Kesekian kali aku melihat temanku itu begitu sibuk menangani sebuah hal. Memang tidak ada kepanitiaan terbentuk, tetapi proyeknya kali ini membutuhkan tangan cekatan serta pemikiran serius. Tidak bisa main-main. Tapi, kalau dilihat rutinitas dia melakukan kegiatan ini, aku pikir dia adalah manusia yang paling sibuk dan heboh sedunia. Waktu 24 jam yang menjadi jatah hidupnya tiap hari, seperti kurang karena kesibukannya. Sudah begitu, ketika ada waktu liburan yang bisa dia pakai untuk sekadar refreshing, ada saja alasan yang membuatnya kembali bersibuk ria.
“Kamu itu apa nggak ada capenya sih?” tanyaku begitu tahu bahwa temanku itu sudah tidak bisa dipegang lagi.
Temanku tersenyum. “Persediaan tenagaku masih full. Penuh. Jangan kuatir.” Ia kembali mengerjakan tugasnya.
“Kapan kamu libur?” tanyaku lagi, penasaran.
“Libur?” temanku balik bertanya. Ia berpikir sejenak. Dahinya berkerut. “Ketika aku tidur, itulah waktuku untuk berlibur. Ketika aku menafas lega karena satu pekerjaanku selesai, itulah jatahku libur.”
“Jadi, kamu nggak pernah ambil cuti?”
Kepala temanku itu menggeleng pasti. “Nggak pernah.Bisa cek ke teman-temanku. Aku menyisakan semua cutiku tiap tahunnya.”
Mataku menatapnya serius. Kupikir dia sedang bercanda atau bermain-main kata saja. Tapi, nampaknya ia bicara serius. Tidak ada tanda-tanda kebohongan yang melintas dalam pancaran matanya.
“Aku kerja gini kan buat sesama juga. Bukan buat diriku sendiri kok,” ujarnya seperti tahu bahwa aku sedikit mencurigainya. “Kamu tahu kan kalau aku paling nggak bisa melihat sesamaku berkekurangan, sedih atau mengalami kesusahan dalam hidupnya. Selama aku bisa membantu mereka, maka aku akan membantu mereka.”
“Tapi, kamu kan punya hidup. Apa kamu nggak berniat membela hidupmu sendiri?”
“Lho, dengan membantu sesama, berarti kan aku membela hidupku juga.”
“Menikah?”
“Ah, urusan itu, mengalir sajalah. Bukan prioritas hidupku.”
Aku menggaruk-garukkan kepala. Tidak mengerti apa yang dikatakan.
Jadi ingat ketika beberapa waktu lalu, sepupunya mengalami musibah kecelakaan. Cukup parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Karena kebetulan keluarganya sedang sibuk mencari darah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perawatan rumah sakit, maka dengan suka cita ia mendampingi sepupunya itu, melewati masa kritis di rumah sakit. Pada waktu bersamaan, dia mendapat perintah dari atasannya untuk menemui seorang klien yang akan memberikan tander kepada perusahaan tempat ia bekerja. Dan, entah bagaimana dia bisa membuat pimpinannya tidak jadi menyuruhnya untuk menemui sang klien. Ketika ditanya bagaimana bisa ia menolak pekerjaan yang diberikan sang atasan, dia bilang bahwa dia harus memilih menemani sepupunya ketimbang mendatangi klien. Meski dengan alasan tersebut, ia mendapat konsekwensi tertentu, temanku itu mau menerima. Baginya menolong nyawa orang lain lebih berharga daripada mengerjakan tugas kantornya sendiri.
Ketika aku mendengar ceritanya, aku Cuma geleng-geleng kepala saja.
Nggak bisa komentar lagi.
Atau ketika ada kegiatan kemanusiaan di tingkat propinsi. Padahal saat itu ia akan menghadapi audit perusahaan. Mengingat pengalaman serta kredibilitas pekerjaannya selama ini dibidang kemanusiaan, maka ia ditunjuk sebagai ketua kegiatan tersebut.
Tanpa berpikir panjang, sahabatku tersebut menyetujui pencalonan dirinya. Dengan kesadaran penuh ia laksanakan komitmen yang ia buat sendiri. Konskwensinya kali ini adalah tubuhnya sendiri yang sempat tergeletak tak berdaya di rumah sakit. Tapi, itu nggak lama. Sebab dua hari setelah keluar dari rumah sakit, ia nampak sibuk kembali.
“Aku bahagia bila sesamaku bisa mendapat kebahagiaan juga bersamaku. Aku nggak peduli karenanya, aku harus rela berkorban demi mereka.”
“Ckckckck…,” kugelengkan kepala. Kagum. “Kamu ini memang hobi atau… kecanduan?”
“Dia kecanduan berbuat baik, anakKu,” sebuah suara menyetuak masuk diantara kami.
“Kang Je?! Waaahhh…,” sobatku itu langsung menyongsong yang datang. Tanpa ragu ia memeluk Kang Je lalu menepuk-nepuk bahu belakangnya. Kang Je pun melakukan hal serupa.
“Kang Je ini salah satu motivatorku melakukan ini semua.” Temanku mengembangkan senyum lebarnya. Ia bangga sekaligus bahagia sekali mengucapkan kalimat barusan. Keduanya terlihat sangat dekat dan begitu akrab. Aku jadi sedikit surpraise melihat kedekatan mereka itu.
“Tidak usah kaget, anakKu. Temanmu ini adalah salah satu umatKu yang mengamalkan apa yang telah Kuajarkan padanya.” Kang Je tampak bangga. Dia mengacungkan ibu jariNya yang ditujukan bagi temanku yang sedikit bersemu merah mukanya. Menahan malu dipuji begitu.
“Iya sih. Kalau itu nggak usah diragukan lagi. Tapi…, coba deh Kang Je tanya, saking seringnya dia beredar kemana-mana, sempatkah dia memikirkan dirinya sendiri? Menikah misalnya. Atau sekadar liburan saja.”
Kali ini tatapan mata Kang Je seperti orang yang sedang mencari-cari. Dia sepertinya ingin sekali mendapat komentar sebelum dia bertanya. Yang ditatap berusaha mengelak, tapi ia tahu juga, itu percuma dilakukan.
“Aku memang ke sini untuk bertanya itu. Apakah benar anakKu, kau tak peduli lagi dengan hidupmu sendiri?” tanya Kang Je akhirnya setelah Ia yakin pasti bahwa temanku itu tidak bereaksi apa-apa selain salah tingkah tadi.
“Ya-ya-ya.., aku kan kerja bukan cuma untuk duniawi saja, Kang. Kang Je tahu banget itu,” temanku berusaha membantah. “Ini bukan soal idealisme saja, Kang. Tapi, ini masalah kemanusiaan. Kang Je sendiri kan yang bilang supaya kita saling mengasihi sesama?”
Dibantah begitu, bukannya marah, Kang Je malah tersenyum. Dia memang sangat tahu bahwa anakNya satu ini tak perlu disangsikan lagi atas apa pun yang ia kerjakan selama ini.
“Tapi, kau melupakan satu ayat berikutnya, anakKu.” Kang tersenyum panjang sambil memainkan ujung alisnya. Nampaknya dia berusaha tidak membuat down temanku tadi.
“Yang mana?” tanya temanku setelah sempat terlihat keningnya tadi berkerut.
“Kasihanilah sesamamu manusia, seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Jadi, jika kamu tidak mengasihi dirimu sendiri dulu maka kamu tak bisa pula mengasihi sesamamu.”
Jemari kanan temanku itu mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Sementara tangan kirinya menopang daunya. Mulutnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu yang tak jelas. Aku sendiri menunggu reaksi keduanya. Kali ini aku ingin jadi penonton saja. Nggak banyak komentar.
“Tak kan ada yang menyangsikan apa pun yang kau perbuat selama ini, anakKu. Bahkan olehKu sekali pun. Kau salah satu anak yang Kubanggakan.” Kang Je berdiri di samping kiri temanku itu. “Tetapi, tidak baik juga jika dengan alasan menolong sesama, kau abaikan kepentingan dirimu sendiri bahkan berusaha tak mengingatnya. Alam saja butuh pergantian musim untuk kembali memberikan yang terbaik bagi semua mahluk.”
“Bapaku sendiri ketika mencipta dunia ini membuat satu hari khusus untuk beristirahat, yaitu pada hari ketujuh. Apakah kamu yang adalah ciptaan BapaKu akan melebihi dariNya dalam hal berkarya? Tidakkah lebih baik jika satu harimu pun diberikan untuk dirimu sendiri dan untukNya?”
Temanku menunduk.
“Ambillah hari libur bagi dirimu sendiri, anakKu. Matikan hp-mu, jangan biarkan banyak orang tahu kamu ada dimana, hirup udara yang segar dan baru atau biarkan kau dilayani dan diberi oleh sesamamu. Bukan cuma kamu yang memberi dan melayani. Yakin saja bahwa semua akan terjalani dengan baik.”
“Hmmm…,” temanku menarik nafas panjang. “Benar juga sih, Kang… Kadang aku merasa jenuh. Lelah. Ingin sesuatu yang baru.”
“Makanya…, ambil libur. Sementara waktu jangan pikirkan pekerjaanmu. Titipkan sementara saja pada orang yang kamu percaya,” kali ini aku angkat bicara.
“Ya-ya-ya… Baiklah kalau begitu. Aku akan ambil cutiku.”
“Gitu dong!!” spontan Kang Je memberikan telapak tangannya untuk diadu dengan telapak tangan temanku atau “tos” menurut anak muda sekarang. Nampaknya Akang satu ini mengikuti benar trend anak-anakNya. Aku jadi ikut-ikutan juga deh….
Ahhh…
Aku menarik nafas lega.
Senang sekali temanku ini mau melakukan hal yang terbaik untuk dirinya sendiri. Bukan Cuma memikirkan orang lain saja.
“Dan, kau anakKu,” Kang Je melirik dan tersenyum padaku, “tetap perbuat segalanya hanya demi kemuliaanKu. Segala berkat pun akan tertuju bagimu.”
Oke deh, Kang…
Tak kan kulupa hal satu itu.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments