- Pengantar
Sepanjang sejarahnya, Gereja selalu memiliki teolog-teolog besar yang telah melahirkan ide-ide cemerlang. Pemikiran mereka selalu memiliki relevansi untuk kehidupan umat beriman. Jurgen Moltmann adalah salah seorang di antara mereka itu. Ia adalah teolog besar dalam Gereja Reformasi. Ide-ide cemerlangnya terus bergema sepanjang sejarah Gereja, bukan hanya dalam gereja Reformasi, tetapi juga dalam gereja Katolik. Sampai saat ini, banyak orang yang mendiskusikan pemikiran-pemikiran teologisnya. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah teologi pengharapan. Moltmann menegaskan bahwa janji Allah untuk melakukan sesuatu bagi masa depan adalah lebih penting daripada apa yang telah dia lakukan di masa lampau.[1] Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa orang harus melarikan diri dari dunia ini untuk mendapatkan dunia yang lebih baik. Mereka malahan dituntut untuk berpartisipasi aktif membantu datangnya dunia yang lebih baik itu.
Teologi pengharapan Moltmann berbicara tentang Allah yang ada di depan kita dan yang akan menjadikan semuanya baru.[2] Sekarang Dia dikenal dari janji-janjiNya. Allah adalah Allah yang mempunyai masa yang akan datang sebagai sifat-Nya yang hakiki. Teologi pengharapan Moltmann ingin memikirkan pengharapan bukan sebagai penghabisan seperti yang disebutkan di dalam dogmatika Kristen “Eskatologi” melainkan sebagai dasar dan sebagai pola pemikiran yang terus-menerus mempengaruhi dogmatika Kristen.[3] Eskatologi menurut Moltmann adalah suatu keterbukaan kepada masa yang akan datang. Eskatologi diinterpretasikan kembali sebagai suatu yang sentral dari doktrin Kristen. Dalam arti inilah eskatologi dalam teologi pengharapan Moltmann berbeda dengan eskatologi tradisional sebelumnya. Moltmann menghadirkan eskatologi sebagai doktrin yang aktif dari pengharapan supaya mampu menjadikan harapan sebagai alternatif masa depan. Moltmann melihat Gereja sebagai jemaat pengharapan yang mengalami pengharapan di dalam Allah yang hadir di dalam janji-janjiNya. Karena masih berada di dunia, maka Gereja dipanggil Allah untuk pergi dan melayani sesama di dalam dunia, membangun dunia baru sambil menaruh harapan kepada Kristus.
Melalui tulisan ini, kami akan mengulas secara singkat pemikiran Jurgen Moltmann tentang Teologi Pengharapan.
- Riwayat Hidup Singkat dan Karya-Karyanya
Jurgen Moltmann lahir pada 8 April 1926 di Hambur, Jerman.[4] Keluarganya tidak taat dalam hidup beragama. Sejak kecil, Moltman mempunyai ketertarikan dengan puisi, karya sastra dan pemikiran para filsuf Jerman, Lessing, Goethe dan Nietzche. Bahkan buku Zarathustra (karya Nietzche) menjadi buku kegemarannya. Pada usia 16 tahun, ia juga mengindolakan Albert Einstein. Bahkan ia mau belajar matematika untuk mendalami pemikiran Einstein. Ia sangat tertarik dengan teori relativitasnya Einstein. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ia memiliki minat untuk belajar tentang kristianitas, terutama tentang teologi.
Tatkala semangat belajarnya semakin bertumbuh, Moltmann justru mengalami tantangan yang hebat. Bahkan bisa kita katakan, ia mengalami masa muda yang suram. Betapa tidak, ketika umur 18 tahun, tepatnya pada akhir tahun 1944, ia dipaksa masuk dinas militer Jerman.[5] Bahkan, ia ikut dalam perang dunia II. Ia menjadi tawanan perang di Belgia dan Inggris. Ia menyaksikan bagaimana tawanan menderita, sekarat bahkan tidak sedikit yang mati. Mereka tidak memiliki harapan sama sekali. Ia beruntung karena imannya kepada Kristus, ia memiliki semangat hidup walaupun sesungguhnya menderita dalam tahanan.
Seorang pendeta asal Amerika memberinya Kitab Suci dan ia langsung membacanya, terutama Kitab Perjanjian Baru dan Mazmur.[6] Setelah membaca Kitab Suci itu, ia menemukan bahwa segala harapannya selama ini dijawab dengan baik oleh Kitab Suci. Ia menemukan Tuhan, walaupun menderita. Setelah itu, ia diijinkan untuk belajar teologi di Norton Camp yang dikelola oleh angkatan bersenjata Inggris. Pengalaman penderitaan menyadarkannya bahwa antara iman dan penderitaan saling melengkapi satu sama lain. Tahun 1948, ia kembali dari medan perang dan bisa mengikuti kuliah di universitas Goetingen yang sangat dipengaruhi oleh Karl Barth. Moltman menyelesaikan studinya pada tahun 1952. Kemudian, ia menjadi pendeta di gereja Evangelikal di Bremen. Tahun 1963, ia bergabung dengan univeritas Bonn. Akan tetapi, mulai tahun 1967-1994, ia mengajar di universitas Tubingen dan menjadi guru besar teologi.
Moltman termasuk teolog yang produktif menulis. Berikut ini adalah beberapa buku yang dihasilkannya.[7]
- Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology, SCM Press, London, 1967
- The Crucified God: The Cross of Christ As the Foundation and Criticism of Christian Theology, SCM Press, London, 1973
- Man: Christian Anthropology in the Conflicts of the Present, SPCK, London, 1974
- The Church in the Power of the Spirit: A Contribution to Messianic Ecclesiology, SCM Press, London, 1975
- The Experiment Hope, SCM Press, London, 1975
- The Future of Creation, SCM Press, London, 1979
- The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God, Harper and Row, New York, 1981
- History and the Triune God: Contributions to Trinitarian Theology
- The Way of Jesus Christ(1990)
- The Spirit of Life: A Universal Affirmation(1992)
- The Coming of God: Christian Eschatology, Fortress, Minneapolis, 1996.
- The Source of Life(1997)
- Experiences in Theology: Ways and Forms of Christian Theology(2000)
- Science and Wisdom(2003)
- In the End the Beginning(2004)
- Konteks Pemikiran
Bagaimanakah situasi yang menjadi latarbelakang pemikiran Jurgen Moltmann tentang Teologi pengharapan? Pertanyaan ini akan kami jawab dalam bagian kecil ini. Pada bagian sebelumnya, kami telah menjelaskan selayang pandang tentang pengalaman penderitaan yang dialami oleh Jurgen Moltmann ketika menjadi tawanan perang. Rupanya uraiannya tentang teologi pengharapan ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya tersebut. Ketika menjadi tawanan perang, ia juga melihat penderitaan yang mengerikan dari para tawanan lain. Selain itu, ia juga menyaksikan kehancuran bangsa Jerman setelah perang. Kitab Suci yang direnungkannya selama dalam masa tawanan mendorongnya untuk melihat penderitaan dari aspek lain yakni iman akan Allah yang terlibat dalam hidup manusia. Harapan hidupnya tumbuh! Ia memiliki harapan yang kuat bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk manusia lainnya; secara khusus untuk Jerman bangsanya yang sedang mengalami krisis setelah perang.
Tatkala mengikuti kuliah di universitas Goetingen, ia mempelajari pemikiran Karl Barth.[8] Bahkan ia sungguh-sungguh menguasai pemikiran Karl Barth. Akan tetapi, menurutnya, Karl Barth belum menyentuh soal politik dan kebudayaan, padahal itu sangat penting dalam kehidupan umat beriman, terutama masyarakat Eropa yang baru saja melewati masa perang. Selain dipengaruhi oleh Karl Barth, ternyata ia juga dipengaruhi oleh pemikiran Dietrich Bonhoeffer, terutama tentang etika sosial dan keterlibatan gereja dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang tak kalah menarik adalah Jurgen Moltmann juga rupanya dipengaruhi oleh seorang filsuf Marxist Yahudi, Ernst Bloch.[9] Ia sangat menyukai buku Ernst Bloch tentang “Prinsip Harapan” (Das Prinzip der Hoffnung, 1959). Uraian Bloch tentang harapan dan juga pengalamannya ketika menjadi tawanan perang mendorongnya untuk menulis sesuatu tentang teologi pengharapan. Moltmann menemukan bahwa prinsip harapan yang diuraikan oleh Bloch perlu dilengkapi konsep pengharapan dalam iman akan Allah, dan bukan pengharapan sekular (pengharapan akan masa depan dunia tanpa Allah). Pengalaman kehadiran Allah dalam situasi penderitaan menggerakkan hatinya untuk membagikan penemuan teologisnya kepada orang lain. Selain itu, keterlibatannya selama dan sesudah perang di dalam penderitaan secara kolektif dan kekalahan bangsa Jerman, mendorongnya untuk membuat kajian teologis yang tidak terpisahkan dari kehidupan umum manusia, termasuk persoalan-persoalan sosial-politik. Perang dingin yang tak lain adalah perang ideologi dengan Rusia turut menjadi latar belakang munculnya teologi ini. Rusia mengalami kebangkitan. Sementara Jerman semakin masuk dalam situasi kekacauan. Dalam situasi ini, yang perlu adalah selalu berharap kepada Tuhan.
- Uraian tentang Pengharapan Yang Realistis
Pada bagian ini, kami akan mengulas pemikiran Jurgen Moltmann tentang pengharapan yang realistis. Untuk memperjelas uraian ini, kami akan membaginya dalam beberapa bagian kecil.
4.1 Pengharapan akan apa yang dijanjikan Allah bagi masa depan[10]
In actual fact, however, eschatology means the doctrine of the Christian hope, which embraces both the object hoped for and also the hope inspired by it. From first to last, and not merely in the epilogue, Christianity is eschatology, is hope, forward looking and forward moving, and therefore also revolutionizing and transforming the present. The eschatological is not one element of Christianity, but it is the medium of Christian faith as such, the key in which everything in it is set, the glow that suffuses everything here in the dawn of an expected new day.[11]
Melalui kata-katanya ini, Moltmann hendak menegaskan bahwa eskatologi adalah doktrin tentang harapan kristiani. Harapan yang bersumber dari Allah itu akan memberikan semangat baru bagi pengikut Kristus untuk mengubah dunia saat ini ke arah yang lebih baik lagi. Yang pasti adalah Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat yang menaruh harapan penuh kepada-Nya.
Selain itu, menurut Moltmann, eskatologi kristiani bukanlah logos Yunani melainkan janji Allah kepada Israel.[12] Janji ini tidak dapat dibaca dari sejarah dunia dan keterarahannya melainkan harus dimengerti dari sabda Allah yang datang ke dunia, melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu, tanpa mengenal Kristus dalam iman, pengharapan menjadi tidak bermakna. Dengan demikian, Yesus Kristus adalah jaminan pengharapan kristiani. Berkaitan dengan hal ini, Moltmann memberikan kritikan terhadap orang kristiani zamannya, “orang Kristen, Gereja-Gereja dan kaum teolog telah percaya akan Allah tanpa masa depan; oleh karena itu, hasrat akan masa depan dunia telah bergabung dengan ateisme yang mencari masa depan tanpa Allah.”[13] Eskatologi memiliki sumber yang khas yakni karya keselamatan Allah. Dasar eskatologi adalah keyakinan iman bahwa karya Allah selalu mengandung kemungkinan baru.
Berpikir teologis dari segi pengharapan berarti melihat seluruh teologi dalam terang masa depan Allah.[14] Inilah hal yang juga ditegaskan oleh Jurgen Moltmann. Ia meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai tokoh kekal yang tanpa bergerak berada pada tempat yang tinggi atau berada di tempat yang terdalam dari manusia. Mengapa demikian? Karena Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada ditempat yang terdalam, tetapi Ia berjalan mendahului kita dan dari depan menarik kita menuju masa depan. Dia adalah Allah masa depan, yang mengajar kita berharap. Oleh karena itu, Moltmann menandaskan bahwa gambaran Allah yang timbul dari pemikiran Yunani harus diganti dengan gambaran Allah yang timbul dari Perjanjian Lama, yakni Allah sejarah; Allah yang mencakup segala perkara duniawi, termasuk sosial-politik.[15] Perjalanan bangsa Israel menegaskan bahwa Allah itu adalah Dia yang selalu berjanji membawa Israel menuju masa depan yang baru. Kesadaran akan Allah seperti inilah yang menyertai perjalanan bangsa Israel bahkan hingga saat ini. Pemikiran ini juga hendaknya menjiwai perjalanan hidup orang-orang Kristen saat ini. Di tengah perjuangan hidup yang ditandai dengan pelbagai tantangan di dunia ini, hendaknya Allah selalu berada di depan, yang menarik mereka agar mengalami pembebasan bersama-Nya.
- 2 Pengharapan itu bersumber dari dinamika Sejarah Keselamatan
Dalam perjanjian Lama, pelaksanaan janji-janji Allah menguatkan iman Israel terhadap kesetiaan Allah dan sekaligus membuka harapan terhadap pelaksanaan janji-janji yang lebih sempurna.[16] Pelaksanaan sementara merupakan antisipasi eskatologis. Maksudnya adalah dalam pelaksanaan janji yang bersifat sementara itu kepenuhan pelaksanaan janji-janji diantisipasi. Dengan demikian, selalu ada pengharapan dalam diri orang-orang percaya.
Dalam perjanjian Baru, antisipasi eskatologis itu lebih ditegaskan lagi. Kerajaan Allah sudah dekat, maka kita harus bertobat dan mengarahkan diri ke masa depan. Peristiwa sangat penting yang menumbuhkan harapan baru bagi orang beriman adalah wafat dan kebangkitan Kristus.[17] Melalui peristiwa penting ini, kebangkitan manusia diantisipasi dan dengan demikian menjadi jelas ke arah mana seluruh dunia berkembang. Bahkan seluruh proses pembangunan dunia dan masyarakat, segala kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan memainkan peranan penting karena setiap penyempurnaan dunia harus dilihat sebagai satu tahap dalam proses pelaksanaan wahyu Allah dan kerajaan-Nya. Mengimani kebangkitan Kristus berarti bahwa orang kristiani sekarang sudah hidup dari masa depan yang telah diantisipasi dalam kebangkitan Yesus Kristus.
Berkaitan dengan harapan dalam dinamika sejarah keselamatan manusia, Jurgen Moltmann menguraikan pemikirannya seperti berikut ini.
Christian eschatology speaks of ‘Christ and his future’. Its language is the language of promises. It understands history as the reality instituted by promise. In the light of the
present promise and hope, the as yet unrealized future of the promise stands in contradiction to given reality. The historic character of reality is experienced in this contradiction, in the front line between the present and the promised future. History in all its ultimate possibilities and dangers is revealed in the event of promise constituted by the resurrection and cross of Christ. We took the promise contained in this event, in the sense of that which is latent, hidden, prepared and intended in this event, and expounded it against the background of the Old Testament history of promise, perceiving at the same time the tendencies of the Spirit which arise from these insights. The pro- missio of the universal future leads of necessity to the universal missio of the Church to all nations.[18]
Jadi, eskatologi itu berbicara tentang Kristus dan masa depan-Nya. Hal ini berkaitan dengan janji Yesus untuk menyelamatkan dunia. Yang perlu disadari adalah janji itu memiliki latar belakangnya dalam Perjanjian Lama. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah selalu menjanjikan keselamatan bagi umat Israel. Berkat wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut, Kristus memberikan harapan baru bagi orang yang percaya; harapan akan keselamatan kekal sekaligus memanggil para pengikut-Nya untuk mewartakan keselamatan kepada segala bangsa.
Peristiwa penampakan Yesus yang telah bangkit merupakan pewahyuan yang menampilkan Kristus yang akan datang dan oleh karena itu dapat memberikan tugas perutusan kepada para rasul.[19] Akan tetapi, perutusan ini hanya dapat dimengerti dalam terang janji-janji Perjanjian Lama tentang kedatangan Tuhan dan kebenaran-Nya. Dengan demikian, sejarah keselamatan itu bukan hanya penting bagi para nabi, tetapi juga teologi yang dianggap oleh Moltman sebagai penglihatan historis-eskatologis yang diberikan Allah kepada kita dalam jangka waktu antara peristiwa salib dan parusia Kristus. Konsep ini memiliki konsekuensi lebih lanjut yakni karena janji Allah hanya mempunyai arti kalau ada hubungan dengan manusia yang hidup di dunia, teologi yang berlandaskan Alkitab itu hendaknya selalu berdialog dengan dunia, termasuk ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial-politik.[20] Dengan demikian, iman berkembang menjadi harapan yang berjuang melawan apa yang negatif di dunia ini sambil menderita, tetapi tidak pernah putus asa sebab orang Kristen yang memiliki harapan menerima salib dalam kekuatan kebangkitan.
- 3. Salib dan Kebangkitan Kristus adalah Landasan Pengharapan
Moltmann juga menguraikan bahwa harapan kristiani itu bersumber dari peristiwa kebangkitan dan penampakan Kristus. Tatkala kita mengakui kebangkitan Kristus, maka kita juga mengakui tindakan Allah di masa depan untuk mengubah dunia. Tentang hal ini, ia menjelaskannya sebagai berikut.
The Christian hope for the future comes of observing a specific, unique event — that of the resurrection and appearing of Jesus Christ. The hopeful theological mind, however, can observe this event only in seeking to span the future horizon projected by this event. Hence to recognize the resurrection of Christ means to recognize in this event the future of God for the world and the future which man finds in this God and his acts. Wherever this recognition takes place, there comes also a recalling of the Old Testament history of promise now seen in critical and transforming light.[21]
Dengan kata lain, salib dan kebangkitan Kristus adalah intisari iman kristiani dan ini mendasari pengharapan umat beriman.[22] Iman kristiani hidup dari kebangkitan Kristus yang disalibkan dan mendambakan masa depan Kristus yang akan terpenuhi dalam parusia. Pada salib Kristus, kematian manusia mendapat arti bagi Allah. Manusia Yesus yang wafat pada kayu salib itu adalah Putra Allah, dan wafatnya Putra Allah itu dirasakan baik oleh Allah Putra maupun Allah Bapa.[23] Pembedaan antarpribadi dalam Allah Tritunggal itu mencakup juga kematian. Hal ini berlaku juga bagi keesaan dalam pembedaan itu, dan keesaan terletak dalam Roh Kudus: di dalam Roh Kudus terjadi penyerahan Putra ke dalam maut, dan karena Roh Kudus itu juga terlaksana kebangkitan Putra ke dalam kemuliaan.[24] Kebangkitan Kristus adalah awal kebangkitan orang-orang mati.
Menurut Moltmann, arti eskatologis wafat dan kebangkitan Kristus terletak pada Salib. Salib dipandang sebagai antisipasi murka Allah atas segala makhluk. Kristus mewakili orang-orang berdosa dan fasik yang terpisah dari Allah.[25] Dengan demikian, Salib Kristus merupakan peristiwa penghakiman eskatologis. Maksudnya, dalam salib itu pengadilan terakhir sudah terlaksana. Dalam salib anak-Nya, Allah Bapa menerima kematian supaya manusia dapat meninggal dalam damai karena mengetahui dengan pasti bahwa dalam kematian itu ia tidak terpisah dari Allah. Melalui wafat Kristus, Allah sungguh-sungguh terlibat dalam sejarah manusia dan akan membawa sejarah itu kepada pemenuhannya, sebagaimana secara antisipasi sudah terlaksana dalam kebangkitan Kristus.
Peristiwa salib dan kebangkitan Kristus merupakan landasan pengharapan bagi pengikut Kristus. Maksudnya adalah dengan merenungkan, memahami dan mengimani misteri Kristus ini, orang-orang Kristen menaruh seluruh perjuangan hidupnya dengan aneka persoalannya ke dalam penyelenggaraan Kristus. Mereka yakin bahwa Kristus akan menjadi jaminan hidup. Penderitaan hidup di dunia akan berakhir dan yang nanti dialami adalah sukacita bersama Kristus yang bangkit. Kebangkitan Yesus juga meyakinkan mereka bahwa peristiwa itu (kebangkitan Kristus) adalah antisipasi kebangkitan umat beriman. Dengan kata lain, peristiwa kebangkitan Kristus menjadi sumber kebangkitan hidup semua orang percaya dan sebagai sebuah konfirmasi janji yang akan dipenuhi dalam semuanya, sehingga masalah kematian pun tidak lagi menakutkan.[26]
Melalui Salib dan kebangkitan Yesus terdapat gambaran yang menarik tentang ‘persaingan’ antara kematian dan hidup, ketidakhadiran Allah dan kehadiran Allah.[27] Melalui kebangkitan-Nya, Yesus menuju hidup baru, Allah menciptakan kontinuitas di dalam diskontinuitas yang radikal ini. Selanjutnya kontradiksi salib dan kebangkitan cocok kepada kontradiksi antara realitas masa kini dan apa yang Allah janjikan untuk diperbuat-Nya. Pada salib-Nya Yesus memperkenalkan diri-Nya dengan realitas masa kini dengan segala persoalannya yakni dosa, penderitaan dan kematian atau apa yang Moltmann katakan adalah keterkutukkan dan ketidakkekalan.
4.4. Pengharapan Kristiani meresap dalam dunia konkret, kini dan di sini
Moltmann mengkritik teologi ortodoks yang menekankan eskatologi sebagai suatu kepercayaan tentang peritiwa-peristiwa tertentu pada akhir zaman.[28] Sebaliknya Moltmann melihat eskatologi sebagai suatu faktor yang membentuk semua teologi Kristen. Karena itu Moltmann keberatan jika eskatologi dijadikan pelengkap dari teologi Kristen dan ditempatkan di akhir dari semua bidang teologi. Menurut Moltmann, eskatologi adalah ajaran atau doktrin tentang pengharapan Kristen. Pengharapan Kristen itu bukan saja pengharapan tentang hal-hal yang akan datang, tetapi juga realitas masa kini karena harapan tersebut merevolusi dan mentransformasi masa kini.[29] Pengharapan kristiani itu realistis. Maksudnya adalah semangat pengharapan orang-orang Kristen berani membawa perubahan kepada dunia sekitarnya. Segala persoalan hidup bersama dalam masyarakat hendaknya diselesaikan dengan penuh semangat kerja sama tanpa keputusasaan. Landasan pengharapan ini adalah Kristus yang telah disalibkan dan kemudian mengalahkan maut melalui kebangkitan-Nya. Melalui iman, kita terikat kepada Kristus, dan dengan demikian kita memiliki harapan pada Kristus yang bangkit dan pengetahuan akan kedatangan-Nya kembali.
Tentang pengharapan kristiani yang realistis itu, Jurgen Moltmann menjelaskannya sebagai berikut.
For the eschatological hope shows that which is possible and transformable in the world to be meaningful, and the practical mission embraces that which is now within the bounds of possibility in the world. The theory of worldtransforming, future-seeking missionary practi-ce does not search for eternal orders in the existing reality of the world, but for possibilities that exist in the world in the direction of the promised future. The call to obedient molding
of the world would have no object, if this world were immutable. The God who calls and promises would not be God, if he were not the God and Lord of that reality into which his mission leads, and if he could not create real, objective possibilities for his mission. Thus
the transforming mission requires in practice a certain Weltanschauung, a confidence in the world and a hope for the world. It seeks for that which is really, objectively possible in this world, in order to grasp it and realize it in the direction of the promised future of the righteousness, the life and the kingdom of God.[30]
Dari kutipan ini, kami melihat bahwa Jurgen Moltmann sangat menekankan aktualisasi dari pengharapan kristiani. Pengharapan kristiani yang berlandaskan pada Kristus yang bangkit itu hendaknya mendorong pengikut Kristus untuk berani membuat perubahan; mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Transformasi dunia adalah tugas dari orang-orang yang memiliki pengharapan. Inilah misi yang diemban oleh para pengikut Kristus. Dengan kata lain, mereka tidak bisa menutup mata terhadap aneka ketidakadilan, kejahatan, penderitaan yang terjadi di dunia ini. Mereka harus berpartisipasi untuk mengubah semuanya ini. Inilah tugas Kristus yang saat ini dilimpahkan kepada para pengikut-Nya. Apabila tugas ini dilakukan dengan baik, maka pengikut Kristus berhasil menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini!
Moltmann juga memahami iman Kristen sebagai harapan utama tentang masa depan manusia dan dunia yang dijanjikan oleh Allah dalam kebangkitan Yesus yang disalibkan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti masa depan yang diharapkan saja, tetapi sebuah realitas dalam sejarah nyata dan yang berkuasa atas masa depan. Eskatologi Kristen adalah sebuah doktrin pengharapan yang aktif agar dapat memberi harapan untuk masa depan bagi yang tertindas dan menderita pada masa sekarang ini.[31] Oleh karena itu, seorang teolog tidak hanya peduli untuk menyediakan suatu interpretasi yang berbeda dalam dunia, sejarah dan kehidupan manusia, tetapi untuk mengubah mereka dalam pengharapan akan transformasi ilahi. Sejarah adalah realitas yang dilembagakan oleh janji Allah dalam kehadiran-Nya dan dialami oleh manusia sebagai pergerakkan janji masa depan dalam suatu antisipasi.
Teologi Politik
Inti teologi pengharapan Moltmann adalah teologi politik.[32] Maksudnya adalah teologi yang merealisasikan kehadiran Kristus di dunia ini. Pengertian politik ini diambil dalam arti luas yang di dalamnya mengandung nasib manusia dan alam semesta. Menurut Moltman, yang harus dimasuki oleh iman kristiani dan diresapi oleh semangat pengharapan adalah dunia konkret, kini dan di sini. Dengan menerima salib bersama Kristus, artinya dengan hidup solider dengan orang-orang yang menderita, umat beriman mewartakan masa depan kebangkitan, kehidupan dan keadilan Allah dalam hidup sehari-hari di dunia ini.
