Akhir-akhir ini, muncul banyak pembicaraan tentang kaum LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex). Sebagai sebuah kenyataan sosial, keberadaan orang-orang dengan orientasi seksual yang tidak biasa ini seringkali mendapat tantangan keras dari masyarakat. Meski penolakan secara kekerasan sudah semakin jarang terjadi, Kaum LGBTI belum sepenuhnya diterima sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Salah satu benteng sosial yang menentang kelompok ini adalah komunitas agama.
Hal ini disampaikan oleh Ibu Khanis Suvianita di Aula Seminari Tinggi Interdiosesan St Petrus Ritapiret, Maumere (Sabtu, 16/3). Dalam bincang-bincang bersama dengan kelompok diskusi Centro John Paul II yang dipandu oleh Moderator Frater Ansy Sabar, kandidat Doktor dari ICRS Universitas Gadjah Mada ini menegaskan temuannya di Maumere dan Gorontalo mengenai ketertutupan masyarakat dalam memandang fenomena LGBTI.
Menurut Ibu Khanis, masyarakat kita lebih sering memahami gender hanya terbatas pada dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Padahal, dalam kenyataan, terdapat begitu banyak gender, misalnya gay, lesbian, biseksual, transgender, intersex, androgini, waria, priawan, dan lain-lain. Bahkan secara kultural beberapa masyarakat adat, misalnya Bugis, mengenal lebih dari dua gender. “Demokrasi kita memang tampaknya tidak mengakomodasi perbedaan-perbedaan sosial, terutama terhadap fenomen yang tidak biasa terjadi. Kita sudah dipandu oleh wacana yang mengharuskan hanya ada dua gender”, ungkapnya.
Menurut Ibu Khanis, kelompok umat beragama adalah aktor dominan dalam penolakan terhadap kaum LGBTI. Faktor utama penolakan umat beragama adalah moralitas religius yang hanya mengenal dua gender pria dan wanita. Umat beragama seringkali merasa risih dengan kehadiran kaum LGBTI karena memiliki pemahaman yang kurang mengenai fakta yang sebenarnya terjadi dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, Ibu Khanis menegaskan pentingnya keterbukaan pada penemuan-penemuan ilmiah mengenai jenis-jenis gender yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Umat, khususnya pemimpin agama, seharusnya menjadi orang pertama yang secara terbuka menerima kehadiran semua gender sebagai ciptaan Tuhan.
“Saya sangat berterima kasih karena sudah diundang untuk berbicara mengenai isu ini di tengah-tengah para calon pastor sekalian”, demikian ungkap Ibu Khanis di akhir acara bincang-bincang ini. — (Fr. Anno Susabun)