Pagi ini aku terkagum-kagum karena menemukan bunga di depan kamarku mendadak merekah indah. Padahal semalam, ketika kusempatkan untuk melihat perkembangannya, bunga itu masih terlihat kuncup. Tidak ada tanda-tanda akan merekah.
Maka, mataku pun tak ragu-ragu menatapnya kagum.
Luar biasa.
Pemandangan pagi yang tak habis kusyukuri.
“Indah bukan ketika bunga kecil itu ternyata merekah seperti itu?” tanya Seseorang yang sudah ada di sebelahku. Ia pun melongok sama, seperti hendak mengagumi benda itu.
Kutolehkan mukaku ke samping kananku.
Walah…
“Selamat pagi, Kang… Waduuuhhh… Sudah lama sekali kita tidak bertemu yaa…”
Tanpa ragu aku salami Dia dengan semangat.
Yang disalami tersenyum lebar sembari menganguk-angguk dan menanggapi salamanku yang semangat sekali itu.
“Selamat pagi, anakKu. Aku senang bisa ngobrol lagi denganmu pagi ini.”
“Iya, aku juga. Seneng banget.” Rasanya aku nggak ingin melepas genggaman tangannya ini. Menghangatkan pagi yang sedikit dingin hari ini.
Dan, entah kenapa pagi yang indah ini kian indah dengan kehadiranNya itu.
“Apakah ini perasaanku saja atau emang beneran ya?” tanyaku penasaran.
“Maksudmu?” Kang Je balik bertanya. Ia menyentuh bunga yang sudah mekar itu. Sekali lagi, entah karena memang susana yang mendukung atau karena memang Ia sedang menunjukkan kuasaNya, bunga itu kian terlihat indah, menawan hati.
Aku harus mengerjap-erjap untuk memastikan apakah yang kulihat ini benar atau tidak?
Rupanya hal itu diperhatikan oleh Kang Je.
TubuhNya lebih mendekatiku lalu direngkuhNya aku, “Kamu makin kagum dengan bunga yang sedang mekar itu?”
Kepalaku mengangguk-angguk pasti.
“Ingatkah ketika pertama kali kamu menanam bunga itu?”
Kali ini aku mencoba mengingat-ingat.
Bunga yang hari ini begitu memesona itu dulunya hanya tanaman kecil. Kudapati dari seorang penjual bunga yang nampaknya sudah lama berkeliling, tapi belum juga terjual satu pun dagangannya. Kubeli lah salah satu tanaman yang ia jual itu. Hitung-hitung untuk memperindah halaman kecil di depan kamarku.
Ketika kumasukkan tanaman itu ke dalam tanah halaman, esok harinya kulihat tanaman itu sedikit melayu. Padahal jenis tanah halaman rumahku adalah tanah yang subur dan aku pun tak lupa menyiram.
Aku sempat heran sekaligus sedih.
Bagaimana mungkin ini terjadi?
Aku berusaha sebisanya agar tanaman itu tetap bisa tumbuh dan syukur berbunga indah.
Hingga suatu hari, ketika ada harap penuh agar aku bisa melihat keindahan hasil dari tanaman tersebut, nyatanya justru aku menemukan kesedihan teramat sangat.
Dahan yang menopang tubuh tanaman dan calon bunga itu terlihat mengering dan nyaris mati. Aku panik dan terpuruk sedih. Usaha yang kulakukan selama ini kok sia-sia saja. Adakah yang salah kulakukan terhadap tanaman yang serasa harapan jiwa agar menghasilkan yang terbaik?
“Kamu tak sempat lihat, anakKu. Di balik dahan yang melayu itu, ternyata tumbuh tunas kecil yang bakal menjadi dahan baru.” Kang Je menunjukkan tempat tunas yang dimaksud itu dulu tumbuh.
“Masa sih Kang? Rasanya waktu itu aku hanya melihat dahan yang melayu saja. Nggak ada tunas baru untuk menggantikan dahan itu.” Aku tak percaya.
Kang Je tersenyum. “Itu karena pikiranmu terkonsentrasi pada bentuk hal buruk yang tertangkap matamu saja. Kamu lupa, tanaman pun butuh adaptasi tanah baru sebelum menghasilkan buahnya. Karena hatimu tak melihat, maka matamu pun beralih pandang pada bentuk keburukan saja.”
Ah.
Aku harus mengakui segala yang terjadi selama ini memang menutupkan mataku untuk mencoba melihat tunas lain selain bentuk kerapuhan dan bakal matinya dahan tanaman itu. Aku terlalu sibuk berpikir, memecahkan masalah supaya cepat selesai.
Bahkan, terkadang satu saat aku ingin malam yang menutup hari tidak cepat pergi agar pagi tidak harus kuhadapi dengan sisa masalahnya sendiri. Aku takut, lelah, malas, dag-dig-dug, was-was dan entah apalagi yang membuatku tak mampu mendengar suara hati lagi.
Di kepala hanya mencari 1001 cara agar masalah cepat selesai.
Doa yang terucap pun rasanya hanya sepenggal kalimat tiada arti.
“Hai langit, teteskanlah keadilan dari atas, dan baiklah awan-awan mencurahkannya! Baiklah bumi membukakan diri dan bertunaskan keselamatan, dan baiklah ditumbuhkannya keadilan! Akulah TUHAN yang menciptakan semua ini.” (Yes. 45:8)
Aku terperangah.
Kulihat Kang Je sedang menengadah.
TanganNya dilebarkan menghadap ke atas dan mulutNya berucap doa syukur.
Tak tahan, kutundukkan kepala, menghadap bumi sebagai bentuk penyesalan hati.
Ya… Segala yang telah terjadi ini membuatku lupa bersyukur bahwa ada Dia yang mendampingi.
Siapalah aku ini hingga lupa bahwa Ia adalah adil. Tak pernah memberi kemuraman bagi siapa saja yang percaya ada tunas harapan ketika kesedihan atau air mata itu menerjang.
“Bangunlah, anakKu… Bumi sudah tahu ungkapan hatimu. Bunga itu mekar sebagai tanda bahwa duniamu akan kembali ceria kembali senantiasa.”
Tanpa ragu kupeluk erat Orang yang selama ini hampir hilang dari pandangan mata hati.
Aku tidak bisa mengelak lagi bahwa hanya Dia yang mampu menenangkan jiwa raga ini. Bahkan dari bentuk masalah berentet yang harus kuhadapi hari lalu. Dia terlalu besar dari masalah itu sendiri.
Kurasakan Kang Je mengelus-elus kepalaku selayaknya Bapakku yang sedang menenangkan dan memberi kehangatan pagi.
Mendadak, Kang Je membisikkan sesuatu di telinga, “Ssst… Sekarang kamu mandi dulu yaa… Malu tuh dilihat burung-burung yang kayaknya tahu deh kamu belum mandi.”
Kutarik tubuhku dari pelukan lalu melihat burung-burung di sekitarku yang sedang bernyanyi riang. Hmmm…, adakah diantara mereka mengetahui aku belum mandi?
Tanpa ragu, kulangkahkah kaki menuju kamar mandi.
Jauh di sana, Kang Je masih tengah bermain bersama bunga indah bermekaran tadi dikelilingi burung yang menyanyikan lagu indah, pengiring keceriaan hari ini.