Situasi penderitaan dunia saat ini hendaknya menjadi medan kesaksian bagi para pengikut Kristus untuk mewartakan injil kebebasan.[33] Bahkan Moltman menyadarkan bahwa dunia yang penuh derita dan maut ini akan lewat, sebagaimana Kristus telah mengalahkan maut. Kebaktian di gereja hanya akan berkenan kepada Tuhan apabila disertai aksi nyata dalam segala bidang kehidupan manusia. Seorang teolog yang berbicara tentang Allah harus selalu bertanya apakah ia memberi candu kepada umat ataukah obat untuk memperjuangkan kemerdekaan manusia. Hanya dalam hal terakhir (memperjuangkan kemerdekaan), ia berbicara tentang Kristus yang tersalib dan kemudian mengalahkan maut; sedangkan dalam hal pertama (hanya berbicara tentang Allah), ia hanya berbicara tentang berhala kaum kafir.[34] Iman kristiani hendaknya menyadarkan pengikut Kristus agar berani mengubah dunia dan menegakkan kemerdekaan bagi umat manusia. Yesus datang ke dunia, bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, membebaskan manusia secara pribadi, menghibur yang tersesak, tetapi juga memberikan harapan baru akan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian di dunia ini.[35] Gereja diutus ke dunia, bukan hanya menyebarkan iman dan harapan, tetapi juga melakukan perubahan historis.
Penderitaan Yesus Kristus merupakan wujud solidaritas Allah atau keterlibatan Allah dalam sejarah manusia yang mengalami penderitaan.[36] Allah pun tersalib di dalam manusia yang menderita. Yesus menjadi wujud konkret solidaritas Allah ini atas dasar cinta kasih-Nya. Yesus adalah kepenuhan sekaligus pintu gerbang dari ‘janji’ keselamatan Allah bagi manusia dalam ‘kasih’. Keterlibatan ini tampak dalam dinamika sejarah yang terus menerus diperjuangkan oleh manusia dalam rangka antisipasi terhadap janji Allah ini. Dengan demikian, eskatologi berarti hidup kekal sebagai janji Allah yang telah dimulai dan senantiasa berjalan dalam dinamika relasional antara Allah dan manusia. Eskatologi tidak lagi dipahami hanya janji Allah setelah kematian namun sungguh hadir dalam keterlibatan manusia untuk mempertanggungjawabkan hidupnya yang bermakna. Makna ini didorong oleh kasih yang di dalamnya hidup kekal itu benar-benar ada.
Tentang hal ini, Jurgen Moltmann menjelaskannya seperti berikut ini.
The risen Christ calls, sends, justifies and sanctifies men, and in so doing gathers, calls and sends them into his eschatological future for the world. The risen Lord is always the Lord expected by the Church — the Lord, moreover, expected by the Church for the world and not merely for itself. Hence the Christian community does not live from itself and for itself, but from the sovereignty of the risen Lord and for the coming sovereignty of him who has conquered death and is bringing life, righteousness and the kingdom of God.[37]
Kristus yang bangkit memanggil dan mengutus para murid-Nya untuk mengubah dunia; membawa harapan hidup kepada dunia. Komunitas kristiani yang hidup dari Kristus hendaknya mampu membawa kehidupan baru kepada dunia; kehidupan yang dipenuhi kedamaian dan kesejahteraan. Kebenaran harus ditegakkan di dunia ini. Kerajaan Allah harus dialami oleh setiap manusia. Inilah misi Kristus yang dijalankan oleh umat kristiani yang memiliki pengharapan.
Eskatologi Kristiani harus memberi perhatian pada sejarah dan pada keterlibatan Allah dalam sejarah.[38] Janji Allah yang dinyatakan di dalam Perjajian Lama dan Perjanjian Baru akhirnya dapat menimbulkan pengharapan masa depan yang sungguh-sungguh pasti bahkan sudah dapat dirasakan pada saat ini. Janji dan pengharapan itu akhirnya dapat menimbulkan misi Gereja di dunia ini. Misi ini mengutus mereka ke dunia yang universal dengan kemungkinan pencapaian kemajuan berdasarkan iman akan Allah sendiri di dalam keagungan kuasa, kesetiaan dan janji-Nya. Misi Gereja dapat berjalan dengan baik jika orang Kristen mengharapkan sesuatu yang baru dari Kristus, sesuatu yang belum pernah terjadi, dan hal ini ditunggu pemenuhannya berdasarkan janji kebenaran Allah dalam segala sesuatu. Oleh karena itu, umat Allah yang telah menerima janji itu harus kreatif dalam karyanya sehari-hari untuk memperlihatkan jiwa misionaris dengan melayani orang-orang yang tidak berdaya, lemah, miskin, dan yang terpinggirkan di dunia ini.
Jurgen Moltmann menjelaskan dengan baik sekali tentang misi Gereja di dunia ini. Hal ini terlihat dalam uraian berikut ini.
The Christian Church which follows Christ’s mission to the world is engaged also in following Christ’s service of the world. It has its nature as the body of the crucified and risen Christ only where in specific acts of service it is obedient to its mission to the world. Its existence is completely bound to the fulfilling of its service. For this reason it is nothing in itself, but all that it is, it is in existing for others. It is the Church of God where it is a Church for the world.[39]
Gereja Kristus pasti melaksanakan misi Kristus. Misi Kristus tak lain adalah menyelamatkan dunia; memberikan kehidupan kepada dunia. Kristus datang membebaskan manusia yang tertindas. Inilah tugas yang dijalankan oleh Gereja saat ini. Gereja Allah itu adalah Gereja untuk dunia!
- Kontekstualiasi Pemikiran Jurgen Moltmann tentang Pengharapan Yang Realistis
Sebelum kami menguraikan kontekstualisasi pemikiran Moltmann tentang Teologi Pengharapan, kami terlebih dahulu memberikan satu catatan kritis.Teologi Pengharapan Moltmann memusatkan perhatiannya pada manusia yang sedang berziarah di dunia ini dalam hubungannya dengan Kristus yang juga terlibat dalam ziarah itu. Kristus yang wafat dan bangkit selalu hadir dalam setiap persoalan manusia. Moltmann sangat menekankan aksi nyata dalam hidup bermasyarakat sebagai konsekuensi logis dari iman akan Kristus yang menderita dan bangkit. Apabila orang beriman kepada Kristus, maka ia harus berani terlibat dalam mengatasi penderitaan di dunia ini. Apakah harus melakukan revolusi? Tentu tidak harus! Akan tetapi, menurut kami, kalau tidak hati-hati, bisa saja orang Kristen karena situasi tertentu akan melakukan revolusi; melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat dengan cara yang tidak kristiani (misalnya, dengan kekerasan). Apabila hal ini terjadi, tentu tidak sesuai dengan kehendak Kristus yang menawarkan damai kepada dunia.
Pemikiran Moltmann tentang pengharapan yang realistis ini masih relevan untuk dunia sekarang ini. Situasi dunia yang sering kali tidak menentu menyadarkan orang-orang Kristen untuk tidak putus asa. Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari pemikiran Moltmann.
5.1. Hidup Orang-orang Kristen dalam jaman sekarang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kian hari kian canggih. Banyak hal yang bisa diciptakan oleh manusia. Bahkan tak jarang orang zaman ini selalu membanggakan kemampuan hebatnya yang telah menciptakan kemajuan sangat berarti di dunia ini. Akan tetapi, situasi ini membuat sebagian orang tidak memerlukan Tuhan lagi, sebab manusia ternyata bisa menciptakan sendiri apa yang berguna untuk perkembangan dunia. Situasi ini sering kali menimbulkan persoalan penting pada zaman ini. Antara lain, hal-hal yang berbau keagamaan disingkirkan. Hal-hal yang tidak bisa dicerna oleh akal budi dianggap tidak nyata dan khayalan belaka. Kenyataan ini tidak membuat dunia aman atau manusia mengalami kebahagiaan. Malahan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi mendatangkan malapetaka bagi manusia lain (misalnya, peperangan, bom meledak di mana-mana).
Dalam terang teologi pengharapan Moltmann, di tengah-tengah situasi di atas orang-orang kristiani disadarkan kembali akan imannya kepada Kristus. Ia datang ke dunia untuk memberi harapan baru bagi orang-orang yang menderita. Karena itu, mereka (gereja) harus melakukan tindakan nyata untuk pelan-pelan mengubah situasi penderitaan ini. Gereja yang berada di dalam realitas sosial-politik yang kompleks ini dituntut melindungi individu dan mengarahkan harapan manusia yang menderita kepada Kristus sang pembebas. Dengan demikian, di tengah situasi kekacauan dunia saat ini, Gereja hendaknya memiliki pengharapan kepada Kristus yang disalibkan dan bangkit yang datang menyelamatkan orang-orang beriman. Akan tetapi, harapan ini harus diwujudkan dalam aksi nyata yakni bersama-sama membangun dunia ini dan berjuang menyelesaikan aneka persoalannya.
5.2. Relevansi khusus untuk Orang-Orang Kristen Indonesia
Sejarah Indonesia telah bergulir jauh ke depan sejak dahulu kala. Seiring berjalannya waktu, bangsa Indonesia telah, sedang dan akan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Aneka perkembangan berarti telah dialami oleh manusia-manusia Indonesia. Akan tetapi, aneka persoalan tetap saja terjadi setiap hari. Situasi penderitaan masih saja mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia tentu juga adalah sejarah Gereja Indonesia. Dalam terang teologi pengharapan Moltman, di mana Allah terlibat dalam sejarah manusia, orang-orang Kristen Indonesia hendaknya yakin bahwa Allah juga hadir dalam sejarah bangsa ini. Sejarah Indonesia adalah ‘sejarah’ Allah yang terlibat dalam penderitaan hidup manusia Indonesia. Allah menuntun bangsa ini dalam menciptakan kebaikan bersama (bonum communae). Masa depan orang Kristen adalah masa depan bangsanya. Salib dan kebangkitan Kristus yang menjadi landasan pengharapan kristiani hendaknya memacu semangat Gereja Indonesia untuk memberikan harapan kepada bangsa ini. Karena itu, orang Kristen Indonesia harus berani terlibat dalam upaya mengatasi aneka persoalan dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. Mereka harus berani menciptakan perubahan hidup sehingga bangsa ini mengalami kesejahteraan.
5.3. Perkembangan Teologi di Indonesia
Teologi pengharapan Jurgen Moltman muncul karena pengalaman penderitaan yang dialaminya dan juga pengalaman kehancuran bangsa Jerman setelah perang. Dengan kata lain, teologinya muncul ‘dari bawah,’ muncul dari pergulatan manusia yang sedang berjuang dengan aneka persoalan dunia. Inilah yang dinamakan teologi kontekstual: teologi yang merenungkan secara mendalam persoalan konkret umat beriman. Teologi jenis ini benar-benar menyentuh kehidupan manusia, bukan hanya soal kehidupan spiritual, tetapi juga bidang kehidupan lainnya (sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain).
