21.9 C
New York
Monday, October 14, 2024

Lahirnya Gerakan Ekumene di Indonesia

Tulisan ini masih melanjutkan tulisan-tulisan sebelumnya (Perpecahan dalam Gereja dan munculnya Gerakan Ekumene (1 & 2) dan Gereja Katolik dan Gerakan Ekumene. Kali ini saya membahas tentang selayang pandang Gerakan Ekumene di Indonesia. Selamat membaca. Tuhan memberkati!

[postingan number=3 tag= ‘gereja-katolik’]

  1. Sejarah singkat

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Gereja-Gereja Kristen yang umumnya didirikan oleh Gereja atau Badan Sending (Zendingsconsulaat) Belanda menghadapi situasi dan tantangan baru.[1] Untuk menghadapi situasi baru tersebut, para pemimpin Gereja Kristen mengadakan konferensi misi di Jakarta (Batavia), pada tanggal 10-20 Agustus 1946 yang diselenggarakan oleh Zendingsconsulaat, sebuah badan Gereja-Gereja Protestan.[2] Konferensi ini membahas dua hal. Pertama, tempat dan tugas misi dari para misionaris dalam negara Indonesia Merdeka. Kedua,  rencana untuk mendirikan suatu badan ekumene di antara Gereja-Gereja. Beberapa kesimpulan konferensi ini:[3]

  • Ekumene di antara gereja-gereja di Indonesia sebelum PD II harus dilanjutkan dan diperluas.
  • Tujuan kerja sama ekumene ini adalah pembentukan suatu gereja yang esa di Indonesia.
  • Dewan gereja-gereja di Indonesia dimaksudkan sebagai badan kerja sama gereja-gereja di Indonesia dan gereja-gereja luar negeri yang mengirim zendingnya ke Indonesia.
  • Karena situasi politik mempersulit pertemuan dewan gereja-gereja di Indonesia dan badan pekabaran Injil Nasional, maka dianjurkan agar gereja dan bakal gereja-gereja di wilayah tertentu membentuk dewan regional untuk melakukan dan mendukung tugas bersama.

Setelah konferensi ini, pada bulan Maret 1947, 54 utusan dari 16 Gereja Protestan mengadakan pertemuan di Malino, dekat Makassar dan membentuk Madjelis Kristen.[4] Tugas Majelis ini adalah merintis jalan agar Gereja Kristen Esa di Indonesia bisa terbentuk. Salah satu keputusan penting pertemuan ini adalah terbentuknya Sekolah Tinggi Theologia Indonesia Timur di Makassar.

Selanjutnya, pada bulan November tahun 1949, diadakan konferensi persiapan dalam rangka  pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia.[5] Dalam konferensi ini hadir pula beberapa utusan yang hadir pada Konferensi di Amsterdam, di mana Dewan Gereja-Gereja Sedunia didirikan satu tahun sebelumnya (23 Agustus 1948). Para utusan ini memberikan beberapa ide dan anjuran yang berharga untuk membantu proses pembentukan suatu dewan serupa di Indonesia. Konferensi persiapan ini menegaskan bahwa gerakan ekumene itu lahir bukan karena dimotivasi oleh nasionalisme, tetapi karena kesadaran akan kesatuan kristiani sebagai Tubuh Kristus.[6]

Tujuan utama konferensi ini  adalah membentuk Gereja Kristen yang Esa di Indonesia.[7] Para anggota konferensi sadar bahwa gerakan ekumene itu tidak boleh terbatas pada Gereja-Gereja Protestan, tetapi juga merangkul Gereja-Gereja lain, termasuk Gereja Katolik Roma yang pada saat itu dengan tegas menolak gerakan ekumene.[8] Tujuan gerakan ini adalah terciptanya kesatuan dan kerja sama dalam  mewartakan Injil di tengah dunia. Gereja Katolik tidak bergabung karena menganggap diri sebagai satu-satunya Gereja Yesus Kristus.[9] Karena Gereja Yesus Kristus hakekatnya satu, maka mereka yang bukan Katolik  dipandang sebagai anggota yang meninggalkan Gereja yang benar. Mereka harus bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja Yesus Kristus yang satu dan benar yakni Gereja Katolik.[10]

Setelah konferensi ini, pada tanggal 23-28 Mei 1950 diadakan lagi konferensi di Kampus Sekolah Tinggi Theologia di Jakarta.[11] Konferensi ini berhasil membentuk Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI). Yang menjadi anggota DGI adalah Gereja-Gereja Indonesia. Pada waktu itu, gereja-gereja yang bergabung berjumlah 27 gereja.[12]Dengan demikian, Zendingsconsulaat akan dibubarkan dan tugasnya dalam hubungan dengan pemerintah diambil alih oleh DGI. Tujuan dari DGI adalah pembentukan Gereja Kristen di Indonesia. Akhirnya, para utusan dari 27 Gereja menyatakan pembentukan DGI dengan membuat pernyataan berikut ini:

“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”[13]

Kemudian, pada waktu itu dibentuk pula ‘Majelis Pekerja Harian’ dan yang menjadi ketua DGI umum DGI pertama adalah Todung Sutan Gunung Mulia.[14] Pada  saat konferensi tahun 1953 dijelaskan secara terinci  mengenai tujuan membangun Gereja Kristen yang Esa itu. Yang dimaksudkan adalah membentuk satu Gereja Kristus di Indonesia yang memiliki satu pengakuan iman  dan satu basis aturan Gereja.[15] Akan tetapi, diskusi mengenai satu pengakuan iman dan satu basis aturan Gereja tidak mudah sebab gereja-gereja tidak sepakat dalam menginterpretasi Kitab Suci dan warisan apostolis Gereja.

Pada tahun 1960-an, muncul gagasan bahwa kesatuan itu harus dilaksanakan pada level lokal, di dalam dan di antara jemaat-jemaat setempat, bukan pada level DGI. Langkah konkret yang ditekankan adalah Gereja anggota DGI tidak akan membuka jemaat baru di tempat yang sudah ada Gereja lain sesama anggota DGI.[16] Akan tetapi, usaha ini tidak berhasil dengan baik, sebab setiap Gereja berjuang mengumpulkan jemaat sebanyak mungkin.

Pada tahun 1964, DGI berusaha membentuk konsep bersama mengenai liturgi.[17] Akan tetapi, usaha ini gagal, sebab para pengurus DGI sadar bahwa idealnya yang dimaksudkan dengan kesatuan itu bukan suatu pengakuan iman dan suatu aturan liturgi yang seragam. Tujuan yang hendak dicapai adalah kesatuan dalam perbedaan.[18]

Kemudian, pada tahun 1967, dalam Sidang Raya keenam di Makassar, komisi untuk promosi kesatuan dari DGI mengemukakan konsep Tata Sinode Oikoumene Gereja-Gereja di Indonesia. Ini merupakan langkah penting menuju Gereja Kristen yang Esa. Hal-hal yang ditetapkan dalam Tata Sinode itu adalah:

Pertama, kebersamaan Gereja-Gereja di Indonesia dalam bentuk dewan hendak ditingkatkan menjadi suatu lembaga gerejani dalam bentuk sinode. Kedua, keputusan sidang utama itu bersifat mewajibkan anggota-anggotanya. Ketiga, ajaran dan pengakuannya yang fundamental ialah Sabda Allah, Syahadat Para Rasul dan Pengertian Bersama tentang iman.[19]

Akan tetapi, konsep ini tidak diterima dalam sidang pleno dan hanya direkomendasikan sebagai dokumen yang akan terus didiskusikan. Pada sidang raya di Pematang Siantar, para utusan Gereja-Gereja berpendapat bahwa belum saatnya membentuk sinode ekumenis itu.[20] Karena itu, mulai tahun 1971, DGI berjuang menemukan model kesatuan lain yang lebih mudah diterima. Para pemimpin DGI sadar bahwa Gereja-Gereja di Indonesia lebih mengutamakan kesatuan atau kebersamaan dalam tindakan, bukan kesatuan dalam tata aturan, liturgi dan pengakuan iman.[21] DGI mencari kesatuan lain yakni kesatuan dalam kesaksian dan pelayanan, sambil tetap mengembangkan konsep ‘persatuan dalam perbedaan.’

Pada tahun 1970-an, melalui beberapa seminar, para pengurus DGI menyadari bahwa sesungguhnya kesatuan Gereja atau Gereja yang Esa sudah ada di Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menyatakan atau mewujudkan kesatuan yang ada menurut inti Gereja yang satu.[22] Berkaitan dengan hal ini, istilah pembentukan digantikan dengan penampakan atau perwujudan kesatuan Gereja. Selain itu, nama DGI diubah menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Perubahan nama ini diputuskan dalam Sidang Raya X di Ambon tahun 1984. Kata persekutuan adalah istilah Alkitab yang menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual dari kebersamaan umat kristiani.[23] Dengan demikian, kata persekutuan lebih mengedepankan keterikatan lahir dan batin antara Gereja anggota. Selain perubahan nama tersebut, Sidang Raya di Ambon juga menghasilkan Lima Dokumen Keesaan Gereja yang diterima oleh semua Gereja anggota PGI.

Kelima dokumen tersebut adalah:[24]

  1. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama
  2. Pemahaman Bersama Iman Kristen
  3. Piagam saling Mengakui dan saling menerima (di antara Gereja-Gereja Anggota PGI)
  4. Tata Dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
  5. Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana

Saat ini PGI memiliki 93 gereja anggota.[25]Bila dibandingkan dengan jumlah persekutuan gerejani atau denominasi di Indonesia (jumlahnya sekitar 300 denominasi), jumlah gereja yang bergabung dengan PGI  sedikit.[26] Akan tetapi, jika dipandang dari jumlah umat, Gereja anggota PGI mewakili lebih dari setengah jumlah orang Protestan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena umumnya gereja-gereja besar menjadi anggota PGI. Dalam menjalankan tugasnya, PGI memiliki Majelis Pekerja Harian yang terdiri atas Ketua Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris umum, Bendahara, Wakil Bendahara, serta sejumlah anggota.[27]

  1. Konteks Gerakan Ekumene di Indonesia

Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional 2010 yang dimuat dalam Laporan Tahunan Kementerian Agama tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia tahun 2013, umat kristiani di Indonesia hanya berjumlah 9,87 % (Protestan: 6, 96 %; Katolik: 2, 91 %)![28]Walaupun berjumlah kecil, umat kristiani menyebar dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan ini juga menggarisbawahi bahwa keanekaragaman suku, budaya, pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan adalah ciri khas kekristenan di Indonesia. Selain itu, semakin berkembangnya banyak denominasi Protestan yang menyebar di setiap daerah juga menjadi tantangan ekumenisme di Indonesia. Ada juga denominasi atau persekutuan yang diberi nama berdasarkan suku atau tempat tertentu di mana gereja itu bertumbuh, misalnya Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB),  Gereja Kristen Kalimantan Barat (GKKB), GKI di Tanah Papua dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB).[29] Perbedaan budaya, suku, aturan-aturan jelas menjadi tantangan ketika denominasi-denominasi ini membangun kesatuan dengan umat kristiani lainnya di Indonesia.

Gerakan ekumene di Indonesia  sedang bertumbuh di tengah-tengah keanekaragaman. Ekumenisme  yang sedang bertumbuh  ini lebih merupakan usaha membangun kesatuan dalam tindakan, bukan dalam hal ajaran, aturan atau tata ibadat.[30]Penerjemahan Kitab Suci, aksi sosial bersama, perayaan Natal bersama, dialog ekumenis adalah beberapa kegiatan yang sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Kerja sama seperti ini lebih mudah diterima oleh banyak gereja daripada memperjuang kesatuan ajaran atau tata ibadat.[31]Kesatuan dalam ajaran atau peraturan tertentu masih merupakan perjuangan bersama.***

Referensi:
[1] Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Op. Cit., hal. 85.
[2] Ibid.
[3] Bdk. Georg Kirchberger, Op. Cit., hal. 134-135.
[4] Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Op. Cit., hal. 86.
[5] Ibid.
[6] Bdk. Georg Kirchberger, Op. Cit., hal. 137.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 59.
[10] Ibid., hal. 60.
[11] Ibid., hal. 138.
[12] Bdk. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (eds.), A History of Christianity in Indonesia, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2008, hal. 838.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia, diakses 2 Januari 2015. Bdk. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (eds.),Op. Cit., hal. 833.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 834.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hal. 835.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hal. 836.
[21] Ibid.
[22] Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Op. Cit., hal. 141.
[23] Ibid.
[24] Weinata Sairin (ed.), Lima Dokumen Keesaan Gereja, Keputusan Sidang Raya XII PGI, Jayapura, 21-30 Oktober 1994, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hal. 124.
[25] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia, diakses 19 Januari 2015.
[26] Bdk. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (eds.),Loc. Cit.
[27] Ibid.
[28] Bdk. Laporan Tahunan Kementerian Agama Tahun 2013, dalam https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&puslitbang1.kemenag.go.id%, diakses 9 Februari 2015.
[29] Bdk. http://st291735.sitekno.com/page/36179/daftar-anggota-pgi.html, diakses 5 Februari 2015.
[30] Bdk. Zakaria J. Ngelow, “Sejarah Singkat Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia,” dalam Henky C. Wijaya, dkk (eds.), Jalan Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 51-54.
[31] Ibid.

RP Lorens Gafur, SMM
RP Lorens Gafur, SMM
Imam Misionaris Serikat Maria Montfortan (SMM). Ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 17 Juni 2016 di Novisiat SMM - Ruteng - Flores - NTT. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Widya Sasana - Malang - Jawa Timur.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini