6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

Katolik Menjawab: Tidak Ada Larangan Pembaptisan Bayi dalam Kitab Suci

Banyak orang Kristen non-Katolik mempertanyakan praktik pembaptisan bayi di dalam Gereja Katolik. Menurut mereka, praktik semacam itu tidak ada di dalam Kitab Suci. Lagipula, baptisan mengandaikan pertobatan dan iman. Padahal, bayi belum bisa beriman.

[postingan number=3 tag= ‘baptis’]

Bagaimana kita, sebagai orang Katolik, menanggapi kritik semacam ini? Tentu pertama-tama kita harus mengakui bahwa memang tak ada satu pun ayat dalam Kitab Suci yang secara eksplisit berbicara tentang pembaptisan bayi. Sampai di situ, poin yang menjadi kritik mereka ada benarnya. Tapi, jangan lupa, kita juga harus mengingatkan mereka bahwa kita pun tidak menemukan adanya ayat Kitab Suci yang melarang pembaptisan bayi.

Atau, jika saya keliru, dapatkah Anda tunjukkan satu ayat saja dalam Kitab Suci yang berbicara tentang larangan pembaptisan bayi? Tentu Anda tidak akan menemukan ayat yang dimaksud karena memang tidak ada. Jadi, baik praktik pembaptisan bayi maupun pelarangan pembaptisan bayi, sama-sama tidak mempunyai dasar yang jelas di dalam Kitab Suci.

Jika benar bahwa seseorang baru bisa dibaptis ketika ia sudah cukup besar dan sudah bisa beriman, tentu kita juga harus mengatakan bahwa pandangan itu pun tidak kita temukan dasarnya di dalam Kitab Suci. Tak ada satu pun ayat dalam Kitab Suci yang mengisahkan bagaimana anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang sudah beriman, ketika memasuki usia tertentu, dibaptis. Yang dikisahkan di dalam Kitab Suci hanyalah pembaptisan orang-orang kafir atau orang-orang yang tadinya menganut agama Yahudi.

Sementara, mengenai pembaptisan bayi, meski Kitab Suci tidak secara eksplisit menyebut tentangnya, toh ada beberapa ayat yang mengindikasikan bahwa praktik itu benar-benar ada. Dalam pengalaman Lydia, misalnya. Ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya (lih. Kis. 16:15). Juga dari kesaksian Paulus tentang pembaptisan Stefanus: “Juga keluarga Stefanus aku yang membaptisnya. Kecuali mereka aku tidak tahu, entahkah ada lagi orang yang aku baptis” (1 Kor. 1:16). Begitu juga dengan apa yang dialami oleh kepala penjara di Filipi. Ia dibaptis bersama dengan seluruh keluarganya. “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis” (Kis. 16:33).

Dari ayat-ayat yang disebutkan di atas memang tidak ada yang secara gamblang menyebut soal pembaptisan bayi, tetapi ada indikasi yang mengarah ke sana. Perhatikan pilihan kata yang disebutkan di dalam ayat-ayat tersebut: ‘seisi rumah’ dan ‘keluarga’. Jika yang dimaksud adalah Lydia dan suaminya, atau Stefanus dan istrinya, pastilah Kitab Suci menyebut itu secara eksplisit. Tapi, Kitab Suci tidak mengatakan demikian. Kitab Suci justru menyebut ‘seisi rumah’ dan ‘keluarga’. Ini berarti bahwa tidak hanya suami dan istri yang dibaptis, anak-anak juga termasuk.

Jika indikasi ini benar adanya, tentulah itu sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Petrus, ketika dia berkata: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:38-39).

Petrus di sini tidak menyebut usia dari anak-anak yang dimaksud, apakah mereka sudah cukup umur ataukah masih menyusui. Besar kemungkinan, anak-anak yang dimaksud adalah baik yang sudah cukup umur maupun yang masih menyusui. Jika Kitab Suci Perjanjian Baru memaksudkan pembaptisan hanya berlaku untuk orang dewasa, tentu hal itu pun disebutkan secara eksplisit.

Dari sejarah kita tahu bahwa praktik pembaptisan bayi dalam Gereja Katolik mengikuti apa yang sudah dijalankan sejak lama. Origen, pada abad ketiga, menulis bahwa pembaptisan juga diterapkan kepada bayi-bayi ((Holilies on Leviticus, 8:3:11 [A.D. 244]).

Dari mana Origen mendapat inspirasi tentang pembaptisan bayi? Bisa jadi dari praktik yang ada pada masanya, atau bisa juga dari praktik yang sudah ada sebelumnya, misalnya praktik yang sudah ada dalam Gereja Perdana, sebagaimana sudah diceritakan dalam kutipan ayat tadi (Kis. 16:15; 1 Kor. 1:16; Kis. 16:33).

Satu hal yang pasti bahwa praktik pembaptisan bayi dalam Gereja Katolik berangkat dari ajaran tentang dosa asal. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) diterangkan bahwa Gereja membaptis bayi karena setiap anak lahir dengan dosa asal.

Karena anak-anak dilahirkan dengan kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal, maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam Pembaptisan, supaya dibebaskan dari kekuasaan kegelapan dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak Allah (bdk. Kol 1:12-14), ke mana semua manusia dipanggil. Dalam Pembaptisan anak-anak dapat dilihat dengan jelas sekali bahwa rahmat keselamatan itu diberikan tanpa jasa kita. Gereja dan orang-tua akan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran.

Ajaran tentang dosa asal menyebutkan bahwa ‘di dalam’ Adam kita semua berdosa. Ajaran ini mirip dengan ‘di dalam’ Yesus kita semua disucikan. Melalui Adam, kita semua mati, dan melalui Kristus, kita semua hidup.

“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa. Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rm. 5:12, 15).

Dosa yang disebutkan di sini bukanlah dosa yang kita perbuat sendiri. Ini adalah dosa yang dibuat oleh satu orang (Adam) namun berimbah pada semua orang. Nah, untuk membersihkan sang bayi dari dosa asal itu, maka Gereja memberikan jalan bagi pembaptisan bayi, tanpa terlebih dahulu mengandaikan adanya pertobatan dan iman dari si bayi, selain karena memang bayi belum bisa bertobat dan beriman, juga karena ini bukan dosa yang diperbuat sendiri. Hal ini dirasa penting oleh Gereja karena Gereja mengimani bahwa pembaptisan sebagai jalan untuk membawa anak tersebut kepada keselamatan.

Referensi:
Katekismus Gereja Katolik. 2007. Ende: Penerbit Nusa Indah
Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. 1996. Jakarta: KWI, hlm. 425-426.
Pidyarto, H. Mempertanggungjawabkan Iman Katolik. 2015. Malang: Penerbit Dioma, hlm. 226-227.
https://www.catholic.com/tract/infant-baptism
https://www.catholic.com/tract/early-teachings-on-infant-baptism
https://www.catholic.com/magazine/print-edition/to-explain-infant-baptism-you-must-explain-original-sin

avatar
Jufri Kano, CICM
Terlahir sebagai 'anak pantai', tapi memilih - bukan menjadi penjala ikan - melainkan 'penjala manusia' karena bermimpi mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta & Maryhill School of Theology, Manila - Philippines. Moto tahbisan: "Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga" (Luk. 5:5). Penulis dapat dihubungi via email: jufri_kano@jalapress.com.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Ikuti Kami

10,700FansLike
680FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Artikel Terkini