Tak tahan aku menahan geli begitu melintas lapangan basket hari ini.
Sekelompok anak SD sedang belajar olah raga basket. Mereka diperkenankan bermain-main bersama temannya sembari mencoba mempraktikkan apa yang mungkin sebelumnya sudah diajarkan.
Beberapa diantara mereka nampak yang antusias memainkan bola basket itu sembari meloncat-loncat selaksa pemain basket beneran. Apalagi anak-anak cowok. Mereka paling bersemangat. Tidak peduli tubuhnya kecil atau besar, bolanya lepas berulangkali sebelum masuk ring dan lain-lain. Mereka memang terlihat menikmati.
Tapi, yang bikin aku tertawa geli tadi, bukan pemandangan barusan.
Tepat saat aku jalan tiga anak SD yang tubuhnya mungil, juga membawa bola basket mereka ke dekat ring. Dari cara membawanya yang tidak dengan mendribel selayaknya olah raga basket alias digiring bahkan dikejar seperti sepak bola. Apalagi ketika tepat ada di bawah ring.
Salah satu dari mereka melirik ke teman sebelah kanannya, lalu terdengar dia menawarkan bolanya, “Mau?”
Yang ditawari mengangguk lalu menerima bola basket itu.
Sampai situ aku tersenyum lebar. Main basketnya baik hati sekali, menawarkan ke musuhnya tanpa si musuh harus susah payah mendribel bola hingga sampai dekat ring.
Dan, saat si anak perempuan itu hendak memasukkan bolanya ke atas ring, dia melempar ke atas begitu saja. Tanpa ada selayaknya teori yang memang ada.
Pastinya bola nggak bisa masuk ring.
Boro-boro masuk, tangan kecilnya itu sudah dikerahkan keduanya, tetap saja tidak bisa menjadikan bola itu sedikit mengarah ke atas, dekat ring. Bola itu malah mendadak menggelinding ke hadapannya. Sepertinya karena ia tidak begitu kuat menggenggam.
“Harusnya, mereka dikasihnya bukan bola basket untuk orang dewasa. Belum cukup kuat tangannya,” komentar Seseorang di sebelah.
Senyumku berkembang. Sudah tahu siapa.
“Lihat saja nih si Akang,” jawabku sembari menoleh.
“Iya dong… Tingkah laku anak-anak kecil itu kan selalu menjadi perhatianKu,” jawab si Akang sembari memberi kode untuk ikut diriNya masuk ke lapangan yang pintunya terbuka. Kami pun duduk di pinggiran lapangan.
“Jadi, menurut Kang Je, basket itu sebaiknya diperkenalkan pada usia berapa?” tanyaku penasaran.
“Usia berapa saja. Di usia mereka juga bagus,” Kang Je melambaikan tangaNya begitu melihat si anak yang tadi tidak berhasil memasukkan bola ke ring, menoleh padaNya. Dari raut wajahNya seperti hendak memberi semangat supaya anak itu berusaha lagi.
“Tapi, ya itu tadi, bolanya kali yang harus disesuaikan. Mereka tangan mungil mereka nggak terlalu berat mengangkat dan memainkan bola itu…”
Kali ini, si anak itu sedikit berhasil membuat bola itu terlempar ke atas. Tidak jatuh ke hadapannya seperti tadi. Nampaknya ia sudah tahu celah memegang bola yang tepat dan benar.
“Selain bola, Ku rasa mereka juga harus dibekali banyak teori seperti bisa mengerti harus bagaimana ketika memegang bola. Seperti yang dilakukan anak itu barusan.” Kang Je menunjuk anak yang masih gembira melihat usahanya berhasil.
Benar juga ya…
Anak ini bisa setengah berhasil karena sudah mengerti harus bagaimana dengan bola.
“Begitu juga hidupmu di dunia, anakKu…” Tangan Kang Je ia kibas-kibas seperti menghalau debu. “Bagaimana kamu bisa menggenggam dunia ini jika teori tidak benar kamu dapat atau praktik pun jarang kamu lakukan?”
Kang Je berdiri.
Ia mengambil bola basket yang menggelinding ke arahNya. Lalu dengan kedua tanganNya, Ia lempar ke salah satu anak dari tigak anak di depan kami ini.
“Setelah teori kamu dapat, praktik sudah sering kamu jalankan, apalagi yang penting juga kamu lakukan?” Kang Je mendadak bertanya serius padaku.
Aku rada grogi jawabnya.
Tepatnya bingung….
“Mmmm… Apa ya, Kang?” Aku menggaruk-garukkan kepala yang tidak gatal. “Menjaganya?”
Kang Je menoleh ke arahku. “Iya, betul… Tapi, selain itu?”
Kepalaku seperti diajak berputar cepat seperti bola yang pernah dimainkan seorang temanku yang sering memainkan bola basket di atas jarinya. Cepat sekali berputarnya.
Tapi, ternyata kemampuan kepala ini tak secepat bola berputar. Susah sekali mendapat jawaban dari pertanyaan Kang Je kali ini.
“Nyerah, Kang…” Ujarku beneran menyerah.
Kang Je tersenyum. PandanganNya lurus ke depan. “ Kuasailah dirimu dan jadilah tenang. (1 Petrus 4: 7) Itu berarti ketika kamu bisa menguasai dirimu sendiri dari segenap hal terutama yang buruk, kamu bisa tenang dan melakukan banyak hal karena dari situlah kemampuan terdalammu bisa berasal. Termasuk mungkin menguasai dunia.” Kang Je menyapu pandangan lapangan seperti hendak meyakinkan kondisi sekitar baik-baik saja. “Tetapi yang terutama, kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa (1 Petrus 4:9).”
Awan di atas kami biru menghampar luas.
Setelah kemarin diguyur hujan seharian, hari ini nampak terang benderang menemani semesta.
Entah ya kalau nanti malam menjelang.
Yang jelas, dari pagi hingga sekarang, matahari masih enggan berlalu. Redup sekali dua sekadar lewat. Semoga saja hari ini bisa lebih lama terangnya.
Bener juga yang dibilang Kang Je barusan….
Gimana kita bisa mengubah dunia jika dari kita sendiri belum bisa dikuasai bahkan belum mendapatkan ketenangan? Nggak peduli berapa banyak teori didapat atau praktik dari teori itu, jika bukan berasal dari hati yang damai, jangankan dunia, orang paling dekat sekali pun akan sulit kita kuasai.
Semua memang berawal dari diri sendiri dulu.
“Yuk, nyoba maen basket. Masa kalah sama mereka?” ajak Kang Je tiba-tiba. Ia sudah ada di dekat anak-anak itu yang langsung bersorak senang, ada Seorang dewasa bersama mereka bermain sesaat jam pelajaran olah raga ini selesai.
Dengan kepedeanNya, Kang Je mencoba menembak dari paint area. Kang Je lalu menembak sampai 3 point didapat. Tentu saja tepuk tangan kembali bergemuruh.
Jagoan juga si Akang ya….
Yang bikin kejutan, Kang Je menggendong anak yang sejak tadi tidak bisa memasukkan bola ke ring. Ia mengangkat anak itu di atas pundakNya lalu memberi semangat ke anak perempuan bertubuh mungil itu agar memasukkan bola ke dalam ring basket.
Segera anak itu melakukannya dengan penuh sukacita.
Teman-temannya pun menyemangati dan turut senang. Satu-satu dari mereka diberi kesempatan Kang Je untuk juga memasukkan bola dengan cara menggendong di atas pundakNya.
Hm.
Lihat digendong gitu, jadi pengen juga sih….
Tapi… Kebayang, Kang Je gendong aku?
Emang kuat? Wuih….
“Kamu juga mau? Sini….” Mendadak suara nyaring Kang Je terdengar. TanganNya memberi tanda agar aku mendekat.
Tentu saja aku cuma tersenyum.
Biarin deh, adik-adik itu saja yang mendapat kegembiraan hari ini bersama Kang Je.
Aku pun selalu gembira dan bersukacita bila ada di dekatNya.
Kang Je Main Basket
Subscribe
Login
0 Comments