3.4 C
New York
Tuesday, March 19, 2024

Pembatalan Perkawinan dalam Gereja Katolik: Tidak Sama dengan Perceraian

Beberapa hari ini viral pemberitaan di media mengenai pernikahan artis Delon dengan istri barunya. Banyak orang beranggapan bahwa Gereja Katolik sudah membuat aturan baru; ada juga yang mengatakan bahwa karena dia artis sehingga diperbolehkan, dan sebagainya. Apalagi, Detik.com, media yang membuat berita pernikahan itu, memberikan judul yang luar biasa heboh: “Cerai Belum Setahun Nikah Lagi, Delon Dapat Dispensasi Gereja Katolik“. Munculnya kata ‘dispensasi’ di situ menimbulkan banyak tanda tanya. Benarkah orang yang bercerai bisa diberikan dispensasi untuk menikah lagi secara sah di Gereja Katolik?

Perlu diketahui bahwa hukum Gereja menegaskan bahwa TIDAK ADA kata ‘CERAI’ di dalam Gereja Katolik. Orang Katolik menikah hanya sekali saja, dan pernikahan itu berlaku untuk seumur hidup. Ajaran ini jelas mempunyai dasar di dalam Kitab Suci.

[postingan number=3 tag= ‘perkawinan-katolik’]

Ketika orang-orang Farisi mempertanyakan perihal perceraian kepada Yesus, Ia menjawab: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:3-6).

Berdasarkan ajaran ini, orang-orang Katolik yakin bahwa ketika seorang laki-laki yang dibaptis Kristiani secara sukarela menikahi seorang perempuan yang dibaptis Kristiani, mereka membentuk suatu ikatan sakramental yang tak terceraikan.

Ikatan sakramental yang tak terceraikan ini dinyatakan dalam Janji Perkawinan yang saling mereka ikrarkan, “Di hadapan Romo, para saksi, saya BUDI menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa MAWAR yang hadir di sini, mulai sekarang menjadi isteri (suami) saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil suci ini” (Ritus Perkawinan).

Hukum Gereja (Kan. 1141) mengajarkan bahwa ‘perkawinan ratum (secara formal adanya janji perkawinan oleh dua orang dibaptis di depan iman dan para saksi) dan consumatum (adanya hubungan badan) tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, kecuali oleh kematian.

TETAPI, bagaimana dengan pasangan yang tidak mampu mempertahankan bahtera rumah tangganya, apakah mereka tidak akan pernah lagi bisa menikah secara sah di dalam Gereja Katolik?

Secara singkat bisa dikatakan bahwa masih ada KEMUNGKINAN bagi pasangan yang tidak mampu mempertahankan bahtera rumah tangganya untuk menikah lagi secara sah di dalam Gereja Katolik. Misalnya, setelah bubar, pasangannya meninggal dunia. Itu berarti bahwa ikatan perkawinannya dengan sendirinya terputus. Tetapi bukan hanya itu. Sekalipun mantan pasangannya masih hidup pun tetap juga ada kemungkinan.

Bagaimana caranya? Apakah lewat dispensasi, seperti dalam pemberitaan itu? Saya sendiri tidak tahu persis apa yang dimaksudkan dengan penggunaan istilah ‘dispensasi’ dalam pemberitaan di media itu. Tetapi yang pasti, meskipun Gereja Katolik sangat menentang adanya perceraian, Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanoniknya mengenal istilah ‘pembatalan’ perkawinan kanonik atau nullitas matrimonii.

Dalam konteks studi Hukum Gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu TIDAK SAH sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan. Sebab itu, meskipun sebuah perkawinan secara kanonik telah dilangsungkan, namun dalam perkembangan selanjutnya bisa ditinjau kembali apabila ada pihak-pihak tertentu yang menggugat dengan mengemukakan adanya halangan-halangan perkawinan.

Dengan demikian, yang diselidiki dalam ‘perkara-perkara tidak sahnya perkawinan’ adalah halangan-halangan tertentu yang menyebabkan sebuah perkawinan itu secara Katolik dianggap tidak sah sehingga bisa dibatalkan. Kalau begitu, bukankah ini sama saja dengan perceraian? Mungkin proses perkara perkawinan seperti ini terkesan sama saja dengan mendukung perceraian suami-isteri. Namun jika dipahami betul, maka logika perceraiandan pembatalan perkawinan itu sungguh berbeda.

Pada dasarnya istilahperceraianmengandung pengertian bahwa otoritas yang menceraikan perkawinan sekadar memenuhi prosedur hukum yang sudah ditetapkan untuk menyatakan fakta bahwa relasi suami-isteri sudah retak, pecah dan bubar, serta tidak mungkin dipersatukan kembali. Sedangkan dalam Gereja Katolik, proses ‘pembatalan’ perkawinan hanya bisa dilakukan apabila sudah melalui proses penyelidikan oleh tribunal Gerejawi; dan ditemukan kebenaran obyektif bahwa perkawinan itu telah diteguhkan secara tidak sah, misalnya karena ada cacat kesepakatan, dan lain-lain.

Dengan demikian, logika ‘pembatalan’ perkawinan kanonik adalah perkawinan itu terbukti tidak sah dari dalam dirinya sendiri, dan hakim sekadar membuat putusan deklaratif yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang tidak sah sejak semula atas dasar cacat hukum tertentu. Berdasarkan deklarasi pembatalan (declaratio nullitatis) tersebut, tribunal Gerejawi menegaskan kebenaran substansial mengenai ‘awal’ perkawinan yang sudah dilangsungkan secara tidak sah, bukan mengenai ‘akhir’ perkawinan ketika suami-isteri berselisih, ‘pisah ranjang’, dan akhirnya bercerai.

Contoh kasus perceraian: A dan B menikah. Hubungan keduanya mula-mula akur, tetapi berubah setelah muncul orang ketiga, yaitu C. Maka, keduanya menjadi berselisih paham, ‘pisah ranjang’, dan akhirnya salah satu dari keduanya menggugat cerai sipil. Gugatannya dikabulkan karena memang negara tidak melarang perceraian.

Nah, itu contoh perceraian. Penyebabnya, orang ketiga. Yang seperti ini jika diajukan ke tribunal Gereja, jelas tidak bisa dikabulkan; sebab dalam Gereja Katolik tidak ada kata cerai. Lalu, bagaimana contoh pembatalan?

Contoh kasus pembatalan: Seorang perempuan, sebut saja namanya Mawar, sudah 3 bulan menikah. Ia menikahi suaminya karena dipaksa oleh orang tuanya. Orang tuanya memaksa Mawar untuk menikah dengan pria yang sekarang menjadi suaminya itu karena tergiur oleh kekayaannya. Seandainya Mawar menyampaikan sebenar-benarnya apa yang dialaminya itu pada waktu penelitian kanonik, maka pernikahan yang dijalaninya itu tidak pernah terjadi; sebab salah satu halangan dalam pernikahan adalah kalau pasangan itu merasa terpaksa. Tetapi, mungkin karena takut terhadap orang tuanya, maka ketika penilitian kanonik, Mawar menyembunyikan apa yang dialaminya itu; dan tetaplah dilangsungkan pernikahan mereka. Tetapi sekarang Mawar sudah sadar, mungkin karena sudah tidak akur juga, sehingga dia mengajukan pembatalan ke tribunal Gereja.

Maka, jika tribunal Gerejawi telah menyelidiki dan menemukan kenyataan bahwa Mawar benar-benar terbukti dipaksa menikah, pernikahannya itu bisa dibatalkan. Itulah pembatalan, beda dengan perceraian. Dalam kasus Mawar, perkawinan yang terjadi bukan berdasarkan pilihan bebasnya, melainkan karena paksaan dari orang tua. Padahal, mengenai kodrat fundamental perkawinan dalam kanon 1055 dijelaskan bahwa perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian berdasarkan pilihan bebas dari suami-isteri.

Siapa yang berwenang menganulir sebuah perkawinan?  Pengadilan Gereja atau Tribunal Gereja. Jika di sebuah Keuskupan belum memiliki Tribunal Gereja, maka kewenangan ini langsung melekat pada Uskup. Siapa yang dapat mengajukan pembatalan? Bisa dilakukan oleh salah satu dari pasangan, bisa juga oleh dua-duanya. Pengajuan pembatalan ini dibuat hanya kalau perkawinan itu sudah nyata-nyata bubar dan tidak mungkin didamaikan kembali. Jangan sampai masih satu rumah dan akur, lalu datang untuk mengajukan pembatalan.

Prosedurnya adalah: pihak yang ingin melaporkan menuliskan terlebih dahulu riwayat rumah tangganya  dengan mantan pasangannya, mulai dari awal mereka bertemu sampai terakhir mereka bersama. Setelah itu, temui pastor paroki dan ungkapkan keinginan untuk pembatalan kepada pastor paroki sembari menyerahkan apa yang sudah ditulis tadi. Nanti dari tulisan itulah akan dilihat kanon mana yang membatalkan perkawinan itu. Itu yang nanti akan diajukan ke Tribunal Gereja.

Jangan dikira bahwa semua perkawinan yang bubar bisa dibatalkan sehingga berpikir “Baiklah, jika ini tidak cocok, aku akan dapat selalu membatalkannya.” Hanya perkawinan yang jelas-jelas dari awal dilangsungkan secara tidak sah-lah yang bisa dibatalkan. Jangan juga berpikir bahwa proses pembatalan perkawinan hanya sekedar suatu permainan yang membebani, stempel sana sini, pergi dari satu meja ke meja lainnya, yang pada akhirnya menghantar orang pada kepastian mendapatkan pembatalan perkawinan. Tidak ada jaminan yang demikian. Yang terbukti tidak sah dari awal, bisa dibatalkan. Yang nyata-nyata sah, tidak bisa dibatalkan.

*** dari berbagai sumber

avatar
Jufri Kano, CICM
Terlahir sebagai 'anak pantai', tapi memilih - bukan menjadi penjala ikan - melainkan 'penjala manusia' karena bermimpi mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta & Maryhill School of Theology, Manila - Philippines. Moto tahbisan: "Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga" (Luk. 5:5). Penulis dapat dihubungi via email: jufri_kano@jalapress.com.

Artikel Terkait

1 COMMENT

Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Agustinus Iryanto
Agustinus Iryanto
1 year ago

Shalom Pater Jufri Kano CICM.
Dari uraian Pater di atas berarti pihak yg dikhianati oleh perselingkuhan/ perzinahan hanya bisa pasrah memendam sakit hati sampai mati?
Karena tidak ada perceraian/ pembatalan perkawinan jika kasusnya muncul bukan dari permulaan perkawinan.

Mungkin akan sangat berat menjalani hidup seperti itu. Saya melihat beberapa situasi tersebut (jika tidak disebut banyak). Berpura-pura tidak ada masalah dalam rumah tangga demi menjaga martabat perkawinan katolik seperti kutipan Injil menurut Matius 19:3-6.

Bagaimana tanggapan Pater dengan sabda Yesus? : Matius 5:32 (TB) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
https://alkitab.app/v/177d332dc9d7

(menurut saya kata ” isteri” dalam terjemahan KS agak bias gender karena budaya paternalistik, karena suami bisa dalam posisi yang berzinah).
Kutipan tersebut membolehkan perceraian karena perzinahan, padahal dalam contoh Pater, A nikah dengan B, tapi muncul C lalu A berhubungan badan dengan C. B tidak bisa membatalkan pernikahan katoliknya sesuai KHK, bukan?

Untuk kasus Delon mewakili kondisi yang mana Pater?

Terimakasih jika Pater berkenan membahasnya di sini.

Shalom.

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini