lahir raja mulia
damai dan sejahtera
turun dalam dunia
bangsa-bangsa bangkitlah
dan bersoraklah serta…”
Kutipan kecil di atas merupakan nukilan lirik lagu yang berjudul Gita Surga Bergema, yang tentunya sering kita dengarkan dan bahkan dinyanyikan berulang-ulang kali menjelang hari raya Natal. Yah! Bulan Desember mengandung kesan dan perasaan tersendiri bagi kebanyakan orang, khususnya umat Kristiani di seruluh dunia. Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani seantero dunia merayakan hari raya Natal yang merupakan peringatan kelahiran Yesus Kristus di kandang Betlehem 2000-an tahun silam. Cerita mengenai kesan dan perasaaan menyambut hari raya Natal, setiap umat Katolik di dunia pastinya selalu memiliki cerita yang khas. Di negara Filipina, misalnya, perayaan Natal biasanya mulai dirasakan sejak Minggu Pertama masa Adven. Sejak saat itu, lagu-lagu Natal mulai terdengar ketika kita memasuki pusat-pusat perbelanjaan. Di pusat-pusat keramaian seperti Mall, segala hiasan yang dipajangkan pastilah bertemakan Natal; banyaknya pohon Natal yang terpajang, lampu terang berkelap-kelip, dan hiasan Natal di sana-sini menyemarakkan suasana. Sesungguhnya, di Filipina suasana Natal memang nampak kental terasa, mulai dari ornamen Natal yang banyak dijual, dekorasi Natal di pusat perbelanjaan, tematik Natal di rumah makan dan restoran, dan juga novena menyongsong hari raya Natal yang biasa dikenal dengan nama Missa de Gallo atau Simbang Gabi. Semua ini mengandung kesan dan rasa tersendiri bagi semua umat Katolik Filipina.
Di balik kesan di atas, apa sesungguhnya makna Natal bagi seorang Katolik? Tentunya apa yang dikisahkan itu bukanlah makna Natal satu-satunya, tetapi lebih sebagai bagian ‘seremonial’ dalam menyambut peristiwa iman tersebut. Sebagai sebuah peristiwa iman, Natal tidaklah berhubungan dengan seberapa kerennya baju baru yang seseorang kenakan atau seberapa eloknya gaya rambut yang seseorang miliki. Natal bukanlah tentang seberapa enak dan mahalnya makanan dan minuman yang kita suguhkan di meja makan. Hemat saya, jika makna Natal hanya berkaitan dengan hal-hal dan perkara di luar tubuh seperti di atas, maka dapat dipastikan bahwa damai dan sukacitanya justru akan selesai ketika perayaan itu berakhir. Namun, Natal yang sesungguhnya adalah bagaimana kita memaknai peristiwa kelahiran Yesus itu dalam kehidupan sehari-hari. Bahwasannya, makna Natal seharusnya jauh lebih dalam dari apa yang semua kita lihat itu. Hari raya Natal, selain mengenangkan kelahiran Yesus sebagai Juruselamat umat manusia, mestinya juga menjadi tanda kehadiran rahmat Tuhan dalam kehidupan kita dan sekaligus sebagai perutusan kita untuk membangun tata dunia yang lebih baik.
Untuk itu, saya ingin membagikan beberapa kisah dan kesan tentang makna Natal bagi beberapa anak muda yang sempat berbagi cerita. Barangkali, kisah dan kesan mereka dapat membantu kita untuk menjadikan perayaan Natal tahun ini sebagai peristiwa iman yang cukup unik.
Natal Bagi Amelia Edwinsari
Hari Natal telah semakin mendekat. Setiap orang Katolik biasanya memaknai perayaan Natal secara berbeda-beda sesuai dengan pengalaman iman dan keseharian hidup mereka. Demikian halnya dengan Amelia Edwinsari, seorang gadis asal Nunur-Manggarai Timur yang sedang menyelesaikan studi profesi Guru pada Universitas Pattimura-Ambon. Natal bagi dia adalah “sebuah jawaban atas kerinduan dan perayaan yang menyatukan kehangatan keluarga; merasakan kehadiran Tuhan yang membawa damai dalam semangat kekeluargaan.” Lebih dari itu, Amelia berkisah tentang kenangan Natal yang paling berkesan bersama keluarga. Konon, setiap tahun keluarganya selalu berkumpul bersama, pergi ke gereja bersama-sama dan berbagi sukacita. Mengenai harapannya untuk Natal tahun ini, Amelia mengakui bahwa keinginan untuk berkumpul dan berbagi sukacita bersama keluarga merupakan salah satu kerinduan terberatnya, sebab merayakan Natal jauh dari tengah keluarga dan di tempat yang begitu asing. Namun, dari pengalaman ini, ia berkeyakinan bahwa Tuhan juga datang dan oleh damai-Nya menjadikan orang lain di tempat yang baru itu sebagai bagian dari keluarga.
