Tak ada yang bisa menandingi Maria, Ibu Yesus. Sampai-sampai Penginjil Lukas menuliskan bahwa Allah menyuruh Malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bernama Maria (lih. Luk. 1:26-27). Dialah wanita pilihan Allah.
[postingan number=3 tag= ‘bunda-maria’]
Bunda Maria beroleh kasih karunia yang luar biasa dari Allah. Bukan manusia yang mengatakan itu, melainkan Malaikat Gabriel. Malaikat itu berkata:
“Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk. 1:28). Dia mengulanginya sekali lagi: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk. 1:30).
Bukan sembarang karunia. Bunda Maria mendapat karunia khusus, yang tidak pernah didapat oleh manusia manapun. Ia mengandung dari Roh Kudus.
“Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:31-33).
Malaikat Gabriel memberi kabar bahwa Maria akan melahirkan seorang anak laki-laki. Yesus nama-Nya. Nama itu bukan Maria yang berikan melainkan Allah sendiri, melalui Malaikat Gabriel.
Bunda Maria tentu saja terkejut mendapat kabar itu. Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk. 1:34). Maria berpikir seperti manusia biasa pada umumnya, seorang perempuan seperti dirinya baru bisa mengandung hanya jika bersetubuh dengan laki-laki (baca: suaminya).
Malaikat Gabriel menjelaskan bagaimana hal itu akan terjadi. Ia berkata kepada Maria: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35).
Kalimat terakhir dari Malaikat Gabriel menjadi kalimat pamungkas: “Bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk. 1:37).
Bunda Maria tidak menyangka bakal mendapat karunia sebesar itu: dipilih dan mendapat karunia khusus. Perasaannya kala itu tentu saja campur aduk, antara senang dan takut. Senang karena yang bakal dikandungnya adalah Anak Allah, tapi takut karena ia belum bersuami. Ia tahu bagaimana resikonya mengandung di luar perkawinan. Hukumnya adalah hukuman mati dengan cara dirajam. Maka, bisa saja ia menolak tawaran itu, tapi ia tidak memilih opsi itu. Ia memilih ‘YA’ sebagai jawabannya.
Bunda Maria tunduk pada kehendak Allah. Ia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).
Jawaban ‘YA’ Maria terhadap tawaran Allah tidak serta merta membuat hidupnya bebas masalah. Ketika ia hendak melahirkan, ia harus melahirkan Yesus di tempat yang bukan seharusnya, yang membuatnya terpaksa membungkus bayi itu dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (lih. Luk. 2:7).
Jika banyak ibu hancur hatinya karena melihat kenakalan anaknya, hati Maria lebih hancur lagi akibat pengorbanan anaknya. Anaknya menderita sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib, demi menebus dosa manusia.
Ketika semua orang lari ketakutan, hanya segelintir yang bertahan, Maria ada di antara yang segelintir itu. Ia mengikuti jalan salib putranya, hingga putranya sampai pada titik darah penghabisan. Maria berada di bawah kaki salib ketika Yesus disalibkan.
Maria tidak pernah diberi kursus untuk menjalani ini semua. Allah punya rencana, tapi Maria tak diajak magang. Ia didatangi, ditunggu jawabannya, dan menjalankannya. Modalnya hanya: menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
Sebenarnya banyak orang memuji Maria dan anaknya. Para gembala memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.
Menariknya, Maria tetap tenang. Ia tidak serta-merta menggembar-gemborkan tentang kelebihan anaknya. Ia justru menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
Kebanyakan orang tidak punya waktu untuk menyimpan perkara dan merenungkannya. Orang-orang cenderung share perkara di sosial media, tanpa menyimpan dan merenungkannya terlebih dahulu.
Maria tidak makan puji, juga tidak panik. Ia tetap tenang, menyimpan dalam hati, dan merenungkan semua perkara. Beda dengan kebanyakan orang tua saat ini, yang suka sekali mengekspose kelebihan-kelebihan anaknya, atau menggembar-gemborkan masalah rumah tangga di sosial media.
Barangkali di sini kita perlu belajar dari Maria untuk tidak terpengaruh dengan segala pujian ataupun cerita orang, atau tidak panik ketika sedang berada dalam masalah.
Keterpilihan Maria sebagai Bunda Allah pasti bukanlah tanpa alasan. Apalagi, yang memilih dia bukan manusia, tapi Allah sendiri. Allah memilih bukan karena kebetulan. Allah memilih Maria karena ada alasannya.
Kerendahan hati. Barangkali itu kelebihan wanita muda itu. Hatinya yang luar biasa membuat Allah jatuh hati padanya. Alhasil, dari antara semua wanita yang hidup sezaman dengan dia, Marialah yang dipilih oleh Allah untuk menjadi Bunda bagi Putra-Nya.
Maria wanita biasa, sama saja dengan wanita-wanita lain sezamannya. Bedanya, Ia dipilih Allah untuk menjadi Bunda bagi Putra-Nya.
Keterpilihan Maria tidak membuatnya besar kepala. Ia tetap rendah hati dan tenang. Padahal usianya masih muda.
Tak ada wanita sehebat Maria. Ia begitu peka terhadap kekurangan anggur pada pesta di Kana. Ia meminta Yesus melakukan sesuatu. Mula-mula Yesus enggan melakukannya. Tapi karena yang minta adalah ibu-Nya, maka Ia melakukannya juga. Terjadilah mukjizat yang paling disukai oleh pencinta alkohol itu, yaitu air berubah menjadi anggur.
Penginjil Yohanes memberi keterangan bahwa itulah mukjizat pertama dari Yesus. “Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” (Yoh. 2:11).
Maria berhasil mempengaruhi Yesus untuk menunjukkan mukjizat pertama-Nya. Maria tahu kemampuan Yesus, karena ia ibu-Nya.
Belajar dari Maria, kita mesti mempunyai sikap iman yang sama seperti yang dia miliki. Biarlah kehendak Tuhan yang terjadi dalam hidup kita, bukan kehendak kita. Sebab, Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita.
–JK-IND—