Hati siapa yang tak terpana pada keindahan? Hati siapa yang tak berbunga-bunga tatkala bunga mawar mekar menebarkan kecantikannya? Hati siapa yang tak bersyukur tatkala sahabat sejatinya selalu tersenyum?
Ini tentang rasa hati. Berada di kamar ini adalah anugerah. Berbaring di atas kasur di kamar ini adalah hadiah terindah. Entah roh apa yang menggugat keasyikan belajarku di pagi yang cerah ini. Aku gelisah! Kursi dan meja tak kugunakan lagi. Aku tak mau belajar lagi. Sepertinya kasur yang lumayan empuk itu mengundangku untuk merebahkan diri atasnya. Tapi, mungkinkah aku tidur di kala sang surya baru saja nongol di ufuk Timur? Bukankah itu tanda kemalasanku? “Kalau tidur di pagi hari, kecuali karena sakit, itu adalah orang malas”. Inilah sepenggal celotehan mamaku dulu waktu aku masih di kampung. Yah…aku tidak sakit. Aku juga bukan orang malas. Apakah aku mengiakan undangan kasurku? Supaya dia tidak kecewa, aku perlu duduk sejenak di atasnya sambil bersandar di jendela, sejenak menoleh keluar menikmati indahnya bunga-bunga di taman.
***
Owh…Mawar merah yang sedang mekar. Betapa indahnya engkau di pagi yang cerah ini. Mengapa engkau bermekar di saat aku gundah gulana di kamar ini? Keindahanmu meluluhkan kegalauan hati ini. Tak sia-sia aku duduk di atas kasur ini sambil melirikmu yang tengah bersorak ria di tengah taman ini. Kemerah-merahan warnamu telah merakit keindahan di antara bunga-bunga lain. Hati ini juga turut berbunga-bunga menikmati keindahanmu. Sejenak aku termenung. Aku hening sejenak. Terlintas niat di benakku untuk memetik sekuntum mawar merah itu.
Untuk apa? Aku mau memberikannya kepada seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Hah…bukankah tak jamannya lagi memetik bunga di taman, lalu menghadiahkannya kepada sang pujaan hati? Bukankah di toko itu telah menyiapkan rangkaian bunga “mati” tapi indah? Entahlah… Aku akan memetiknya. Aku tak peduli apa kata orang. Mau dibilang kuno, out of date… it’s ok. Pokoknya aku harus meninggalkan kamar ini. Aku harus segera ke taman, mumpung mawar itu masih segar dan belum layu oleh terik sang surya.
Sungguh.. sekuntum mawar merah, indah nan semerbak ini telah ada dalam genggaman tanganku. Owh..gila…Mengapa rasa ini menggugatku untuk segera menyerahkan mawar ini kepada dia nun jauh di sana? Bukankah sekarang aku masih kuliah? Bukankah perjalanan ke sana membutuhkan waktu tiga hari dengan kapal laut? Apa jadinya dengan mawar ini: bukankah dia akan layu di tengah jalan? Ya…ya… ternyata aku terhanyut dalam rasa cinta yang mendalam. Hatiku tertambat pada sekuntum mawar ini serentak tertambat pada seseorang yang telah lama menjadi sahabat sejatiku. Apakah aku dibutakan oleh rasa hati ini? Bukan! Aku sedang meladeni rasa cintaku yang tak kuasa kubendung. Aku sedang mengaktualkan rasa cintaku pada apa dan siapa. Tanpa cinta aku tak mungkin ada. Tanpa cinta aku akan mati. Mencintai adalah kodratku! Hmm.. sekuntum mawar ini masih digenggamanku. Pergi meninggalkan tempat ini, rumah ini, kota ini, belum saatnya! Apa yang harus kulakukan?
***
Syukur…Aku telah menemukan jalan keluarnya! Aku disadarkan bahwa bunga Mawar itu adalah simbol keindahan realitas ilahi. Tepatnya, lambang kecantikan seorang wanita kudus yang telah berjasa dalam sejarah keselamatan umat manusia. Bunga mawar itu lambang kebeningan hati seorang perawan yang telah meletakkan seluruh hidupnya pada Allah. Bunga mawar ini lambang keindahan seorang wanita cantik yang telah berjasa dalam ziarah iman dan panggilanku.
Siapakah dia? Bunda Maria! Banyak umat katolik yang meletakkan mawar di kaki patung sang Bunda. Aku juga mau melakukannya sekarang. Ini penting dan bersejarah. Mengapa? Karena baru pertama kali saya mempersembahkan mawar kepada sang Ratu Surgawi itu. Kulangkahkan kakiku menuju Kapela yang hanya berjarak 20 meter dari taman bunga itu. Kubertelut di kaki Bunda! Aku berdoa.
“Bunda yang cantik, sekuntum mawar merah nan indah ini adalah mawar suka cita. Bukan mawar duka. Mawar ini lambang cintaku kepadamu. Ini kesempatan pertama dalam hidupku. Sekuntum mawar merah ini lambang keindahan-kebeningan hatiku yang mau menjadikan engkau sebagai bundaku selamanya. Bunda, mawar ini juga sesungguhnya hendak kuberikan kepada sahabat sejatiku nun jauh di sana. Jarak yang jauh menghalangiku untuk menyapa hatinya dengan sekuntum mawar merah ini. Ia telah menjadi sebuah keindahan penuh misteri yang membuatku masih tegar di jalan ini hingga saat ini. Dukungannya yang tak ternilai harganya telah mengajarkan aku tentang arti cinta sejati. Aku hanya minta, bawalah sekuntum mawar merah ini kepadanya. Ini mawar cintaku untuknya. Buatlah dia tersenyum bahagia di pagi ini sebagaimana aku bahagia di sini saat ini. Buatlah ia tersentak bahwa kebahagiaan hatinya itu tercipta karena ada mawar merah-menawan yang melintas di benaknya. Buatlah dia sadar, itulah sekuntum mawar merah yang pernah kujanjikan dulu untuk dihadiahkan kepadanya di hari Valentine. Bunda, terima kasih. Semoga persembahanku di pagi ini menyenangkan hatimu. Semoga engkau mendoakan aku dan dia kepada Putra-Mu agar selalu bahagia dalam mengarungi jalan hidup kami masing-masing. Akhirnya, semoga engkau tetap membawa sekuntum mawar merah ini untuk dia di pagi ini. Amin.”
Aku kembali ke kamarku. Aku termenung lagi dalam heningnya kamarku, merenungkan momen bersejarah yang baru kulewati di pagi ini. Beberapa saat kemudian, hati ini tergerak untuk mendengarkan lagu Maria kesukaanku. Judulnya sangat sesuai dengan keadaan hatiku di saat ini. “Kurangkai Mawar”. Aku ingat, lagu itu sudah terekam dengan baik dalam kepingan CD yang masih tersimpan rapi di lemariku. Tanpa menunda-nunda lagi, aku menghidupkan tapeku. Dengan iringan musik yang sendu nan menawan, syair lagu “kurangkai Mawar” melengkapi rajutan kisah kasihku bersama Sang Bunda di dalam kamar bisu ini.
Kurangkai mawar harum semerbak
Lambang kasihku padamu Bunda
Ave, Ave, Ave Maria
Doakan daku Bunda bermurah
Bimbing selalu jalan hidupku
Ave, Ave, Ave Maria
Dan bila tiba saat ajalku
Hantarkan aku kepada Yesus, Putramu
Ave, Ave, Ave Maria
Aku berharap, sekuntum mawar merah akan mekar lagi di taman ini. Aku berjanji untuk memetiknya lagi lalu menjadikan kado terindah bagi sahabat sejatiku, melalui Ratuku, Maria.
Malang, Oktober 2013
……………………………………………………
Tulisan kecil ini saya buat ketika saya masih seorang frater dan sedang belajar di STF Widya Sasana-Malang, Oktober 2013. Ya, lima tahun yang lalu! 🙂