Sejak dua hari yang lalu (19 Desember), saya berada di sini, Rumah Retret Putri Karmel, Wae Lengkas – Ruteng – Flores. Saya menemani 51 seminaris (calon imam) kelas XII dari Seminari Menengah St. Yohanes Paulus II (SYP II) – Labuan Bajo yang sedang mengikuti retret penegasan panggilan. Para seminaris ini sebentar lagi akan menyelesaikan formasi di seminari menengah dan melanjutkan formasi di seminari tinggi. Sebelum itu, mereka perlu dibantu menegaskan panggilannya, termasuk memilih diosesan atau ordo atau kongregasi tertentu tempat mereka melanjutkan formasi. Harapannya mereka memilih dengan bebas, tanpa paksaan/intimidasi pihak tertentu dan yang tak kalah penting adalah memilih dengan penuh sukacita. Karena itu, para seminaris diminta agar serius mengikuti retret panggilan ini.
Retret ini dipandu oleh Para Suster Putri Karmel. Saya sendiri bertugas memimpin Ekaristi, Adorasi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan tugas imamat. Retret ini akan berakhir esok pagi, 22 Desember 2018.
Apa yang dialami oleh para seminaris di tempat ini? Mereka diminta membuka diri bagi tuntunan Roh Kudus. Keterbukaan ini membantu mereka untuk menyadari panggilan hidup yang sudah mulai dijalani selama ini. Kesadaran itu, antara lain, mereka semakin yakin bahwa Allahlah yang pertama-tama memanggil mereka untuk mulai mengambil bagian dalam karya-Nya mewartakan kabar sukacita bagi dunia. Prakarsa-inisiatif Allah ini telah mulai ditanggapi, sekurang-kurangnya ketika mereka mau dan bersedia dibina di seminari menengah selama hampir empat tahun. Jadi, panggilan yang sedang mereka jalani adalah kerja sama antara prakarsa-inisiatif Allah dan jawaban-tanggapan mereka (seminaris). Selain itu, para seminaris juga disadarkan bahwa hakikat panggilan mereka itu adalah menjadi berkat bagi yang lain, bukan kutuk; menjadi sumber sukacita bagi yang lain, bukan derita.
Hal ini bisa dihubungkan dengan panggilan Bunda Maria sebagaimana yang tertulis dalam Luk. 1:26-38 (Maria dipanggil Allah) & Luk. 1:39-45 (Visitasi Maria kepada Elisabet). Teks Luk. 1:26-38 sesungguhnya mengurai dengan cukup jelas bahwa panggilan untuk terlibat dalam karya keselamatan itu pertama-tama adalah inisiatif-prakarsa Allah. Melalui Gabriel, Allah memanggil Maria. Setelah berdialog cukup alot dan mendalam, akhirnya Maria menunjukkan ketaatan-Nya kepada rencana Allah. Maria menanggapi prakarsa Allah dengan penuh ketaatan iman, “Aku inilah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu!”
Serentak kita bisa katakan bahwa panggilan Maria adalah prakarsa Allah dan tanggapan positif penuh iman dari Maria. Lebih lanjut dalam teks Luk. 1:39-45, Bunda Maria memberikan kesaksian penting tentang hakikat panggilannya yakni menjadi berkat bagi yang lain, bukan kutuk; menjadi sumber sukacita, bukan duka. Betapa tidak, visitasinya membuat Elisabet bersukacita. Bahkan bayi yang sedang dikandungnya turut menari penuh sukacita. “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.” Luapan-letupan sukacita Elisabet ini menggarisbawahi hakikat panggilan Maria yakni menjadi sumber berkat dan sukacita bagi orang lain, bukan sebaliknya.
Mengapa bunda Maria menjadi penyalur berkat dan sukacita bagi orang lain? Tentu saja karena Maria sangat taat pada kehendak Allah. Yang dilakukannya adalah kehendak Allah, bukan kehendaknya sendiri. Selain itu, Bunda Maria selalu ‘membawa’ Yesus ke manapun ia pergi. Ia bahkan tak hanya membawa Yesus dalam iman, tetapi juga dalam rahimnya.
Dengan demikian, para seminaris juga ditantang untuk seperti Maria: taat pada kehendak Allah dan ‘membawa’ Yesus ke mana saja mereka pergi dan diutus. Hal ini membuat para seminaris semakin sadar bahwa panggilan ini adalah kerja sama antara inisiatif Allah dan tanggapan-jawaban positif manusia (seminaris). Buah dari kerja sama ini adalah karya-kesaksian nyata: menjadi penyalur berkat dan sukacita bagi orang lain, bukan sebaliknya ***
(Renungan ini telah saya bagikan kepada para seminaris dalam homili pada Perayaan Ekaristi, kemarin & hari ini.)