Setiap kali Natal tiba, gereja penuh. Panitia Natal harus memasang tenda karena umat sampai di luar gereja. Kursi tempat duduk umat mesti ditambah. Umat yang jarang ke gereja pun tergerak hatinya untuk ikut perayaan Natal. Bahkan, ada umat yang mau datang berjam-jam sebelum waktu Misa Natal agar mendapat kursi di dalam gereja. Tidak hanya itu, hampir semua mall memasang ornamen dan dekorasi Natal. Banyak umat saling berbagi kado dan kue Natal. Pendeknya, suasana Natal terasa di mana-mana. Natal disambut dengan gembira dan persaudaraan!
[postingan number=3 tag= ‘natal’]
Ada juga fenomena lain. Beberapa tahun terakhir, menjelang Natal terjadi silang pendapat apakah boleh dan tidak boleh umat lain menyampaikan “Selamat Natal” kepada umat Nasrani. Ironisnya mereka yang melarang ucapan Natal bependidikan tinggi, bahkan “tokoh” agama. Ada pihak yang begitu bersuka-cita menyambut kelahiran Yesus. Tetapi, masih ada juga yang begitu benci. Fenomena itu bukan hal baru. Dalam Matius 2: 1-12, Raja Herodes tidak gembira mendengar kabar kelahiran Yesus. Herodes dikuasai amarah kebencian, maka ia hendak membunuh Yesus, sang Mesias itu. Dari mana kebencian itu? Yang pasti bukan dari Allah, tapi dari sijahat! Dari kuasa gelap. Tetapi, tak usah takut dengan fenomena itu. Tak usah juga juga menghakimi mereka yang benci Natal. Mengampuni mereka merupakan jalan kerendahan hati, sumber kekuatan umat Kristiani. Jangan ragu dan surut langkahmu menyambut kelahiran Yesus. Kita perlu belajar dari orang-orang Majus. Kebencian dan ancaman yang dilancarkan Herodes, tak menyurutkan langkah orang-orang Majus menemui Sang Mesias. Fenomena menggemberikan dan menggelisahkan menyambut Natal menjadi salah satu tanda bahwa Natal merupakan perayaan yang sangat fundamental dan istimewa bagi umat beriman Kristiani.
Saudara-Saudari terkasih, mengapa Natal istimewa dan fundamental dalam iman kita? Jawabannya dapat kita temukan dalam bacaan-bacaan liturgis malam ini. Dalam Bacaan I (Yes 9: 1-6), Nabi Yesaya menyatakan bahwa “seorang Anak telah lahir bagi kita, seorang Putra telah diberikan kepada kita […] Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. Sosok Anak di sini adalah Yesus sendiri. Tidak hanya itu Yesaya memberitakan dampak luar biasa dari kelahiran Anak itu: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar, terang telah bersinar atas mereka yang diam di negeri kekelaman. Engkau, ya Tuhan, telah banyak menimbulkan sorak-sorai dan sukacita yang besar”. Natal menjadi istimewa bagi kita jika kita mampu melihat dan berjalan dalam terang: keadilan, kebenaran dan kedamaian. Penindasan akan reda jika semakin banyak orang yang berlaku adil, menegakkan kebenaran dan menjadi juru damai. Dari bacaan ini, umat Kristiani di manapun berada mesti berjuang menyebarkan kedamaian, merajut persahabatan yang terkoyak oleh kebencian dan keegoisan manusia.
Dalam Bacaan II (Tit 2: 11-14) kita semakin dikuatkan imannya karena dalam diri Yesus Kristus yang lahir itu, “nyata kasih Allah yang menyelamatkan semua manusia”. Melalui kelahiran Yesus ke dunia, Allah menyatakan cintaNya kepada kita: menyelamatkan kita. Maka, Allah berusaha agar kita mengenalNya. Salah satu usaha Allah adalah mendekatkan diriNya kepada manusia, mau bersama dan menyertai kita. Melalui kelahiran Yesus ke dunia, Allah mau terlibat dalam perkara umatNya. Kedatangan Yesus ke dunia, penuh tantangan. Hanya sebagian kecil umat menerimaNya. Sebagian lainnya malah membenci, menghina, menyalibkan dan membunuhNya. Yesus berani menanggung semua risiko itu. Ia tak mundur selangkahpun untuk setia pada kehendak BapaNya.
Hal yang sangat penting dalam Bacaan II adalah “Kasih karunia itu mendidik kita agar meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi, dan agar kita hidup bijaksana, adil dan beribadah, di dunia sekarang ini, sambil menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia, dan pe-nyataan kemuliaan Allah yang mahabesar dan Penyelamat kita Yesus Kristus”. Dengan kata lain, pernyataan kasih Allah melalui kelahiran Yesus Kristus menjadi berarti bagi kita jika kita mau dididik oleh Kristus sendiri yang adalah KASIH. Umat yang sudah lulus dari didikan KASIH, tidak akan tunduk pada kefasikan, dan keiginan daging. Umat yang membiarkan dirinya dituntun oleh KASIH, kedalaman rohaninya menuntunnya untuk mencintai siapapun (sesama dan musuh) dengan aksi nyata dan bijaksana.
Sebaliknya, mereka yang tidak dituntun oleh kasih, oleh Allah Tritunggal, hidupnya dikuasai roh jahat dan kebencian. Akibatnya, hal yang baikpun dianggap salah. Hal yang salah dianggap kebenaran. Saudara sebangsa dikafir-kafirkan! Merasa terganggu karena ada umat beribadat kepada Allah. Tak heran jika orang yang dihantui roh jahat dan kedagingan manusiawi, menganggap perayaan Natal sebagai tindakan yang tidak beriman kepada Allah. Saudara-saudari, dalam diri kita telah diberi pengetahuan oleh sang Khalik. Maka, orang tak beragamapun, termasuk nenek moyang kita zaman dulu, memiliki ketajaman nurani untuk mencintai dan memelihara martabat manusia. Kita yang beragama kini, mestinya, lebih mencintai manusia, kreatif merajut persaudaraan. Jika kitab agama kita sungguh diilhami oleh Roh Kudus, sungguh Sabda Allah, maka buahnya sesuai kehendak Allah, ya itu damai, pengampunan, persaudaraan, dst. Bukan kebencian!
Saudara-Saudari terkasih, dalam bacaan Injil, kita sadar bahwa Yesus lahir sangat sederhana, di tempat yang dapat dijangkau oleh masyarakat umum. Ini simbol kerendahan hati Allah mendekati manusia. Tuhan Yesus tidak lahir di istana Raja yang dijaga ketat oleh tentara, yang hanya dapat dikunjungi oleh orang-orang tertentu, yang punya jabatan. Tidak! Yesus lahir di “stasiun” di mana rombongan manusia tidur bersama kuda-kuda mereka! Yesus lahir saat Yusuf dan Maria sedang mengikuti perintah Kaisar Agustus agar semua warga mendaftarkan dirinya di kampung halaman leluhur mereka. Kampung leluhur Yusuf adalah Betlehem. Maka Yusuf berangkat dari Nazaret ke Betlehem (Yudea) untuk mendaftarkan diri bersama Maria tunangannya. Anda sudah bisa menebak, saat itu kampung Betlehem pasti dipenuhi banyak orang. Tempat penginapan penuh. Maka ketika Maria melahirkan, tak ada lagi tempat penginapan. Maria akhirnya melahirkan di tempat di mana berkumpul banyak orang yang membawa serta kuda dan hewan tunggangan mereka. Wajarlah jika di situ ada palungan tempat makan bagi kuda tunggangan. Jadi, bayangannya begini: Yesus lahir di tempat istirahat, semacam stasiun titik kumpul rombongan karavan.
Apakah Yesus “kebetulan” lahir saat Yusuf dan Maria mengikuti perintah Kaisar Agustus? Tentu tidak. Ada rencana Ilahi di dalamnya. Yesus lahir di Betlehem, di tempat umum, agar Yesus dapat menyapa dan disapa oleh sebanyak mungkin orang. Tidak heran jika akhirnya para gembala tidak sulit menemukan tempat kelahiran Yesus dan menyembah sang Bayi (Yesus) dengan persembahan berharga zaman itu: emas, kemenyan dan mur.
Peristiwa kelahiran Yesus di Betlehem hendak menunjukkan bahwa Yesus lahir untuk semua orang, Ia mau bersahabat kepada siapapun. Pesan semacam ini yang ditegaskan juga dalam tema Pesan Natal bersama KWI dan KWI: “Hiduplah sebagai sahabat bagi semua orang” (bdk. Yohanes 15:14-15). Yesus yang lahir adalah Raja Damai. Ia datang ke dunia bukan untuk menghakimi manusia, tetapi merobohkan tembok pemisah, yakni perseteruan (Ef 2: 14) yang memecah belah umat manusia.
Saudara-Saudari terkasih, kita telah menerima Kristus saat kita dibaptis. Saat itu pula kita diangkat menjadi anak-anak Allah, kita disaturagakan dengan Kristus. Tapi apakah kita telah berjuang mati-matian menghidupi ajaran Kristus? Apakah kita setia sebagai pengikut Kristus? Apakah kita telah menjadi juru damai?
Jika hari ini kita datang ke sini merayakan kelahiran Yesus Kristus, sebenarnya kita juga sedang bersyukur bahwa kita telah berjuang setia mengikuti pesan yang dibawa Yesus: juru damai, berlaku bijaksana, kita mau bersahabat kepada semua orang, kita umat yang tidak tunduk pada kefasikan dan keinginan daging. Jika hari ini kita merayakan kelahiran Yesus dari keluarga kudus Yusuf dan Maria, sebenarnya para keluarga Kristiani sedang merayakan bahwa sosok yang mempersatukan mereka sehingga setia satu sama lain adalah Yesus sendiri.
Jika hari ini, kaum muda-mudi dan anak-anak merayakan kelahiran Yesus, sesungguhnya kalian sedang bersyukur bahwa Anda sudah dididik oleh Papa-Mama yang berjuang keras agar kalian bertumbuh dalam iman, terbiasa mengampuni dan berdamai karena kalian pun mengalami dan melihat Papa-Mama Anda saling memaafkan!
Tapi, jika keluarga yang hadir di sini sedang mengalami kesulitan hidup, anak-anak mengalami Papa-Mama yang broken home, kalian sedang disapa oleh Yesus yang mengalami penderitaan jauh lebih besar. Yesus disalib, bukan karena Ia berdosa, tetapi karena Ia mau menebus dosa umatNya. Ingatlah, betapapun beratnya derita yang ditanggung Yesus, Ia tetap setia kepada BapaNya. Kitapun hendaknya demikian. Betapapun getirnya hidup, betapa menderitanya batin kita, betapa menganganya luka batin kita, kita diundang untuk tetap setia pada iman akan Yesus itu. Yesus yang lahir itu Immanuel, Allah menyertai kita. Selamat Natal. Tuhan Yesus menyartai kita!
Bandung, 23 Desember 2019
Homili Malam Natal, 24 Desember 2019
Oleh Pastor Postinus Gulö, OSC
Tulisan ini telah dimuat dalam https://postinus.wordpress.com/2019/12/23/homili-malam-natal-24-desember-2019/