Apa yang dilakukan oleh Moltmann ini kiranya menginspirasikan para teolog Indonesia untuk membuat kajian teologis berlandaskan konteks Indonesia. Antara lain, konteks keanekaragaman suku, agama, budaya dan juga situasi penderitaan yang dialami bangsa ini. Harapannya, aneka situasi ini mendorong para teolog agar menghasilkan teologi pengharapan yang realistis konteks Indonesia. Dengan demikian, teologi Indonesia bukan hanya melanjutkan teologi Barat atau negara-negara lain, tetapi juga memunculkan teologi khas Indonesia yang merefleksikan secara mendalam Salib dan kebangkitan Kristus. Kajian ini diharapkan bisa membantu umat beriman di Indonesia dalam menghayati iman di tengah persoalan hidupnya sehari-hari. Kajian ini juga harapannya mendorong mereka untuk berani melakukan aksi nyata dalam rangka mengubah aneka ketidakadilan dan penderitaan yang ada di Indonesia sambil tetap menaruh harapan pada Kristus.
- Penutup
Teologi pengharapan Jurgen Moltmann menekankan hal penting dalam hidup umat beriman yakni pentingnya menaruh harapan kepada Kristus. Pengalaman penderitaan pribadi dan juga kehancuran bangsa Jerman menyadarkan Moltmann akan pentingnya harapan terjadinya perubahan hidup ke arah yang lebih baik di masa depan. Pengharapan ini bukan tanpa Allah (seperti Bloch), tetapi bersandar pada Allah, secara khusus Salib dan Kebangkitan Kristus. Inilah landasan pengharapan Kristiani. Akan tetapi, iman akan Kristus ini harus diwujudkan dalam tingkah laku konkret yakni mengubah dunia yang penuh penderitaan ini menjadi dunia yang lebih baik.
Dengan demikian, pengharapan kristiani bukan hanya ucapan tetapi dibuktikan melalui aksi yang nyata yang menghadirkan Kristus. Inilah pengharapan yang realistis; pengharapan yang menyentuh persoalan konkret para pengikut Kristus. Gereja dipanggil untuk pergi dan melayani di dalam dunia, membangun dunia baru sambil menaruh harapan kepada Kristus. Orang-orang Kristen di Indonesia pun diundang untuk selalu menaruh harapan pada Kristus yang telah wafat dan bangkit sambil terlibat aktif dalam menciptakan kesejahteraan bersama di dalam negara ini. Kehadiran orang Kristen diharapkan memberi harapan dan semangat baru bagi perjuangan mengatasi penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia sebab mereka selalu mengarahkan diri pada Kristus, sumber pengharapan sejati. ***
Catatan: Saudara/i terkasih, tulisan ini saya buat beberapa tahun silam ketika saya masih kuliah di Malang. Mungkin ada yang mau membaca dan mau mendalaminya! Maaf karena terlalu panjang dan mungkin juga tak mudah memahaminya. 🙂
Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika II, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta: Gunung Mulia, 1985,
Moltmann, Jurgen, The Church in the Power of the Spirit, Munich: SCM Press Ltd, 1975.
——————-, Theology of Hope, Munich: SCM Press Ltd, 1965.
——————-, The Crucified God, Munich: SCM Press Ltd, 1974.
http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 4 Februari 2014
http://www.theopedia.com/Jurgen_Moltmann, diakses 4 Februari 2014
[1] Bdk. Jurgen Moltmann, Theology of Hope, Munich: SCM Press Ltd, 1965, hal. 3.
[2] Ibid., hal. 5.
[3] Ibid., hal. 16.
[4] http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 4 Februari 2014
[5] http://www.theopedia.com/Jurgen_Moltmann, diakses 4 Februari 2014
[6] Ibid.
[7] http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 4 Februari 2014.
[8] http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 10 April 2014.
[9] Bdk. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta: Gunung Mulia, 1985, hal. 154.
[10] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika II, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 540.
[11] Bdk. Jurgen Moltmann, Op.Cit., hal. 3.
[12] Ibid.,, hal.17.
[13] Ibid., 146.
[14] Ibid., hal. 136.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hal. 141.
[17] Ibid., hal. 191.
[18] Ibid., hal. 146.
[19] Bdk. Jurgen Moltman, The Church in the Power of the Spirit, Munich: SCM Press Ltd, 1975, hal. 166.
[20] Ibid., hal. 176.
[21] Bdk. Id., Theology of Hope, Op.Cit., hal. 125
[22] Ibid., hal. 165.
[23] Bdk. Jurgen Moltman, The Crucified God, Munich: SCM Press Ltd, 1974, hal. 190.
[24] Bdk. Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 543.
[25] Ibid., hal. 145.
[26] Bdk. Jurgen Moltman, Theology of Hope, Op.Cit., hal. 211.
[27] Ibid., hal 226.
[28] Ibid., hal 16-17.
[29]Ibid., hal. 25.
[30] Ibid., hal. 187.
[31] Ibid., hal. 32.
[32] Bdk. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hal.145.
[33] Bdk. Jurgen Moltman, Theology of Hope, Op. Cit., hal. 330-338.
[34] Bdk. Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 544.
[35] Bdk. Jurgen Moltman, The Church in the Power of the Spirit, Op. Cit., hal. 178.
[36] Bdk. Id., Theology of Hope, Op. Cit., hal. 216-224.
[37] Ibid., hal. 211.
[38] Ibid., hal. 225-228.
[39] Ibid., hal. 212.

