Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik suku, agama maupun budaya. Kemajemukan adalah keniscayaan sekaligus kekayaan yang amat bernilai. Tidak heran para founding fathers sejak awal berusaha menyatukan kemajemukan itu di bawah naungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
[postingan number=3 tag= ‘adven’]
Tidak ada seorang pun dari founding fathers yang berusaha untuk mengkotak-kotakkan sesuai dengan suku, agama maupun budaya. Bahkan tidak ada seorang pun ketika masa perjuangan membahas perbedaan suku, agama maupun budaya. Founding fathers malahan lebih maju dalam berpikir sehingga mereka berusaha menemukan titik persamaan yang ada di antara kemajemukan.
Salah satu persamaan yang ditemukan adalah senasib sepenanggungan dalam menghadapi penjajahan. Selain itu, tujuan akhir yang ingin didapatkan adalah kemerdekaan. Maka dengan sekuat tenaga mereka berjuang untuk melawan penjajah hingga titik darah penghabisan.
Spirit yang dimiliki oleh founding fathers inilah yang diwariskan kepada kita pada masa kini. Segala gagasan dan ide yang mereka miliki tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada konteks ini penulis lebih menyorot tentang Undang-Undang 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Setidaknya dari dua ayat itu, kita mengetahui bahwa Negara menjamin kebebasan beragama dan melindunginya. Oleh sebab itu tidak ada seorang pun entah penganut agama manapun berhak melarang penganut agama lain untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya. Namun, dalam kenyataannya ayat Undang-Undang 1945 pasal 29 yang telah diwariskan oleh founding fathers tidak terlaksana sesuai harapan. Tepatlah pepatah ini untuk menggambarkan kenyataan yang terjadi ‘jauh panggang dari api’.
Bagaimana tidak, baru-baru ini beredar berita diberbagai media bahwa seluruh umat Kristiani di sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dilarang menggelar ibadah atau perayaan Natal 25 Desember 2019. Beberapa sumber menulis bahwa pemerintah setempat tidak memberikan izin kepada umat Kristiani untuk merayakan Natal di tempat ibadah, melainkan perayaan hanya diadakan dirumah salah satu umat. Hal itu dilakukan untuk menjaga situasi agar tetap kondusif.
Pelarangan perayaan Natal ini telah terjadi sejak tahun 1985. Oleh sebab itu, umat Kristiani beribadah secara diam-diam di rumah salah seorang umat. Meskipun mereka telah mengajukan izin untuk merayakan Natal kepada pemerintah, namun pemerintah setempat tidak menghiraukan. Bahkan, meskipun mereka ada izin melakukan ibadah di rumah salah satu umat, namun pada awal tahun 2000 rumah tempat mereka ibadah dibakar oleh warga setempat.
Bila kita telusuri lebih jauh, larangan terhadap sekelompok orang untuk merayakan hari rayanya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama berkaitan dengan ‘kebebasan beragama’ yang dijamin oleh Negara. Negara dalam hal ini pemerintah terkait mempunyai tanggungjawab untuk melindungi setiap warga Negara yang menjalankan agama sesuai keyakinannya.
Jika hal ini tidak diperhatikan, maka sesungguhnya bangsa Indonesia sedang berada diambang kehancuran. Karena spirit founding fathers bangsa ini telah dibuang oleh sebagaian besar masyarakat. Kini yang muncul adalah sikap ego, angkuh, dan tidak hormat terhadap kemajemukan terutama kemajemukan agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebagaian orang tengah menentang sang Pencipta sebagai dari kemajemukan itu sendiri.*