Produk Kengerian Perang
Karol Jozef Wojtilla yang kelak dikenal luas dalam sejarah dunia dengan sebutan Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu orang yang paling berpengaruh sepanjang abad ke-20. Pengukuhannya sebagai Paus dengan bayang-bayang Uni Soviet yang kala itu menguasai Polandia, dan ancaman perang dingin yang kian nyata membentuk sosok Yohanes Paulus II yang teduh, terbuka, dan berkomitmen penuh terhadap perdamaian dunia. Ia terpilih sebagai Paus dengan berbagai catatan unik, seperti Paus pertama yang bukan orang Italia setelah hampir 400 tahun, Paus pertama dari negara Eropa Tengah sekaligus negara komunis, dan sebagainya. Dari semua predikat unik itu, latar belakang St. Yohanes Paulus II yang patut direfleksikan secara mendalam adalah perjalanan hidupnya yang amat memilukan, setidaknya untuk konteks manusia saat ini.
[postingan number=3 tag= ‘gereja-katolik’]
Karol Wojtila lahir di Polandia, lalu hidup dalam kengerian dua perang dunia terbesar dalam sejarah umat manusia, Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua. Perang Dunia II pecah saat Adolf Hitler menyerbu Polandia, dan memporak-porandakan kehidupan Wojtila muda, yang kala itu memang sudah luar biasa menderita setelah kehilangan ibu dan kakak sulungnya. Demi menjadi imam, ia bahkan pernah menjadi pekerja tambang, dan menjadi seminaris secara rahasia. Tanggung jawabnya untuk memerdekakan negeri kelahirannya tertuang dalam perjuangannya melalui teater. Dalam perjuangannya yang berat, ia harus merelakan kepergian sang ayah ke rumah Bapa, dan memulai perjalanan imannya seorang diri.
Perdamaian dan Martabat Manusia
Pengalaman kengerian perang membentuk St. Yohanes Paulus II sebagai sosok yang sangat gigih memperjuangkan perdamaian dunia. Ia sudah melihat, bagaimana peperangan menghancurkan begitu banyak harapan, menghilangkan begitu banyak nyawa, dan memutuskan rantai persaudaraan dalam hidup antarmanusia. Suara perdamaian itu terus disuarakan melalui kunjungannya ke berbagai tempat, menembus setiap batas perbedaan budaya, suku, ras dan agama. Jiwa dari masa kepausannya adalah perdamaian dunia.
Kengerian perang, terutama dalam tragedi kemanusiaan Nazi di Jerman pada masa Perang Dunia II, juga turut membentuk posisi mendasar karya kepausannya pada penghargaan terhadap martabat manusia. Kekayaan refleksi dan tulisannya menunjukkan bahwa martabat manusia sebagai citra Allah adalah hal yang mesti dijunjung tinggi, agar dunia mampu melihat persaudaraan dan perdamaian sebagai landasarn untuk menciptakan rumah “bumi” yang damai, di mana semua orang mendapat tempat untuk dihargai sebagai manusia.
“Perang tidak boleh terjadi lagi”
Bagi kita, St.Yohanes Paulus II adalah sosok produk kekelaman umat manusia. Dalam perjuangannya yang gigih, kita melihat sebuah peringatan serius, “perang tidak pernah boleh terjadi lagi”. Produk kengerian perang, yang menenggelamkan manusia dalam kebinasaan dan kesengsaraan, sudah menjadi pembelajaran yang amat berarti bagi semua manusia melalui sosok St. Yohanes Paulus II ini. Karena itu, selain dihormati sebagai orang kudus, St. Yohanes Paulus II semestinya menjadi simbol kengerian perang yang mesti menjadi ingatan dan pelajaran bagi kita semua. St. Yohanes Paulus II dengan caranya yang luar biasa berhasil membalikkan trauma perang menjadi berkat bagi seluruh dunia, termasuk kita. Ancaman terhadap perdamaian dunia itu nyata melalui gerakan separatis, perang dagang dan media yang semakin meresahkan. St. Yohanes Paulus II setidaknya mengingatkan kita tentang adagium ini: “dunia hancur bukan karena terlalu banyak orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik”. (Fr. Valdi Karitas, KM Centro John Paul II-Ritapiret)