Entah berapa lama aku tak membereskan kamarku ini sehingga ada banyak barang yang menumpuk. Pantas saja terasa sesak dan bau pengap. Rupanya barang-barang ini memang menjadi salah satu penyebab kondisi demikian.
[postingan number=3 tag= ‘kang-je’]
Mumpung sedang libur, segera kuniatkan untuk membereskan tempatku sembari melepas lelah sehabis seharian beraktivitas. Satu-satu tumpukan barang itu kuurai dan coba kupilah, mana yang masih layak dan atau sebaiknya dibuang saja. Kebanyakan memang berbentuk kertas, bungkusan barang, benda-benda kecil dan beberapa helai pakaian lama. Kalau pakaian, bisa kuserahkan ke ART atau supir kantor. Tapi, kalau barang-barang lainnya, rasanya harus segera kubuang. Nggak enak juga kalau harus melimpahkan barang itu kepada orang lain.
Dari banyak barang yang terpiilah itu, mataku terbelalak ketika melihat ada banyak salib terkumpul di sebuah kotak bekas minuman mineral. Walah … Dari mana saja ya kudapat salib dengan dan tidak bercorpus, Tau, Damiano dan Benediktus itu. Aku jadi terkagum-kagum sendiri atas tumpukan salib itu.
Lalu, mau diapakan barang-barang rohani itu?
“Punya barang pribadi kok nggak tahu darimana saja dapatnya tho …” Suara Kang Je terdengar sudah ada di sebelahku. Tangan-Nya mengambil salah satu salib yang masih membuatku berpikir, dapatnya dari mana atau dari siapa saja? “Coba diingat lagi dari mana ini didapat? Bagaimana bisa ada di sini? Apakah sudah diberkati?”
Deg.
Begitu Kang Je menyebut kalimat terakhir, saya lebih terkejut.
Astaga.
Semua itu kan memang sudah diberkati dengan ceritanya masing-masing. Terkumpul di sana terutama karena perpindahan beberapa kali. Ingatanku mulai pulih atas awal keberadaan salib-salib itu. Segera kuambil salib-salib itu dari kerdus kecek yang nyaris hancur karena lembab dan menciumnya satu-satu.
Oh, God … Please …. Forgive me ….
“Tidak usah lebay gitu ah … Salib yang sudah diberkati itu memang seharusnya tidak kamu taruh di tempat yang tak pantas. Kita kan percaya bahwa barang-barang yang diberkati adalah barang yang harus dijaga keberadaan dan penempatannya.” Kang Je membantu mengambilkan sebuah kardus baru lalu Ia beri alas sebuah handuk dari lemari dekat barangku yang sudah banyak bergeletakan di kamar ini.
“Letakkan di sini dulu sembari mencari tempat yang layak buat menaruhnya atau berikan saja kepada yang membutuhkan.” Aku mengangguk sembari ikut mencari tempat yang layak untuk penyimpanan sementara salib-salib itu.
Sembari terus membereskan, beberapa kali telingaku mendengar bunyi notifikasi kabar di HP. Awalnya tak kugubris. Lama-lama kok banyak ya … Penasaran juga ada berita apa yang dikirimkan, sampai sedemikian banyak bunyi itu terdengar.
Dari semua notif yang masuk, aku sangat tertarik membuka WAG yang notifnya memang lebih banyak dari yang lain. Rupanya di sana sedang ada perbincangan hangat tentang berita seorang pemuka agama berbicara tentang salib di mimbar interennya.
“Huh! Beraninya bapak ini membicarakan tentang salib. Padahal dia nggak tahu apa-apa tentang arti salib itu,” aku terpancing emosi.
“Ada apa sih? Tiba-tiba marah?” tanya Kang Je. Ia sedikit menggeserkan tubuh untuk turut membaca pesan-pesan di WAG yang sedang kubaca. “Ooo … Tentang itu. Kirain tentang apa …”
Atas reaksi-Nya yang kalem begitu, aku meliriknya tajam. “Engkau tidak marah, salib-Mu dihina begini? Emang dia siapa sih berani-beraninya ngomongin hal yang belum tentu dia pahami?”
“Hey … Selow … Woles aja atuh …” Kang Je menepuk bahuku seperti menenangkan emosiku yang mulai terus menaik. “Kalau soal beginian kamu bawa amarah, malah bisa kacau loh …”
“Iya … Tapi kan …”
“Gini … Gini …. Coba lihat dengan kepala jernih dulu. Dia ngomong itu sebenarnya di mana? Di tempat terbuka atau tertutup?”
“Katanya di depan jemaahnya.”
“Oke. Berarti tempat tertutup. Lalu, kapan kejadiannya?”
“Mmm … Katanya sudah tiga tahun lalu.”
“Waduh … Sudah lama pula. Ngapain juga barang lama diatarik lagi …”
“Nah, itu … Baru ketahuan sekarang jadinya …”
“Anak-Ku …,” kembali Kang Je menepuk bahuku. “Bapa-Ku memberi kalian, anak-anak-Nya, akal budi dan kebijakan untuk melihat segala sesuatu dengan baik. Di zaman sekarang, akal budi dan kebijakan itu semestinya sangat berguna untuk memilah segala hal yang kian banyak berseliweran di medsos …”
“Bahwa itu menyakitkan kalian, Aku bisa paham. Tetapi, kalian juga punya akal budi dan kebijakan untuk meredamnya. Buatlah konten lain yang mengkonter dengan lebih baik dan menyejukkan serta tidak jadi ikut menyebarkannya karena dengan demikian isu ini akan mereda dengan sendirinya.”
“Tapi, itu tentang salib-Mu, Kang. Salib-Mu yang melambangkan keselamatan kami umat manusia. Masa kami diam saja ketika melihat salib-Mu dipermainkan seperti itu?”
Kang Je melangkah sejenak ke arah kardus yang tadi berisi salib-salib. “Mengapa kamu begitu emosinya terhadap salib-Ku, sementara salib-salib yang Kutitipkan ini malah kamu sia-siakan?” Kang Je mengangkat kardus berisi banyak salib itu lalu menundukkan kepala-Nya.
Makdeg.
“Apa kamu membela salib itu hanya karena sudah viral dan terlihat? Bagaimana dengan salib-salib tadi dan yang ada di …,” Kang Je maju ke depan sambil menepuk dadaku pelan. Persis di tengah, “Salib yang ada di dalam dirimu, anak-Ku. Pernahkah kamu demikian bela ketika suatu saat mungkin goyah bahkan oleng karena terjangan banyak hal terutama oleh dirimu sendiri?”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sungguh. Seseorang yang sebenarnya tak pernah jauh dariku ini bisa saja membiarkanku terbawa emosi atau suasana. Tapi, nyatanya, Dia malah menenangkan bahkan lebih menguatkanku atas segala peristiwa itu.
“Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar daripada itu. Karena itu Ia katakan: Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak. 4:6)
“Teruslah belajar rendah hati seperti yang sudah Kuajarkan kepadamu. Kuasailah emosimu. Segala perkara dunia ini hanyalah ujian untuk mencapai keselamatan abadimu bersama Aku dan Bapa-Ku.”
Aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Kamar yang masih berantakan ini seperti benar-benar tak bisa kusentuh lagi sebab badanku kaku, bibirku kelu, tetapi bagian hati terdalamku tersentuh. Sungguh Kau adalah yang paling mampu melakukannya.
“Aku mau beli jus dulu nih … Mau nitip nggak?” suara Kang Je menyadarkanku. Entah kenapa kepalaku malah menggeleng ditawari begitu. Nggak biasanya. “Jus jeruk, es banyak tanpa gula aja seperti biasa ya … Biar kepalamu adem lagi …” Kuanggukkan kepala saja deh sambil membiarkan dia berlalu.
“Eh iya …, “ Kang Je menangguhkan langkah-Nya, “Kamu tahu nggak, sebenarnya apa sih yang dilakukan oleh orang-orang itu sebelum menyalib Aku?”
Ditanya dadakan itu, membuatku tak kalah terkejutnya. Spontan kugelengkan kepala. “Nggak tahu, Kang …”
“Sebelum Aku disalib, mereka mengklakson Aku dulu dong …”
Antara ingin tertawa dan mikir juga setelah Ia bener berlalu dengan santainya. Seperti tidak meninggalkan cerita receh barusan. Krik-krik-krik …
Love You always, Kang ….
(Terik 20 Agustus 2019)