Ketika kita berbicara soal perkawinan, itu berarti kita berbicara mengenai KOMITMEN. Komitmen untuk apa? Tidak lain adalah komitmen dari seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami-istri.
[postingan number=3 tag= ‘perkawinan-katolik’]
Tanda dari komitmen itu diungkapkan dengan sangat baik di dalam bacaan Injil Mrk. 10:6-9, yaitu bahwa ‘laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, demikian juga sebaliknya, wanita meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan suaminya’ (Mrk. 10:7). Adanya komitmen itu membuat mereka ‘menjadi satu daging’ sehingga ‘mereka bukan lagi dua melainkan satu’ (Mrk. 10:8).
Ketika kita mengatakan bahwa mereka ‘menjadi satu daging’, itu artinya mereka saling merasakan apa yang dirasakan oleh pasangannya. Apa yang dirasakan oleh suami, dirasakan oleh istri, demikian juga sebaliknya, apa yang dirasakan oleh istri dirasakan oleh suami. Kalau suami senang, istri ikut senang. Ketika istri sedih, suami juga ikut sedih.
Komitmen untuk hidup bersama sebagai suami-istri yang sudah dikukuhkan di depan altar Tuhan hanya terjadi sekali untuk selamanya. Jadi, hanya maut yang mampu memisahkannya. ‘Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia’ [Mrk. 10:9].
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa perkawinan Katolik itu tak terceraikan. Tidak ada kata ‘coba-coba’ dalam perkawinan Katolik. Orang Katolik menikah hanya sekali; dan pernikahan itu berlaku seumur hidup.
Perkawinan Katolik tidak sama seperti apa yang kita lihat di sinetron. Dalam sinetron, kawin-cerai itu biasa. Tetapi tidak demikian dengan perkawinan Katolik. Setiap orang Katolik yang sudah menikah dituntut untuk setia terhadap pasangannya sampai maut memisahkan.
Bagaimana caranya agar pasangan suami-istri itu bisa mempertahankan hidup rumah tangga dengan baik? Dalam 1 Petrus 3:1-9 disebutkan tiga cara. Pertama, dari pihak istri diminta untuk tunduk kepada suami. “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.”
Kedua, dari pihak suami diminta supaya bersikap bijaksana terhadap istri. “Hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang”. Jangan hanya meminta supaya istri tunduk kepada suami, tetapi suami juga sudah seharusnya menunjukkan sikap yang bijaksana terhadap istri. Hormatilah istrimu! Jangan seenaknya membuat keputusan sendiri. Ketika merencanakan sesuatu, ajaklah istrimu berbicara.
Ketiga, suami-istri haruslah seia-sekata. Jangan jalan sendiri-sendiri. Dalam untung dan malang, haruslah selalu bersama-sama. “Hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat”.
Kalau ketiga hal itu bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka yakinlah rumah tangga akan bahagia dan langgeng sampai kakek-nenek. Yang terpenting, jangan lupa mengandalkan campur tangan Tuhan di dalamnya. Tuhan yang sudah menyatukan suami-istri, Dia jugalah yang akan memberkatinya.
Bukankah Perkawinan Katolik BISA JUGA TERCERAIKAN??? bukan saja oleh orang lain, tetapi juga oleh mereka sendiri sebagai suami dan istri
(1) Perkawinan Katolik itu ‘kan harus “RATUM et CONSUMATUM” … Ratum diandaikan sudah ada sejak perkawinan itu adalah perkawinan sakramental di dalam Gereja Katolik. Tapi RATUM belum tentu CONSUMATUM… Di sinilah, perkawinan katolik bisa terceraikan, karena sangat bisa jadi kedua suami-istri tidak saling “MEMBERI DIRI” oleh sebab adanya kelemahan pada salah satu pihak.
(2) Perkawinan Katolik berkemungkinan “bisa terceraikan” oleh karena salah satu pihak setelah RATUM-nya perkawinan tidak BERTANGGUNG JAWAB ATAS KELANGSUNGAN HIDUP KELUARGA atau secara tiba-tiba TANPA ALASAN YANG JELAS meninggalkan rumah hingga bertahun-tahun. Dalam hal ini, pihak yang ditinggalkan berHAK meminta “pembatalan perkawinannya secara sakramental kepada KUASA GEREJA” agar dia berkemungkinan menikah lagi dengan orang lain.
(3) Perkawinan Katolik berkemungkinan “bisa terceraikan” karena salah satu pihak terus menerus tidak menjunjung tinggi KESUCIAN PERKAWINAN dengan perbuatan ZINA, misalnya SELINGKUH, kendatipun sudah ditegur, dinasihati, dll upaya pastoral keluarga. Atau salah satu pihak secara rahasia sudah memiliki suami atau istri di tempat lain…punya simpanan. Ini ada banyak contoh. Kendatipun sebelum perkawinan ada KANONIK, namun KANONIK tidak sampai menemukan praktik tersebut.
Demikian komentar saya.
Syalom
@malibenyaminmichael:disqus