lahir. Sayangnya, ketika ia belum genap berumur lima tahun, kesepakatan cerai keluar dari mulut orang tuanya. Alhasil, temanku tersebut nyaris tak mendapatkan kasih sayang seorang Ayah.
Walau demikian, jika Papi kandungnya itu mudik ke Indonesia, tetap dan selalu menemui anak-anaknya yang beranjak dewasa.
“Aku turut senang mendengar berita ini,” ujarku lagi. Siang panas ini menjadi tersejukkan dengan berita menggembirakan ini.
“Apalagi aku. Kamu bayangkan, sekian lama aku nggak bisa ketemu Papi, ternyata Papi yang malah akan kembali lagi ke sini.” Kegembiraaan itu tak bisa ia sembunyikan di raut wajahnya yang bersih.
“Apakah dia masih sehat?”
“Sangat sehat.”
“Kerja apa Papimu di Belanda?”
“Selain tetap jadi dosen, dia juga menulis dan sesekali membantu di restoran temannya.”
“Well… Hebat.”
“Yang lebih hebat lagi, Papi masih suka ke Gereja lho!”
“O ya?” aku kembali dikejutkan dengan berita barusan.
Kepala temanku mengangguk-angguk mantap. “Dari Papi juga aku tahu bahwa kehidupan gereja di sana sangat sepi. Apalagi anak muda. Gereja jarang dikunjungi, sekarang malah lebih menjadi tempat wisata.”
“Papimu memang orang hebat kok,” sebuah suara mendadak muncul, memecah kegerahan siang di depan teras rumahku ini. Spontan aku menoleh. Di situ sudah berdiri sosok dengan senyum manisnya dengan stelan… hei…gaul sekali hari ini Dia. Dengan jins biru dan kaos polo putih, makin trendi saja nampaknya.
“Kaget dengan penampilanku hari ini?” tanya-Nya, mendahului mulutku hendak mengagumi. Aku jadi tersipu. Ketahuan deh…
“Umur boleh tua, tampilan boleh dong tetap gaul,” guranuNya sembari masuk ke dalam teras. Temanku jadi ikut-ikutan kagum dan menyambut kedatangannya. Tanpa ragu jabatan tangan yang ditawarkan, disambut hangat oleh temanku tadi.
“Apa kabar? Bagaimana dengan keluargamu?” tanya tamuku barusan. Dia duduk di hadapan kami.
“Baik. Sebentar lagi anakku akan berulangtahun.”
“Dan, tahu nggak Kang Je, ada hadiah luar biasa buat anaknya ini.”
Kang Je separuh terkejut. “Apa itu?”
“Papinya yang sudah lama tinggal di Belanda, akan kembali ke Indonesia,” ujarku bangga menerangkan.
“Wah, berita bagus itu.” Kang Je melebarkan senyumNya. “Maka tadi kubilang, Papi temanmu ini hebat. Bahkan dalam pelariannya sekali pun, dia tidak melupakan penciptaNya.”
“Tapi, Papinya itu sempat dituduh sebagai orang yang tidak percaya padaMu, Kang. Buktinya dia dikejar-kejar dulu kan karena dianggap sebagai salah satu dalang peristiwa tahun enam lima itu.”
Kang Je mengibas-ibaskan tangannya dahulu, mencari angin. Baru sekali kibasan, tiba-tiba saja berhembus angin sejuk di sekitar kami. Suasana gerah berubah menjadi menyegarkan. Berbarengan dengan itu, suara burung pun bersahutan seperti hendak menemani sang bayu yang berhembus tadi.
“Kamu sendiri tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Papimu?”
Temanku berpikir sejenak. Mungkin ia tengah memutar pada kejadian masa lalu dimana ia pernah diterangkan tentang keberadaan sang Papi.
“Mami pernah cerita bahwa Papi tidak seperti yang dikira orang banyak. Kalau ia mengikuti salah satu kelompok dari cabang kelompok besar yang menaunginya, bukan berarti ia mengikuti mentah-mentah ideologi yang dianut. Ada banyak faktor yang membuat Papi begitu. Dan, Mami sangat percaya, bahwa Papi tetaplah Papi seperti yang pernah ia kenal dahulu. Tidak berubah hanya karena mengikuti aktivitas itu.”
“Termasuk dampak bahwa anak-anaknya yang tidak tahu menahu kadang turut terseret juga?” Kang Je masih berusaha menegaskan ketulusan temanku itu rupanya.
Ternyata dengan sangat mantap, kepala temanku itu mengangguk. Dia sepertinya yakin benar bahwa kalau ia yakin bahwa masa lalu Papinya biar menjadi masa lalu. Kehidupan sekarang termasuk anak-anaknya, tidak berhubungan langsung dengannya.
“Tiada yang lebih tahu isi hatimu selain dirimu sendiri dan yang menciptaMu. Aku pernah mengatakan, Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu. (Yoh. 14:1) Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu (Yoh, 14:18) Maka Papimu nampaknya selalu yakin dan percaya bahkan ketika jauh dari keluarganya sekali pun.”
“Tapi, tega ya orang yang sepertinya membuang orang seperti Papinya itu. Kan belum tentu Papinya seperti tuduhan.”
“Ya, menurut Mami almarhum, Papi memilih pergi keluar sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa yang dituduhkan.”
“Kamu sendiri sudah mengampuni Papimu sebab kesalahan masa lalumu lebih kepadamu dan keluargamu?” tanyaku pelan-pelan, tapi ingin tahu.
Kepala temanku mengangguk-angguk. Wajahnya tidak mengisyaratkan kebohongan. Ia tulus mengerjakan semua demi Papi kandungnya. “Tuhan saja menyediakan maaf yang banyak bagi anak-anakNya kok. Masa aku nggak mau? Biarlah masa lalu Papi menjadi masa lalu. Aku percaya, karena waktu dan pengalaman Papi yang banyak itu telah mengubah Papi menjadi manusia yang lebih baik. Almarhum Mami juga meyakini hal tersebut hingga akhir hayatnya. Jauh-jauh hari Mami sudah mengampuni Papi dan tetap mencintainya.”
Kang Je spontan berdiri dari duduk. Ia mendekati temanku duduk, “Bagi orang demkian sudahlah cukup teguran dari sebagian besar dari kamu sehingga kamu sebaliknya harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat” (2 Kor 2:6-7)”. Senyum lebar menghias wajah temanku. Ia menengadahkan kepala untuk berhadapan langsung dengan Kang Je. “Terima kasih, Kang…”
Gantian kepala Kang Je manggut-manggut, “Sama-sama, anakKu. Damai sejahteraKu akan selalu menyertai engkau, Papimu, anak-anakmu, seluruh keluargamu dan semua manusia.”
Aku merasa bahagia sekali mendengar semua. Rasanya senyum yang tak lepas dari bibirku dan temanku itu, tak kan habis menggambarkan kebahagiaan kami. Ingin sekali waktu untuk bisa berkumpul kembali bersama utuhnya keluarga temanku itu, segera terjadi.

Anjar Anastasia
Anjar Anastasia
Saya senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa karena ... menulis adalah berbagi hidup .... Novel yang pernah saya tulis antara lain: Renjana: Yang Sejati Tersimpan di dalam Rasa (Gramedia), Kirana Cinta (Gramedia), Everything I Do (Gramedia), dan beberapa lagi.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini