Allah tidak bisa dilihat, dan karenanya tidak bisa dilukiskan. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa wajah-Nya. Tidak ada orang yang bisa memandang wajah Allah secara empat mata. “Tuhan tidak pernah dilihat manusia dan manusia memang tidak dapat melihat-Nya” (1 Timotius 6:16). Allah berfirman, “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (Kel. 33:20).
Musa diberikan kesempatan yang istimewa oleh Allah, tidak untuk melihat wajah-Nya, tetapi paling tidak untuk bisa melihat punggung-Nya. Allah berfirman kepada Musa: “Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan kelihatan” (Kel. 33:23).
Wajah Allah tidak pernah tersingkap kepada siapapun. Karenanya, kita tidak dapat membayangkan, apalagi melihat wajah-Nya. Dia melampau panca indra kita. Allah yang tak kelihatan itulah yang telah menciptakan dunia ini dengan segala isinya. Ia menciptakan alam semesta supaya kita – meski tidak melihat wajah-Nya – namun dapat tetap dapat merasakan kehadiran-Nya.
Allah yang tak kelihatan itu ‘peduli’ dengan kehidupan manusia yang sudah rusak akibat dosa. Ia mengirimkan para Nabi sebagai utusan-Nya, untuk memberikan teguran dan peringatan terhadap manusia, tetapi para Nabi itu justru ditolak dan dibunuh. Maka, Allah mau turun tangan sendiri. Ia mau memperbaiki hidup manusia ‘dari dalam’.
Sampai di sini, kita melihat bahwa di satu sisi, Allah itu tidak kelihatan, dan siapapun yang melihat wajah-Nya ‘tidak akan selamat’ (bdk. Kel. 33:23), tetapi di sisi lain, Ia mau memperbaiki keadaan manusia ‘dari dalam’. Maka, tidak bisa tidak, Ia harus masuk melalui pintu manusia, artinya menjadi manusia sama seperti kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa.
Allah masuk ke dalam ciptaan-Nya dengan cara memilih jiwa yang cocok dari sekian ciptaan-Nya untuk ‘dipakaikan’ rahimnya untuk Dia bersemayam dan lahir sebagai manusia. Peristiwa ini dikenal dengan istilah ‘inkarnasi’ (Latin, in = masuk, dan carne = daging). Apa yang masuk ke dalam daging? Injil Yohanes memberi penjelasan: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya” (Yoh. 1:1, 14).
Dengan masuk ke dalam daging dan mengambil rupa manusia, Allah yang mula-mula tidak kelihatan itu, akhirnya bisa dilihat, disentuh, dan hidup bersama dengan manusia. Dialah Yesus, Sang Immanuel, Allah beserta kita. Maka, siapapun yang melihat Dia, dia sudah melihat kehadiran Allah di dalam diri-Nya.
Tentu tidak semua orang langsung memahami peristiwa inkarnasi ini. Filipus, misalnya, ia meminta Yesus supaya menunjukkan Bapa itu kepadanya. Dia mengira bahwa Yesus hanya sekedar seorang utusan, sama seperti para Nabi yang diutus sebelumnya, atau hanya ‘anak Allah’. Kata Filipus kepada-Nya: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami” (Yoh. 14:8). Yesus memberitahukan kepadanya bahwa ketika dia melihat Yesus, dia melihat Bapa. “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa. Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:9, 11).
Sepanjang cerita Kitab Suci, Yesus seringkali berhadapan dengan dua kelompok manusia. Pertama, kelompok orang yang sulit menerima Allah dalam rupa manusia. Maka, berhadapan dengan orang dengan tipe seperti itu, Dia memberitahukan bahwa diri-Nya adalah seorang utusan Allah. “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh. 5:30). Perkataan ini diucapkan oleh Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang berusaha mencari kesalahan-Nya. Orang Yahudi tidak bisa menerima bahwa Allah hadir dalam rupa manusia seperti Yesus.
Kedua, kelompok orang yang dekat dengan-Nya, yaitu para murid-Nya. Untuk orang-orang yang dekat dengan Dia, Yesus memberitahukan bahwa Dia dan Bapa adalah satu dan sama. Secara khusus, kepada Petrus, Yesus memberitahukan bahwa Dia adalah Mesias, artinya Allah dalam rupa manusia; dan Ia meminta kepada para murid-Nya supaya jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun juga (Mat. 16:20). Mengapa? Karena jika orang lain (kelompok pertama) mengetahui bahwa Yesus adalah Allah yang mengambil rupa manusia, maka mereka cukup sulit untuk menerima kebenaran itu, bahkan mereka akan mencari dan menghabisi Dia.
Sampai di sini, tidak ada kesimpulan lain yang bisa kita ambil selain bahwa Yesus itu sungguh Allah dan sungguh manusia. Ia adalah Allah yang ber-inkarnasi; Allah yang mengambil rupa manusia. Jadi, Yesus adalah Allah.
Hanya saja, sebutan Allah untuk Yesus sangatlah jarang digunakan. Hanya di beberapa tempat saja dan dengan hati-hati sekali Perjanjian Baru menyebut Yesus dengan sebutan ‘Allah’. Biasanya mereka mencari rumus-rumus lain, misalnya ‘Anak Allah’, ‘Anak Manusia’, ‘Mesias’, dan sebagainya. Adapun alasannya ialah adanya monoteisme ketat di lingkungan Yahudi yang tidak mengizinkan sebutan Allah untuk mengacu kepada Yesus. Namun demikian, Gereja Perdana memandang Yesus sebaga Tuhan Allah. Ini kentara dari fakta bahwa Gereja berdoa kepada Yesus.
Bandingkan:
https://www.quora.com/Who-is-Jesus-God-or-the-Son-of-God
https://christianity.net.au/questions/how_can_jesus_be_both_god_and_gods_son
Nico Syukur Dister. 2004. Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 185