Merasakan Cinta Tuhan dan Berbagi
Bagi Kristina Novita, seorang yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Manggarai-Flores, Natal itu lebih dilihat sebagai “Kepekaan untuk merasakan kehadiran Tuhan dan merasakan cinta Tuhan dalam hidup sehari-hari. Sudahkah saya sadar bahwa Tuhan sebenarnya mau hadir dalam hidup saya? Atau, sudahkah saya sadar kalau cinta Tuhan untuk saya teramat sangat dalam?” Dalam permenungannya itu, Novita mengisahkan pengalamannya selama merantau dan berkuliah di Yogyakarta. Pengalaman Novita selama kurang lebih empat tahun tinggal di Yogyakarta terlihat cukup khas dan unik. Biasanya, untuk menyambut hari raya Natal, Novita dan kawan-kawannya, yang terbentuk dalam satu komunitas, berkumpul bersama dan melakukan aksi sosial, seperti membagi-bagi makanan.
Natal Berarti ‘Bermawas Diri dan Menata Hidup Baru’
Tak dapat disangkali, bagi kebanyakan umat Katolik, hari raya Natal hanya dianggap sebagai peringatan kelahiran Yesus Kristus; pergi ke gereja dan menghadiri perayaan Ekaristi, lalu kembali ke rumah dan bersukacita bersama keluarga. Namun, Waldus Budiman, seorang pemuda asal Manggarai Timur dan sedang merantau di pulau Jawa, memiliki pandangan yang cukup berbeda tentang Natal. Ia lebih memaknai hari raya Natal dari kaca mata iman. Hemat Waldus, “Natal adalah kelahiran baru dan menata hidup baru dengan berpedoman pada Kristus. Natal adalah harapan akan sesuatu yang baru bersama dengan kelahiran sang Juruselamat. Kelahiran Tuhan Yesus, merupakan berkat atas diri kita. Kelahiran ini juga mengajak kita untuk menata hidup yang baru di mana kita mampu untuk bergerak menuju dunia yang baru.”
Demikian halnya dengan Fr. Yanto Baptista, seorang mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores. Bagi Yanto, melalui perayaan Natal, “Semua orang diajak untuk bisa dilahirkan kembali bersama Yesus dalam Roh dan kebenaran. Dengannya hidup kita senantiasa diperbaharui dan terarah pada kehendak Allah.” Namun, untuk menggapai pembaharuan itu, setiap kita harus bisa mengubah sikap dan move-on dari masa lalu yang begitu kelam. Berkaitan dengan itu, Fr. Wilhemus Jemali, teman seangkatan Fr. Yanto, menggagaskan: “Natal seharusnya merupakan momen di mana kita mesti berekonsiliasi dengan masa lalu.”
Cerita Natal di Kalangan Mahasiswa
Yosefa Pandi, mahasiswa asal Lembor-Manggarai Barat yang sedang menyelesaikan studinya di Jakarta, juga membagikan kesan dan perasaannya mengenai Natal: “Sejak kecil Natal selalu menjadi momen yang paling menyenangkan, karena semua anggota keluarga berada di rumah. Membagikan damai waktu doa dan makan bersama di malam Natal itu sangat berkesan dan justru tidak ada pada kesempatan lain. Pokoknya, semua itu membuat saya bahagia ketika adanya Natal. Selama kurang lebih lima tahun terakhir saya merayakan Natal di tempat yang jauh dari orangtua dan hal itu yang membuat saya menangis. Yang paling membuat saya sedih ialah biasanya setiap malam Natal kami sekeluarga berdoa bersama dan menyanyikan lagu ‘Dari terbit matahari, sampai pada masuknya, biarlah nama Tuhan dipuji.’”
Yang jelas, bagi seorang mahasiswa rantau, merayakan Natal bersama keluarga merupakan satu kerinduan tersendiri. Di sini, Petra, salah seorang mahasiswa asal Manggarai di Yogyakarta, juga menceritakannya. Bagi Petra, Natal tahun ini merupakan kesempatan kedua ia tidak merayakan Natal bersama keluarganya. Hal itulah yang justru membuat dia sangat merindukan suasana Natal di rumahnya. Demikian halnya dengan Edita Teresa, sahabat Petra, juga menceritakan tentang perasaannya dalam menyambut Natal tahun ini. Bagi Edita, hal yang paling didambakan ialah “Rindu untuk berbagi kebahagiaan bersama keluarga. Ada perasaan yang harus semestinya diceritakan bersama keluarga, khususnya pada malam Natal.”
Sejenak merenungkan sejumlah makna Natal dari beberapa anak muda di atas, sebuah pertanyaan justru menghantui saya: Apakah Natal itu hanya sebuah seremonial tahunan yang seharuskan kita rayakan? Apakah makna Natal sesungguhnya bagiku, kamu dan kita semua? Sebagai kenangan akan kelahiran Yesus Kristus di Betlehem, Fr. Christian Tembot menegaskan bahwa “Natal seharusnya menjadi momentum di mana kita semua bisa membaharui diri dan meninggalkan cara hidup lama sehingga kita menjadi manusia baru dalam Kristus.” Mengatasi semuanya itu, kelahiran Yesus Kristus yang kita kenangkan setiap tanggal 25 Desember seharusnya menjadi momentum untuk memantaskan diri dan berbalik kepada rencana awal Tuhan terhadap hidup kita. Yesus Kristus datang ke dunia dan menjadi manusia untuk menyelamatkan semua yang percaya kepada-Nya. Kelahiran-Nya dirayakan sebagai awal sebuah peristiwa keselamatan yang dijanjikan Allah Bapa melalui-Nya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yoh 3:16).
Selamat Hari Raya Natal untuk kita semua!