Tidak ada kata yang lebih bisa kulontarkan lagi selain, “My God…” begitu lihat berita di televisi seusai aku pulang beraktivitas. Padahal rencana selepas pulang kerja ini aku hendak melepas lelah sambal menikmati makan malam.
Kini mataku hanya terpaku pada berita di televisi serta sesekali mencoba menyuap makanan yang sudah telanjur kubeli ini. Meski jadi tak terasa nikmati, tapi aku juga tidak ingin menyia-menyiakan apa yang sudah Tuhan beri melalui tangan penjual makanan tadi.
Sebenarnya berita tentang kerusuhan ini sudah dari kemarin kubaca dan kudengar. Tapi, karena sibuknya pekerjaan dan konsentarasi pikiran, tak pernah kuanggap berita yang berseliweran tak henti itu.
[postingan number=3 tag= “kang-je”]
Apalagi tadi bosku membari tambahan pekerjaan, jadi saja makin tak konsentrasilah aku.
Plus, mulai dibatasinyana pemakaian media sosial yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan demi keamanan bersama. Walaupun ini membuat aktivitasku sedikit terhambat, tapi aku mendukung apa yang dilakukan pemerintah kali ini. Apalagi sebelum hari-hari ini, yang namanya berita tak jelas alias hoax sudah bukan hal aneh lagi.
Maka ketika akhirnya menjadikan televisi sebagai sumber informasi seperti saat aku masih kecil dulu, membuatku sedikit melangut meskipun isinya kok ya, pas yang tidak menyenangkan begini.
Sungguh, tak pernah terlintas di kepalaku mendapatkan berita kejadian begini lagi. Sama kala pepristiwa tahun 1998, kali ini aku pun terpana menyaksikan berita di televisi atas peristiwa yang nyaris sama.
Heuh. Mengapa orang senangnya membuat keramaian seperti ini? Tidak ada cara lain yang lebih baikkah?
“Makan saja dulu. Nasi gorengmu kalau lebih dingin, nggak enak loh….” Sebuah suara sudah ada di sebelahku.
Kulirik ke kanan, yang tadi menegurku sedang menikmati makananya dengan lahap. Nasi goreng juga.
“Akh, nggak kreatif nih…. Makannya kok samaan gini?” ujarku sambal menyuap lagi makanan yang ada.
“Tadi Aku pun sedang menonton televisi. Lalu ingat belum makan. Pas ke depan, yang ada jualan nasi goreng saja, ya sudah….”
Aku hanya tersenyum. Dalam hatin membatin, kalau tahu kan tadi sekalian saja biar dibelikan alias traktir.
“Nggak ada urusan traktir kalau begini sih,” ujar Kang Je yang seperti tahu apa yang berusan melintas di benak.
“Wah, kok tahu apa yang kupikirkan?” aku terperanjat sendiri.
Kang Je tersenyum. “Iya dong… Sejak kapan Aku tak bisa paham apa yang ada di benak anak-anakKu?”
Bener juga …. Kudu hati-hati.
“Aku kan selalu menyertai kalian semua. Apa pun kondisinya bahkan seperti yang sedang dilaporkan di televisi sekarang.”
Mendadak Kang Je menghentikan makannya begitu melihat lagi breaking news tentang keramaian yang terjadi. Hampir tiap jam, ada saja berita baru yang bikin makan jadi tambah nggak enak begini. Rasanya ikut dag dig dug juga dengan semua hal ini.
Kuperhatikan wajah dan mata Kang Je menatap televisi. Kegalauan paling dalam menyeruak diam-diam di balik wajah putih bersinarnya.
Akh. Bahkan Ia yang selalu menyertai langkah anak-anakNya terlihat begitu prihatin. Padahal bisa saja tho, dengan sekali menjentikkan jari, semua bisa selesai. Tidak perlu merasa ikutan was-was begini sementara kami dari jarak jauh.
“Nggak gitu juga caraKu menyelesaikan semua, anakKu….” Lagi-lagi Kang Je mengetahui apa yang ada di kepala. “Aku harus berlaku adil dan menyampaikan banyak makna di balik semua. Sebagai manusia berakal budi, Kuharap kamu mampu memahami makna apa yang ada.”
Aku terdiam. Untung nasi gorengku sudah habis. Demikian juga Kang Je. Ia segera membereskan sisa makannya lalu beranjak keluar.
Esok harinya, sebelum berangkat kerja, televisi masih menyiarkan hal yang sama dengan kejadian kemarin. Belum selesai juga nampaknya. Mulai ada rasa jengkel juga dengan semua kondisi ini. Sangat mengganggu. Apalagi efek merembet ke yang lain. Nggak menutup kemungkinan toh, keramaian ini bisa merambat kemana-mana juga, termasuk ke kotaku. Biarpun katanya tidak akan sampai jauh dampaknya. Semua akan terkendali.
Penggunaan sosmed yang dibatasi pun masih berjalan. Ya, demi maksud yang lebih jauh dan berkehidupan berbangsa, aku mencoba terima. Cuman …. Repot juga ya ternyata di zaman sekarang dibatasi internetnya begini.
“Coba kamu baca di beberapa sumber berita internet yang masih bisa bebas diakses. Ada hal menarik,” suara itu kembali terdengar. Ia mengambil gawaiku, mencari link yang dimaksud, lalu menunjukkan sesuatu.
Di tautan itu ada berita dan gambar seorang penjual kopi keliling yang tanpa ragu berjualan diantara para petugas keamanan yang sedang tetap berkondisi siap siaga.
Wah.
Kang Je kembali mengambil gawaiku.Tangannya lincah mencari sebuah tautan lagi. Kali ini sebuah video seorang penjual rujak yang dengan mata di bagian bawah diolesi odol, tetap santai melayani pembeli.
Aku terbelalak lagi kaget. Sekali lagi Kang Je mengambil gawaiku. Kali ini Dia memberi kode agar membuka link pertama lalu kedua. Pada link pertama ada berita tentang seorang penjaja rokok yang merugi sebab dagangannya dijarah. Semua, tanpa tersisa. Bahkan bajunya pun diambil.
Di tautan kedua, ada ucapan terima kasih dari seorang netizen yang ternyata tanggap membuat semacam ajakan patungan untuk membantu bapak penjual itu melalui sebuah aplikasi.
Trenyuh uy …. Sampai segitunya kepikiran dan perhatiannya.
“So… Apa yang kamu bisa lihat dari kejadian berapa hari ini?” tanya Kang Je.
“Apa ya…” Aku berpikir dulu. Selintas ada sesuatu yang terpikirkan di kepala. “Tetap berjuang dan melakukan aktivitas?”
“Yup… Tepatnya, Serahkanlah semua kekhawatiranmu kepada Allah karena Ia yang memelihara kamu. Satu Petrus ayat lima sampai tujuh.”
Wow. Begitu, Kang Je berkata barusan, di layar HPku sudah tertera ayat yang dimaksud.
“Lalu kejadian bapak-bapak pedagang itu, apakah Engkau juga yang memerintahkan?”
Kang Je memainkan sebelah matanya. “Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Lukas duabelas ayat duapuluh dua.”
Ting.
Sekalil lagi layarku memunculkan apa yang dikatakan Kang Je barusan. Aku jadi takjub.
“Jadi, nggak usahlah kuatir ya… BapaKu akan selalu menyertaimu dan semua manusia selama ia mau mengandalkan Tuhannya dengan setulus hati.”
Aku mengangguk-angguk. Mengerti.
“Ngomong-ngomong… Kenapa tadi selesai Engkau mengutip ayat, di ponselku sudah tertera ayat yang dimaksud?” aku jadi nggak tahan buat nanya.
Wajah Kang Je seketika berubah menjadi wajah layaknya orang bangga. “Siapa dulu dong…” Ia menmbetulkan sedikit kerah jubahnya Seperti orang hendak sombong. Ia melirik genit padaku yang makin kagum dengan ulahNya ini.
“Itu kan ulah google talk. Kamu bicara, dia bisa langsung tunjukkan,” ujar Kang Je di telinga.
“Heh?!”
“Baru sebentar dibatasi medsosnya, kenapa jadi seperti gaptek gini?”
Astaga!!
Bener juga….
Ya ampppuunnn….
“Maka, percayalah… BapaKu punya cara untuk tetap menjaga anak-anakNya. Langsung atau melalui banyak hal buat perpanjangan tanganNya….”
Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal. Bener jadi merasa bodoh begini di hadapanNya….
“Sudah… Kerja sana…. Kesiangan loh…,” Kang Je mengingatkan.
“Eh, iya…!!” Segera aku bergegas. Bisa bahaya kalau belum cepat menuju kantor. “Aku berangkat dulu ya, Kang…”
“Ya. Hati-hati. Jangan lupa berdoa dan tetap berbuat baik ya…”
“Ahsiyap…..”
(Dalam pergumulan 21-22 Mei 2019)