Tulisan ini lanjutan tulisan sebelumnya (Konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus Menjiwai Kerja Sama Ekumenis Katolik-Protestan di Indonesia). Pada bagian ini, saya secara khusus menguraikan beberapa contoh kerja ekumenis Katolik-Protestan di Indonesia. Selamat membaca! Tuhan memberkati!
Bagian ini memaparkan secara khusus beberapa bentuk kerja sama ekumenis antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Protestan di Indonesia.[1] Menurut penulis, kerja sama ekumenis ini dilandasi oleh nasihat bahkan perintah Surat Efesus tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Kerja sama ekumenis tersebut dijiwai oleh konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus. Pendapat ini juga dikuatkan oleh kenyataan bahwa dalam dokumen penting ekumenisme, Unitatis Redintegratio (Katolik) dan Lima Dokumen Keesaan Gereja (Protestan), dikutip teks-teks Efesus yang mengandung konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus.[2] Hakekat Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah kesatuan dengan Kristus dan kesatuan dengan sesama pengikut Kristus.
Pertama, membuat pesan atau imbauan untuk kehidupan umat kristiani di Indonesia.[3] Pesan-pesan tersebut, antara lain: setiap tahun PGI dan KWI mengeluarkan pesan Natal bersama untuk semua umat beriman kristiani. Setiap tahun selalu ada tema baru yang kontekstual dan berguna untuk hidup umat kristiani. Tema ini umumnya menjadi bahan diskusi atau renungan, bahkan tema perayaan liturgis Natal bagi umat kristiani di seluruh Indonesia. Selain itu,KWI dan PGI merefleksikan tentang kehidupan negara dan merumuskan tanggapan mereka terhadap situasi aktual yang dihadapi bangsa Indonesia, misalnya, situasi seputar Pemilihan Umum (Pemilu).[4]
Kedua, tatkala membahas Rancangan Undang-Undang Perkawinan tahun 1973, mereka dengan tegas memberikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945.[5] Dalam undang-undang itu ditegaskan bahwa perkawinan itu sah ketika terdaftar di kantor pemerintahan dan perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk perkawinan. Beberapa pemimpin muslim menentang dengan keras Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut. Mereka menganggap bahwa di balik UU itu ada pengaruh orang-orang Kristen. Mereka mendesak pemerintah agar merevisi UU yang bernuansa sekular ini sehingga perkawinan diatur oleh hukum agama. Terhadap reaksi ini, PGI[6] dan MAWI mengeluarkan dokumen yang disebut, “Pokok-pokok Pemikiran DGI dan MAWI” untuk mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam membuat Undang-undang Perkawinan sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2 yang menjadi landasan kebebasan beragama.
Ketiga, memberikan tanggapan terhadap keputusan Menteri Agama, nomor 70 dan 77, 1 dan 15 Agustus 1978, yang pada 2 Januari 1979 menjadi sebuah Keputusan Bersama (No. 1/1979) dari Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang aturan yang mengikat penyebaran agama dan bantuan asing untuk lembaga religius di Indonesia.[7] PGI dan MAWI meminta pemerintah untuk membatalkan peraturan itu dengan tiga alasan: bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945, pembagian wilayah di Indonesia berdasarkan agama itu bertentangan dengan dasar negara Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan; dan Gereja sebagai institusi religius memiliki dimensi universal.
Keempat, kerja sama dalam bidang penerjemahan, penerbitan dan distribusi Alkitab.[8]Menurut Martin Harun, kerja sama di bidang ini paling intensif dilakukan. Kerja sama ini bermula pada tahun 1968 di Cipayung, ketika Gereja Katolik yang diwakili oleh PWI Ekumene (Mgr. N. Geise dan P. G. Zegwaard) dan Lembaga Biblika (P. C. Groenen) mengusulkan kerja sama dalam penerjemahan Alkitab kepada Lembaga Alkitab Indonesia (Protestan). Tawaran ini disambut baik oleh pihak Protestan. Rupanya kerja sama ini membuat Gereja Katolik di Indonesia menjadi pelopor kerja sama ekumenis dalam penerjemahan Alkitab sebagaimana dianjurkan oleh Konsili Vatikan II.[9] Kerja sama ini berlangsung dengan baik hingga saat ini.
Kelima, Pembentukan Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI). Pada bulan Oktober 2011, di Manado diselenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak umat kristiani dari seluruh dunia.[10] Acara tersebut diberi tema, “Global Christian Forum.” Perayaan ini dihadiri oleh seluruh lembaga-lembaga Gereja sedunia, baik dari World Council of Churches (WCC), Gereja Katolik (utusan dari Vatikan), World Evangelical Alliance, Pentecostal World Fellowship, Gereja Ortodoks (Gereja Ortodoks Koptik, Ortodoks Rusia, Ortodoks Syria) dan Gereja Bala Keselamatan. Dengan semangat Global Christian Forum, yang merupakan kemitraan Lembaga-lembaga Gereja sedunia, dibentuklah Indonesia Christian Forum atau Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI).[11]Deklarasi Indonesia Christian Forum ditandatangani oleh pimpinan PGI, KWI, PGLII (Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia), PGPI (Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia), Gereja Bala Keselamatan, Persekutuan Baptis Indonesia dan Gereja Ortodoks Indonesia. FUKRI merupakan forum kerja sama umat beriman kristiani di Indonesia. Salah satu contoh kerja sama tersebut adalah diskusi tentang kaderisasi kepemimpinan dalam Gereja yang diselenggarakan pada 2 september 2013.[12]
Keenam, Perayaan Kesatuan 17-18 Mei 2013. Pada tahun 2013, Sidang Raya WCC (World Council of Churches) ke-10 digelar di Busan, Korea Selatan, pada 31 Oktober hingga 8 November 2013.[13] Sebelum sidang ini, WCC memilih Indonesia sebagai penyelenggara Prasidang Raya. Prasidang ini disebut Perayaan Kesatuan (Celebration of Unity) yang digelar di Jakarta, 17-18 Mei 2013. Pendeta Nus Reimas (ketua Panitia Celebration of Unity) menggarisbawahibahwa dipilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Prasidang Raya WCC tidak terlepas dari kesatuan dan persatuan gereja yang telah terjalin erat di antara sinode-sinode dan aras gereja nasional.[14] Gereja Katolik juga berpartisipasi dalam Perayaan Kesatuan ini.[15]
Dasar biblis perayaan ini diambil dari doa Yesus dalam Yoh 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”[16]Dengan demikian, Perayaan Kesatuan yang dilaksanakan dengan meriah ini merupakan wujud nyata kerinduan umat kristiani di Indonesia untuk bersatu sebagai murid-murid Kristus. Setiap gereja berusaha menghargai perbedaan ajaran dan aturan dengan gereja atau aliran yang lain. Yang ditonjolkan adalah kesatuan Gereja sebagai orang-orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat.
Ketujuh, kerja sama ekumenis “akar rumput.”Di kalangan umat beriman kristiani biasa (bukan pimpinan), kerja sama ekumenis yang sering dilakukan, antara lain,Perayaan Natal dan Tahun Bersama,[17]Ibadat Ekumenis di Perusahaan/kantor, Ibadat Ekumenis di Lingkungan atau kelompok basis.[18]Kegiatan-kegiatan ini merupakan wujud kesadaran umat Katolik dan Protestan di Indonesia untuk membangun kesatuan sebagai Tubuh Kristus. Persatuan yang mendalam dengan Kristus Sang Kepala mendorong mereka untuk bersatu dengan jemaat yang lain.
Berdasarkan beberapa contoh kerja sama ekumenis Katolik-Protestan di atas, tampak bahwa kesadaran akan pentingnya kesatuan sebagai Tubuh Kristus sudah bertumbuh dengan baik di Indonesia.[19] Kerja sama ekumenis ini dijiwai oleh konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tetapi, kerja sama ekumenis ini pertama-tama mengungkapkan kesatuan atau kebersamaan dalam tindakan, bukan kesatuan dalam tata aturan, liturgi dan dogma atau ajaran.[20] Hal ini bisa dipahami sebab mencari kesatuan dalam liturgi, dogma atau aneka aturan lainnya sering menemukan jalan buntu. Masing-masing gereja mempertahankan apa yang benar menurutnya. Dengan demikian, kesatuan dalam kesaksian dan karya pelayanan lebih mudah diterima, sambil tetap menghargai perbedaan masing-masing gereja.[21]
Referensi:
[1]Untuk Gereja Katolik di Indonesia, urusan ekumene menjadi tanggung jawab Komisi HubunganAntaragama dan Kerukunan (Komisi HAK pada awalnya bernama PWI Ekumene). Bdk. Martin Harun, Op. Cit.,hal. 91.
[2]Tentang hal ini, lihat lagi bagian sebelumnya (Poin 4.5.)
[3]Bdk. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (eds.), Op. Cit., hal. 839-840.
[4]Bdk.Forum Spiritual, DiskusiKristen danSeputarGereja, “SeruanPGI-KWI: UmatKristianiTetapTenang”, dalam http://old.jawaban.com/index.php/mobile/forum/detail/id_news, diakses 10 Februari 2015. Seruan ini dikeluarkan oleh KWI dan PGI berkaitan dengan perbedaan pendapat tentang penghitungan cepat hasil Pilpres, bulan Juli 2014 yang lalu. Umat kristiani diminta untuk menanggapi situasi ini dengan tenang sambil menanti penghitungan resmi dari KPU.
[5]Bdk. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (eds.), Loc. Cit.
[6]Waktu itu masih disebut DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia)
[7]Ibid.
[8]Bdk. Martin Harun,Op. Cit., hal. 92.
[9] Bdk. Dei Verbum, art. 22
[10] Bdk. http://www.reachoutfoundation.com/celebration_of_unity.html, diakses 24 Januari 2015
[11]Ibid.
[12]Yang hadir pada acara tersebut berjumlah sekitar 200 orang. Nara sumber diskusi adalah Ketua PGI (Pdt. Andreas A. Yewangoe), sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (Romo Eddy Purwanto) dan Pdt. Nus Reimas, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). Bdk. http://indonesia.ucanews.com/2013/09/03/kwi-dan-pgi-serahkan-kaderisasi- kepemimpinan-kepada-organisasi-awam/, diakses 24 Januari 2015
[13]Bdk. http://www.beritasatu.com/nasional/114376-indonesia-tuan-rumah-prasidang-raya-dewan-gereja-dunia.html, diakses 18 Januari 2015
[14]Acara ini berlangsung selama dua hari. Hari pertama mengumpulkan 2.500 pimpinan denominasi Gereja dari tujuh Aras Gereja Nasional yakni KWI, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persekutuan Baptis Indonesia, Gereja Bala Keselamatan, Gereja Ortodoks, dan Gereja Advent. Pada hari kedua, lebih dari 10.000 umat dari Gereja-gereja hadir dalam acara doa bersama yang diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kehadiran banyak umat ini mau menunjukkan bahwa perayaan kesatuan ini bukan hanya acara para pemimpin Gereja, tetapi juga seluruh umat beriman kristiani yang merindukan terwujudnya kesatuan sebagai pengikut Kristus.Bdk.http://indonesia.ucanews.com/2013/06/11/umat-kristiani-indonesia-butuh-proses-untuk-mencapai-kesatuan/, diakses 18 Januari 2015
[15]Menurut Antonius Benny Susetyo, sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI), gerakan ekumene di Indonesia saat ini sudah berkembang. Akan tetapi, perkembangan ini belum sungguh-sungguh menyentuh hal-hal yang lebih substantif, misalnya kerja sama ekumenis dalam menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, HAM, konstitusi dan hukum, kekerasan, dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan Gereja dan masyarakat. Gerakan ekumene di Indonesia semakin bermakna kalau umat kristiani ikut memberikan kontribusi untuk kemajuan Gereja dan bangsa. Tanggapan ini diberikan olehnya setelah “Perayaan Kesatuan” di Jakarta (17-18 Mei 2013) dan juga setelah melihat perkembangan ekumenisme di Indonesia hingga saat ini.Bdk.http://indonesia.ucanews.com/2013/06/11/umat-kristiani-indonesia-butuh-proses-untuk-mencapai-kesatuan/, diakses 18 Januari 2015
[16]Bdk. http://www.reachoutfoundation.com/celebrationofunity.html, diakses 19 Januari 2015
[17]Bdk.http://medan.tribunnews.com/2014/12/26/diperkirakan-40-ribu-jemaat-akan-hadiri-perayaan-natal-oikumene-sumut, diakses 17 Januari 2015
[18]Bdk.Martin Harun,Loc. Cit. Sekadar contoh, di Joyo Grand (tempat tinggal penulis), ada sebuah kelompok ekumenis yang mengadakan doa bersama satu kali sebulan. Kelompok ini terdiri dari umat dari beberapa denominasi Protestan dan beberapa umat Gereja Katolik.
[19] Bdk. Mgr. Anicetus B. Sinaga, “Teologi Communio dan Gereja Katolik Indonesia,” dalam Eddy Kristiyanto (ed.), Semakin Mengindonesia, 50 Tahun Hieararki, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal. 98.
[20]Bdk. Zakaria J. Ngelow, Op. Cit., hal. 54.
[21] Bdk. Iman Santoso, “Gereja-gereja di Indonesia dan Misi: Hubungan dan Kerjasama dalam Pelayanan dan Kesaksian,” dalam, M. Pattiasina dan Weinata Sairin (eds.), Gerakan Oikoumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993, hal. 134-135.